Indonesia adalah salah satu tetangga terdekat Australia. Namun, dua negara anggota G20 ini tak terlalu banyak berdagang dan berinvestasi dengan satu sama lain. Bahkan, sulit menemukan dua negara bertetangga anggota G20 yang hubungan dagang dan investasinya selemah Australia dan Indonesia.
Jika Anda melihat angka-angkanya, Indonesia ada di posisi ke-14 di daftar mitra dagang Australia dan Australian di posisi ke-10 di daftar Indonesia. Nilai perdagangan dua arah mereka adalah Rp116 triliun (AU$11 miliar).
Bandingkan angkanya dengan beberapa negara tetangga anggota G20 di tabel di bawah ini.
Angka investasi antara Indonesia dan Australia bahkan lebih mengecewakan. Total investasi Australia di Indonesia kurang dari 1% dari total investasi luar negeri Australia.
Angka-angka ini jelas tidak mencerminkan kenyataan bahwa posisi Indonesia secara ekonomi sedang semakin penting dan bahwa Indonesia diprediksi menjadi ekonomi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2050. Bahkan jika prediksi masa depan (2050) yang dikeluarkan PwC tentang Indonesia ternyata terlalu optimistis, tetap saja bonus demografi Indonesia akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 25 tahun mendatang.
Narasi tentang Indonesia ini menguatkan alasan perlunya Australia memperbarui dan memperbaiki hubungan ekonomi yang tertatih.
Bukan hanya soal risiko investasi Indonesia
Pada bulan Juli 2017, sekelompok pakar Australia dan Indonesia berkumpul di Perth, dibiayai oleh lembaga Perth USAsia Centre, untuk menelaah sebab-sebab di balik hubungan ekonomi yang lemah dan apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya. Mereka, Kelompok Kerja Australia - Indonesia di Perth USAsia Centre, mengeluarkan laporan berisi temuan mereka dan menganalisis bahwa perekonomian kedua negara sepertinya tidak saling mengisi. Keduanya bergantung pada sumber daya alam sehingga Australia dan Indonesia lebih banyak bersaing ketimbang bekerja sama.
Dalam laporannya, Kelompok Kerja mengakui bahwa perusahaan-perusahaan Australia mendapati kesulitan untuk menyiasati iklim bisnis di Indonesia. Aturan-aturan berkenaan dengan kepemilikan asing dan yang lainnya membuat investasi yang sebenarnya menarik menjadi kurang atraktif. Akibatnya, pebisnis Australia pindah ke peluang lain.
Tetapi toleransi rendah terhadap risiko tidak bisa menjelaskan semuanya. Pebisnis Australia masuk dan berkembang di lingkungan bisnis yang rumit di tempat lain. Misalnya di Cina. Peringkat Bank Dunia untuk kemudahan berbisnis Cina—yang pemerintahannya tidak transparan, hak properti yang tidak stabil, dan korupsi birokrasi—tidak berbeda jauh dari Indonesia.
Yang dimiliki Australia berkait dengan Cina adalah suatu narasi tentang ekonomi Cina yang sedang melesat dan bagaimana itu memberi manfaat langsung. Karena permintaan dari Cina, ekspor tambang Australia berlipat tiga selama 10 tahun. Ini meningkatkan pendapatan yang dapat dibelanjakan per kapita di Australia.
Narasi bersama Indo-Pasifik
Alih-alih persepsi mengenai risiko dan ketidakpastian, Kelompok Kerja menjelaskan rendahnya investasi disebabkan Australia belum melihat Indonesia sebagai peluang bisnis.
Saat ini belum ada narasi mengenai kemajuan Indonesia dan apa maknanya bagi bisnis Australia. Kelompok Kerja merekomendasikan agar Australia dan Indonesia menyusun suatu narasi “Indo-Pasifik” secara bersama-sama. Alih-alih memandang satu sama lain sebagai ancaman, kedua negara seharusnya melihat satu sama lain sebagai peluang.
Baca juga: Indonesia menantang taktik anti-dumping Australia di WTO
Sudah ada beberapa pertanda bahwa Australia sedang mengubah cara pandangnya tentang Indonesia. Australia membuka konsulat baru di Surabaya pada bulan September untuk berkonsentrasi pada hubungan komersial dan memperluas jejak diplomatik Australia di Indonesia. Selain itu empat negara bagian Australia memiliki kantor perwakilan dagang dan investasi di Jakarta.
Negara bagian Australia Barat tahun ini menunjuk menteri pertama untuk Hubungan Asia, yaitu Bill Johnston. Johnston diberi mandat untuk mempromosikan perdagangan, investasi, tautan budaya, dan hubungan pemerintah-ke-pemerintah. Menteri Johnston berkunjung ke Indonesia pada bulan September.
Dari segi bisnis, ada banyak kisah sukses. Misalnya, Interflour Group, perusahaan kongsi antara Australia dengan perusahaan Salim Group, membangun penggilingan terigu di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat yang mendapatkan suplai gandum dari Australia.
Untuk menekankan keuntungan dari jarak yang dekat antara Australia dan Indonesia, perlu dicatat bahwa satu kapal gandum hanya membutuhkan sembilan hari dari terminal di Australia Barat ke Makassar pulang pergi. Sebagai perbandingan, dari Australia Barat ke pelabuhan di Cina Selatan kira-kira makan waktu sepuluh hari hanya satu arah.
IA-CEPA: titik awal penting
Indonesia dan Australia saat ini sedang bernegosiasi tentang Perjanjian Kemitraan Komprehensif Indonesian-Australia (IA-CEPA). IA-CEPA berpotensi menjadi titik awal penting kebangkitan hubungan ekonomi Australia dan Indonesia.
Jika disepakati, IA-CEPA akan menjadi perjanjian dagang dan investasi bilateral kedua yang dinegosiasi Indonesia dengan sukses setelah perjanjian dengan Jepang di tahun 2008.
Saat ini, IA-CEPA telah menyelesaikan putaran negosiasi keenam. Kedua negara telah berkomitmen untuk menyepakati perjanjian sebelum tahun ini berakhir. Para pakar di Kelompok Kerja melihat target ini sangat penting untuk memperbaiki iklim perdagangan dan investasi yang suam-suam kuku.
Indonesia dan Australia secara geografis bertetangga di wilayah yang secara ekonomi paling dinamis di dunia. Pilihannya sederhana: bekerja sama dan menjadi sejahtera atau abai akan satu sama lain dan kehilangan manfaat yang ditawarkan oleh jarak yang dekat. Dengan IA-CEPA dan strategi Australia yang sungguh-sungguh untuk terlibat dengan Indonesia, sepertinya kedua negara saat ini ada pada jalur yang benar.