Menu Close
Orangutan jantan dewasa sedang memikirkan gerak selanjutnya saat kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia. (Wendy Erb)

Asap kebakaran hutan menyebabkan orang utan jarang bergerak dan suaranya menjadi parau

Orang utan borneo adalah salah satu dari tiga spesies orangutan. Semuanya berstatus Critically Endangered atau satu status lagi sebelum dinyatakan punah. Mereka adalah penghuni rawa gambut kaya karbon di Kalimantan. Ekosistem yang rawan terbakar.

Kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 menjadi tahun polusi udara yang terburuk akibat amukan api sepanjang sejarah. Bencana tersebut dipicu El Niño, yang membuat cuaca amat kering di Asia-Pasifik.

Kebakaran gambut, dibandingkan daerah lainnya, membuat api menjalar hingga ke bawah tanah. Kebakaran ini menghasilkan gas-gas yang sangat berbahaya (termasuk juga partikel debu hasil pembakaran) ke udara. Gambut yang terbakar menjadi sebab utama kasus kematian dan penyakit akibat polusi udara di dunia.

Orang utan diketahui sebagai indicator species. Artinya, keberadaan mereka menjadi penanda kesehatan suatu ekosistem. Kesehatan dan perilaku mereka juga sensitif terhadap perubahan lingkungan. Paparan asap beracun yang sering dan intens bisa berdampak parah baik bagi orangutan maupun kehidupan satwa liar lainnya.

Pencemaran gas beracun juga berdampak pada kesehatan dan keamanan para peneliti. Untungnya, teknik penginderaan jauh seperti citra satelit, data GPS, dan pemantauan akustik kian populer digunakan untuk melacak populasi satwa liar. Teknik-teknik ini juga dimanfaatkan untuk mengetahui bagaimana para satwa menghadapi perubahan lingkungan.

Saya mempelajari perilaku, ekologi, dan komunikasi akustik primata liar di Indonesia sejak 18 tahun silam. Dalam studi terbaru, saya dan kolega melakukan telaah suara orang utan Borneo untuk menyelidiki sejauh mana mereka terdampak oleh emisi beracun akibat kebakaran hutan Indonesia pada 2015.

Lahan gambut terdegradasi di Indonesia mudah terbakar akibat cuaca kering selama beberapa pekan.

Bahaya jangka panjang

Di seluruh dunia, kasus kebakaran hutan dan lahan terus naik. Asap dari amukan api yang menyelimuti langit berisi gas-gas berbahaya, termasuk juga partikel debu (PM).

Yang terbaru, kebakaran di Kanada yang menyelubungi langit di sepanjang Pantai Timur Amerika Serikat dan kawasan Midwest pada awal Juni silam. Asap membikin langit berwarna jingga kemudian memicu munculnya peringatan kesehatan.


Read more: Riset: Orang utan bersama separuh spesies primata Indonesia akan punah pada 2050 akibat perubahan iklim


Banyak riset menunjukkan asap kebakaran hutan berisiko terhadap kesehatan pernapasan, penyakit kardiovaskular, peradangan sistemik, dan kematian dini. Sementara bagi satwa liar, studi semacam ini belum banyak.

Ada serial riset yang terbit pada 2021 dan 2022. Dalam studi ini, ilmuwan dari California National Primate Research Center melaporkan temuan yang cukup mengkhawatirkan. Studi menemukan lonjakan kasus keguguran pada monyet rhesus betina yang terpapar udara tercemar partikel debu (PM2,5) berkonsentrasi tinggi di kandang luar ruangan.

Bukan cuma itu, janin yang hidup dan bayi monyet rhesus tetap menderita efek jangka panjang. Mereka mengalami gangguan kapasitas paru-paru, respons kekebalan tubuh, peradangan, level kortisol, perilaku, dan ingatan mereka.

Nah, selama kebakaran hutan 2015 di Indonesia, konsentrasi partikel debu dalam udara Kalimantan jauh melebihi tingkat pencemaran dalam studi di atas. Karena itu, dampak kebakaran bagi orang-orang ataupun satwa liar yang menghirup asap hingga hampir dua bulan sangatlah mengkhawatirkan.

Dampak kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan.
Api berkobar di kebun karet kecil di sepanjang wilayah studi di perbatasan Tuanan selama kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015. Wendy Erb, CC BY-ND

Orangutan di tengah jerebu

Saya sedang mempelajari orang utan liar di hutan Borneo saat kebakaran 2015 melanda. Saya dan kolega di Tuanan Orangutan Research Station melacak sumber api dan berpatroli di dekat titik panas untuk menilai risiko penyebaran api ke lokasi riset kami.

