Menu Close
Kredit usaha mikro
Sejumlah pengunjung membeli jajanan kuliner tradisional di salah satu stan pada Pesta Kuliner Patanggota Tawaeli di Palu, Sulawesi Tengah). Pesta kuliner yang diikuti oleh sejumlah kelompok UMKM perempuan itu dimaksudkan untuk meletarikan kuliner tradisional sekaligus mengenalkan zona kuliner tradisional di tiga wilayah setempat dengan kekhasan kuliner tradisional masing-masing zona. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/aww

Bagaimana AI bisa membantu usaha mikro mendapatkan akses pembiayaan

Euforia kecerdasan artifisial (AI) menghiasi lini masa selama beberapa tahun terakhir, mulai dari rekayasa genetika, penggunaan machine learning, face recognition hingga kendaraan listrik otomatis.

Pertanyaan sederhana yang muncul di tengah masyarakat adalah: apakah kecerdasan artifisial tersebut bermanfaat untuk masyarakat kecil? Apakah teknologi tersebut bisa membantu mereka hari ini, bukan lima atau 10 tahun yang akan datang? Jawabannya bisa, dengan memperkuat penggunaan AI terkait akses keuangan untuk usaha mikro.

Saat ini hampir 70 juta unit usaha di Indonesia adalah usaha mikro, setara dengan 98,67% dari total UMKM di seluruh Indonesia. Mereka adalah pedagang sayur, warung kaki lima, pengusaha toko kelontong, warmindo, hingga laundry kiloan. Namun, mereka masih menghadapi kendala dalam mengakses kredit perbankan. Data menunjukkan 30 juta usaha mikro belum memiliki akses layanan perbankan.

Tingginya risiko menjadi kendala terbesar, terutama karena usaha mikro lebih rentan secara finansial. Sedikit guncangan keuangan dapat berpengaruh signifikan tidak hanya pada keberlanjutan bisnis dan kemampuan mereka membayar kembali kredit perbankan, tetapi juga pada kehidupan ekonomi keluarga mereka sehari-hari.

Saya membahas bagaimana AI bisa mengatasi hal ini, apa yang perlu dikembangkan dalam penerapan AI di sektor keuangan, dan bagaimana mengatasi potensi diskriminasi terhadap pelaku usaha perempuan.

Jalan canggih kecerdasan artifisial

Dari sisi lembaga keuangan, penyaluran kredit usaha ultra mikro memerlukan biaya dan sumber daya yang sangat besar, dengan margin keuntungan yang relatif kecil jika dibandingkan dengan program kredit untuk usaha kecil dan menengah. Ini menjadi ganjalan bagi usaha mikro untuk mendapatkan pendana.

AI dapat memangkas biaya penyaluran kredit sekaligus meningkatkan kemampuan membayar utang pelaku usaha mikro.

Lembaga keuangan seringkali mengeliminasi para peminjam karena ketidakmampuan mereka melaporkan laporan finansial dan aset yang disyaratkan. Machine learning – salah satu implementasi AI yang memungkinkan komputer “belajar” sendiri tanpa arahan – memiliki kemampuan untuk melakukan prediksi lewat analisis big data yang kompleks. Ia menawarkan jalan lain lewat penggunaan basis data yang lebih representatif dan real time, seperti review kepuasan konsumen, tipe gawai yang digunakan, perilaku penggunaan internet, data GPS, SMS hingga riwayat unduhan.

Pendekatan teknologi modern lewat analisis berdasarkan gambar, teks dan video, serta analisis berdasarkan klaster juga dapat digunakan oleh lembaga keuangan dalam menganalisis risiko kredit dan mencegah gagal bayar.

Sebagai contoh, metode konvensional cenderung menerjemahkan bahwa calon peminjam yang memiliki transaksi keuangan yang rutin dan aset yang lebih besar akan memiliki peringkat kredit yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Machine learning bisa melahirkan peringkat kredit yang lebih inklusif dan akurat dengan menganalisis hubungan yang lebih kompleks antar variabel dengan klaster yang berbeda-beda.

Ini membuat peminjam dari kalangan pelaku mikro dianggap layak mendapatkan kredit, sehingga mempercepat progres pencapaian inklusi finansial.

Integrasi machine learning dan subjektifitas manusia

Meskipun machine learning memiliki kemampuan komputasi dan prediksi statistik dengan data yang sangat kompleks, pemodelannya tetap dipengaruhi oleh subjektifitas pengguna data. Artinya, penggunaannya tidak otomatis melahirkan terciptanya akses terhadap layanan keuangan yang adil. Tanpa pengawasan yang kuat, machine learning berpotensi menghasilkan bias atau diskriminasi.

