Menu Close
Peluang green bond Indonesia
(Kram-9/Shutterstock)

Bagaimana aturan Indonesia belum menjamin obligasi hijau bebas ‘greenwashing’

Indonesia membutuhkan dana sangat besar untuk mencapai kondisi bebas emisi guna meredam perubahan iklim. Jumlahnya diperkirakan mencapai Rp28,2 ribu triliun hingga 2060.

Kas negara jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Karena itu, dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan yang mendukung pelestarian bumi. Salah satunya melalui obligasi hijau atau green bond atau green sukuk (obligasi syariah).

Tren obligasi hijau cukup moncer. Pada 2018 dan 2020, nilai green bond maupun green sukuk yang terbit di Indonesia mencapai US$2,75 miliar (Rp 40,8 triliun) dan US$ 1,27 miliar (Rp 33,6 triliun).

Meski perkembangannya kelihatan cerah, ada risiko yang mengintai: greenwashing. Kondisi ini terjadi jika perusahaan menginformasikan bahwa proyek mereka berwawasan lingkungan, tetapi beroperasi dengan cara yang merusak. Contoh lainnya adalah dana yang terkumpul tidak digunakan untuk membiayai proyek hijau.

Risiko tersebut sudah terjadi di belahan dunia. Per September 2020, insiden greenwashing dalam penerbitan obligasi hijau mencapai US$40 miliar (Rp 593 triliun).

Karena itulah, dunia-–termasuk Indonesia–memerlukan aturan penerbitan green bond yang memadai untuk melindungi masyarakat. Saya mencoba menelaah aturan penerbitan obligasi hijau yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hasilnya, saya menemukan aspek perlindungan investor dari greenwashing masih jauh dari memadai.

Aturan tak memadai

Indonesia memiliki Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan atau Green Bond (POJK GB).

Greenwashing BNI
Aksi sejumlah nasabah yang menuding BNI melakukan ‘greenwashing’ terhadap obligasi hijau mereka lantaran bank tersebut masih mendanai proyek batu bara. (Sumber: Koalisi Bersihkan Indonesia)

Aturan ini memuat persyaratan Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL), dokumen dan pelaporan yang harus disiapkan penerbit, serta sanksi jika melakukan pelanggaran.

POJK GB mensyaratkan proyek yang dapat didanai hasil green bond hanya yang bertujuan untuk melindungi, memperbaiki, dan/atau meningkatkan kualitas atau fungsi lingkungan. Ada sebelas macam KUBL di dalam peraturan tersebut. Contohnya kegiatan efisiensi energi, transportasi ramah lingkungan, serta pencegahan dan pengendalian polusi.

Setidaknya ada empat catatan saya dalam POJK tersebut.

Pertama, aturan ini masih sangat abstrak karena hanya mengatur tujuan dan menitikberatkan pada jenis kegiatan yang dibolehkan. Bahkan, Pasal 4(k) aturan ini membolehkan suatu green bond membiayai proyek yang tidak ada dalam kategori KUBL selama memiliki “tujuan lingkungan”.

Aturan ini amat terasa longgar jika dibandingkan dengan aturan persyaratan green bond di Uni Eropa.

Di Eropa, suatu proyek tidak serta merta dapat dikatakan hijau jika hanya sekadar memiliki tujuan lingkungan. Pengelola juga harus menjamin proyek tersebut “tidak menyebabkan bahaya signifikan” dan sesuai dengan “aturan perlindungan minimum”.

Artinya, meskipun suatu proyek memiliki kontribusi signifikan dalam mitigasi iklim, tetapi dalam pelaksanaannya semisal mencemari air dan tidak dilakukan dengan standar keamanan minimum, maka tidak dapat didanai oleh green bond.

Uni Eropa juga mewajibkan suatu proyek untuk memenuhi standar hijau dalam EU Taxonomy, yaitu daftar kegiatan yang dianggap memenuhi prinsip berkelanjutan. Proyek pun harus lulus Kriteria Penilaian Teknis atau Technical Screening Criteria untuk menjamin manfaat lingkungannya.


Read more: Apakah aturan Indonesia cukup jitu untuk menghambat praktik _greenwashing_?


Di Indonesia, OJK sebenarnya memiliki Taksonomi Hijau. Namun, penggunaannya masih bersifat sukarela. Kredibilitas suatu proyek hijau juga hanya ditentukan oleh penilaian ahli lingkungan. Tidak ada kriteria teknis yang diwajibkan untuk memastikan sebuah proyek benar-benar “hijau”.