Berbekal masker N-95, pemantauan orangutan kami lanjutkan. Harapannya, kami bisa mempelajari cara hewan menghadapi api yang menjalar dan asap tebal.

Beberapa pekan kemudian saya mendengar perbedaan suara “suara panjang” (long call) yang dilontarkan orangutan jantan,“. Suara ini sekaligus menjadi fokus penelitian saya.

Suara panjang dari orangutan kalimantan.

Suara panjang cukup nyaring dan bisa didengar dari jarak sekitar 1 km. Sebagai hewan yang semisoliter dan tinggal dalam komunitas yang tersebar, suara orangutan memiliki tujuan sosial yang penting. Orang utan jantan dewasa mengeluarkan suara untuk memikat betina di sekitarnya, sekaligus menakut-nakuti pesaing mereka.

Beberapa pekan setelah asap mengepul, saya merasa suara tersebut berubah: terdengar parau bak suara seorang perokok berat.

Kami memperhatikan orangutan selama 44 hari selama kebakaran, hingga akhirnya kobaran api menjangkau tempat penelitian kami. Penelitian terpaksa dihentikan. Kami membantu pemadaman api bersama warga lokal, kelompok masyarakat sipil, dan aparat pemerintah. Di area studi kami, kebakaran berlangsung hingga tiga pekan.

Berbekal data yang terkumpul pada sebelum, selama, dan pascakebakaran, saya memimpin analisis perilaku dan kesehatan populasi orangutan kalimantan. Hasilnya, beberapa pekan setelah kebakaran, orang utan tak sesibuk biasanya. Sang primata lebih banyak rebahan, lalu bepergian dengan jarak yang lebih pendek. Mereka pun melahap kalori lebih banyak dari biasanya.

Meskipun mereka makan lebih banyak dan bergerak lebih sedikit, kami–melalui analisis urin–justru menemukan proses pembakaran lemak tubuh orang utan masih terjadi. Ini menjadi tanda bahwa mereka masih menghabiskan banyak energi.

Hipotesis kami, hal tersebut terjadi karena adanya peradangan yang membuat rasa bengkak, demam, nyeri, dan pusing pada tubuh hewan maupun manusia sebagai respons atas infeksi ataupun luka.

Orangutan sedang ‘rebahan’ di pohon yang dikelilingi asap.
Otto, satu dari empat orangutan jantan dewasa yang diamati dan dicatat untuk penelitian ini, tengah tidur siang selama kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015. Wendy Erb, CC BY-ND

Suara waspada

Berbagai studi menemukan paparan partikel debu dapat menyebabkan peradangan di saluran pernapasan hingga ke seluruh tubuh manusia. Kami pun ingin mengetahui apakah paparan asap kebakaran menyebabkan perubahan suara orangutan, seperti halnya efek merokok pada manusia.

Dalam studi ini, saya bersama kolega menganalisis lebih dari seratus rekaman suara empat orang utan jantan yang kami rekam sebelum dan selama kebakaran. Harapannya kami bisa mengetahui respons suara orang utan terhadap kebakaran hutan.

Penelitian menunjukkan bahwa seperangkat fitur vokal seperti nada, kekasaran vokal atau suara serak, dan getaran mencerminkan kondisi kesehatan manusia ataupun satwa. Kami mencari petunjuk akustik bagaimana udara beracun dapat mempengaruhi orang utan.

Selama kebakaran hingga beberapa pekan sampai jerebu mereda, orang utan jantan mengeluarkan suara lebih jarang dari biasanya. Dalam kondisi normal, orang utan mengeluarkan suara panjang sekitar enam kali sehari. Namun, selama kebakaran, jumlah suara mereka berkurang separuh. Nada suara lebih rendah dan lebih menunjukkan suara serak yang tidak biasa.

Nah, secara kolektif, fitur suara seperti ini terkait dengan gejala inflamasi, stres, dan penyakit–termasuk Covid-19–pada manusia maupun satwa.

Mendengarkan suara-suara hewan

Paparan asap beracun yang panjang dan sering bisa berakibat parah bagi orangutan ataupun hewan lainnya. Penelitian kami menyoroti pentingnya kajian dampak jangka panjang dan jangkauan kebakaran gambut di Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbanyak di dunia..

Dengan menguak hubungan akustik, perilaku, dan perubahan penggunaan energi orang utan, studi kami dapat membantu pemantauan kesehatan orangutan dan hewan lainnya oleh para ilmuwan dan pengelola satwa liar.

Pemantauan akustik pasif dapat digunakan untuk mempelajari spesies indikator yang aktif bersuara seperti orang utan. Hal ini sekaligus menambah masukan bagi pemahaman dampak kebakaran bagi populasi satwa liar di seluruh dunia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now