Diskriminasi bisa berasal dari proses sampling dan pemilihan indikator dalam pemodelan. Penggunaan indikator seperti kepemilikan gawai dan tingkat literasi digital dapat melahirkan diskriminasi gender karena laki-laki cenderung memiliki gawai dan memiliki tingkat literasi digital yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Akibatnya, perempuan – yang merupakan mayoritas pelaku usaha mikro – akan mendapatkan peringkat kredit yang lebih rendah.

Bias indikator juga bisa terjadi ketika pemodelan machine learning memasukkan indikator aktivitas transaksi perbankan yang tidak mencerminkan aktivitas ekonomi calon peminjam. Perempuan, misalnya, cenderung menggunakan akun bersama atau milik orang lain dalam aktivitas ekonomi.

Di samping itu, machine learning yang dilatih dengan data historis yang telah terkonstruksi oleh fenomena sosial ekonomi juga berpotensi menghasilkan bias. Masyarakat berpendapatan rendah berkaitan erat dengan indikator lainnya seperti gender, aktivitas media sosial yang lebih rendah, tinggal di pemukiman kumuh, ataupun berasal dari etnis tertentu. Ini berpotensi direplikasi oleh machine learning sehingga masyarakat kecil otomatis akan mendapatkan peringkat kredit yang lebih rendah.

Machine learning juga memiliki keterbatasan dalam merespons perubahan struktural. Setiap daerah mempunyai regulasi khusus yang dapat berubah dengan cepat dan secara langsung mempengaruhi perekonomian dan kinerja usaha. Ini sulit ditangkap oleh pemodelan machine learning.

Penggunaan machine learning dalam evaluasi risiko kredit bukan berarti bebas dari risiko manipulasi data. Jika calon peminjam menyadari bahwa peringkat kredit mereka dipengaruhi oleh frekuensi transaksi, atau jumlah follower di akun media sosial bisnisnya, calon peminjam bisa dengan mudah memanipulasi indikator tersebut demi mendapatkan akses perbankan.

Rekonstruksi penggunaan machine learning

Dalam kancah global, selama lima tahun terakhir, sektor perbankan dan peneliti telah berupaya keras untuk menciptakan pemodelan machine learning yang inkusif.

Di Indonesia, Bank BRI dan Bank BCA telah mulai menggunakan machine learning dalam mendeteksi anomali transaksi serta mengidentifikasi karakteristik pengguna layanan. Namun, sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia masih relatif baru dalam penerapan machine learning dan masih terus mencoba mengidentifikasi keandalannya dalam penyaluran kredit perbankan.

Penerapan machine learning dalam menganalisis risiko kredit mensyaratkan adanya kolaborasi intensif antara pengembang teknologi dan pakar perbankan agar tidak justru menambah kesenjangan akses di sektor keuangan.

Selain itu, transparansi dalam penerapan machine learning harus terus didorong. Sebab, penerapan dan indikator yang digunakan dalam pemodelannya masih menjadi aspek yang dianggap rahasia oleh sebagian besar lembaga keuangan. Padahal, calon peminjam juga harus memahami tahapan dalam proses meminjam serta rasionalitas dari metode yang digunakan.

Algoritma machine learning juga harus terus diperbaharui secara regular dengan memperhatikan kondisi eksternal perbankan. Sebagai contoh, regulasi ketenagakerjaan dapat berpengaruh pada kinerja bisnis yang banyak digerakkan oleh perempuan, sehingga indikator yang relevan digunakan pada bulan lalu, bisa jadi menjadi tidak relevan lagi untuk digunakan saat ini.

Berkaitan dengan upaya meningkatkan inklusifitas, solusinya tidak sesederhana menghapus indikator pendapatan dan gender dalam pemodelan. Algoritma machine learning bisa tetap diskriminatif apabila indikator lain yang digunakan masih bias terhadap perempuan dan masyarakat rentan seperti kepemilikan akun bank, networking, website yang diakses, masalah kesehatan, maupun jumlah waktu yang dihabiskan untuk berbisnis.

Salah satu langkah yang terbukti efektif untuk mengatasi bias gender dan dalam akses kredit adalah dengan memisahkan antara pemodelan untuk laki-laki dan perempuan.

Studi terbaru World Bank menunjukkan bahwa langkah ini dapat memberikan lebih banyak kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan kredit. Alih-alih menggunakan pemodelan dengan menggabungkan antara laki-laki dan perempuan, lembaga keuangan dapat mengembangkan program pinjaman khusus perempuan untuk menjamin inklusifitas, seperti yang sudah dilakukan oleh PNM yang secara khusus menyalurkan kredit untuk perempuan dan bersifat ultra mikro.

Pada akhirnya, upaya peningkatan akurasi machine learning dalam analisis risiko kredit harus terus dilakukan. Namun pada saat bersamaan, sensitifitas dan daya nalar kita sebagai manusia juga harus diperbaharui, guna menjamin alat tersebut dapat melahirkan sektor keuangan yang adil dan inklusif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now