Kelonggaran ini pada akhirnya memungkinkan proyek pertambangan batu bara masuk sebagai “kegiatan usaha lain yang berwawasan lingkungan” jika didukung pendapat ahli lingkungan. Dalam taksonomi hijau Indonesia, batu bara tergolong bidang usaha “kuning” yang berarti tidak menyebabkan bahaya signifikan.

Kedua, lemahnya pelaksanaan transparansi proyek hijau.

POJK GB mewajibkan pengelola proyek menerapkan transparansi informasi melalui pengungkapan dan pelaporan mengenai penjelasan KUBL dan penilaian ahli lingkungan.

Namun, aturan ini tidak mengatur detail informasi yang harus dilaporkan. Regulasi juga belum memastikan kualitas informasi karena Indonesia belum memiliki standar kriteria hijau seperti di Eropa.

Akhirnya, masyarakat lah yang harus lebih cermat dalam membaca laporan hijau yang dikeluarkan oleh perusahaan penerbit. Publik terpaksa menimbang sendiri: apakah laporan tersebut kredibel atau tidak.


Read more: Negara kaya ingkari janji pendanaan iklim negara berkembang, apa akibatnya bagi Indonesia?


Ketiga, aturan tidak memuat mekanisme detail seperti prosedur seleksi atau verifikasi laporan ahli lingkungan untuk memastikan kredibilitas mereka.

Proses verifikasi penting untuk memastikan bahwa laporan yang disampaikan sesuai dengan fakta di lapangan, bukan pencitraan saja. Apabila laporan hanya ditulis oleh pihak perusahaan dan mendapat penilaian dari ahli lingkungan yang dibayar perusahaan tersebut, maka bias informasi akibat konflik kepentingan rawan terjadi.

Verifikasi dari pihak ketiga juga diperlukan untuk memvalidasi informasi mengenai dampak atau manfaat hijau dari suatu proyek green bond secara kredibel dan berkualitas. Jika tidak ada proses verifikasi ini, perusahaan dapat dengan mudah membuat pelaporan hijau yang menyesatkan (greenwashing) karena tidak ada jaminan atas reliabilitas informasi tersebut.

Risiko ini akan mengurangi kepercayaan investor terhadap produk green bond dan meredam kesempatan pendanaan proyek hijau yang optimal.

Keempat, belum ada aturan yang melindungi investor dari pelanggaran substansial. Sejauh ini, Undang-undang Pasar Modal ataupun POJK GB hanya mengatur perlindungan investor dari pelanggaran formil atau prosedur. Contohnya misalnya gagal mendapat penilaian ahli lingkungan, tidak menyertakan informasi mengenai KUBL, atau pendanaan untuk KUBL yang tak sesuai ketentuan.

Lemahnya perlindungan ini amat disayangkan. Investor semestinya berhak mendapatkan kepastian bahwa dana yang mereka keluarkan benar-benar akan berdampak pada kelestarian bumi.

Aturan juga seharusnya menyentuh aspek perlindungan materiil seperti kualifikasi ahli lingkungan, kredibilitas informasi, dan penggunaan dana 100% untuk KUBL. Harapannya, investor menjadi lebih yakin untuk memberi kontribusi pada proyek hijau yang ditawarkan.

Langkah ke depan

Indonesia masih dalam tahap pengembangan keuangan berkelanjutan. Sejauh ini, aturan-aturan yang dibuat merupakan suatu bentuk dorongan bagi para pihak untuk berpartisipasi dalam transisi ekonomi rendah karbon.

Pada tahap ini, berdasarkan pengamatan saya, korporasi masih dalam tahap mengurangi dan menyeimbangkan antara proyek “coklat” (tidak ramah lingkungan) dan proyek “hijau”.

Jika ekosistem dan kesadaran sudah terbentuk, OJK harus segera memperkuat aturannya. Ada tiga hal yang bisa dilakukan:

Pertama, mewajibkan implementasi Taksonomi Hijau Indonesia maupun standar hijau lain yang diterima secara internasional sebagai dasar penilaian proyek. Indonesia juga harus melakukan proses verifikasi kompetensi terhadap ahli lingkungan yang terlibat.

Kedua, OJK perlu membuat kriteria teknis pelaporan atau informasi apa saja yang harus diungkapkan oleh perusahaan penerbit terkait dengan KUBL, termasuk mensyaratkan perusahaan untuk mengungkapkan portofolio seluruh usaha mereka.

Ketiga, dua saran di atas dapat dilengkapi aturan sanksi yang memadai dan memberikan efek jera agar perusahaan lebih berhati-hati dalam mengklaim proyek mereka sebagai “kegiatan hijau”.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now