Menu Close

Bagaimana COVID-19 telah meningkatkan risiko perilaku pembelian kompulsif dan kecanduan belanja online di kalangan konsumen muda

Kurir mengantarkan pesanan belanja online. Antara Foto

Pandemi COVID-19 telah mempercepat pertumbuhan bisnis digital di Indonesia. Namun perkembangan ekonomi yang positif ini juga menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan, termasuk peningkatan yang signifikan dalam kecanduan belanja daring.

Individu yang menghabiskan lebih dari yang mereka mampu untuk mendapatkan status sosial dari pembelian mereka atau untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi, seperti cinta dan kasih sayang, rentan terhadap ‘perilaku pembelian kompulsif atau kecanduan belanja’.

Melesatnya E-commerce

Pesatnya pertumbuhan pasar perdagangan digital (e-commerce) di tengah pandemi memperparah risiko kecanduan belanja, terutama dengan masyarakat yang melek digital seperti Indonesia. Bagi warga muda di tanah air, penggunaan platform belanja online seperti Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak telah menjadi tren.

Tak hanya itu, anak muda Indonesia pun dijejali beraneka acara diskon akbar_mega-sale_ berturut-turut sepanjang tahun. Sebut saja obral ulang tahun Tokopedia pada 17/08 (17 Agustus), Hari Jomblo Lazada pada 11/11 (11 November), dan Hari Belanja Nasional Indonesia (Harbolnas) pada 12/ 12 (12 Desember).

Secara individu dan kolektif, peristiwa ini mendorong anak muda Indonesia untuk melakukan pembelian lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Pembelian kompulsif di kalangan anak muda tidak semata-mata didorong oleh keinginan untuk memiliki produk. Ada faktor perangsang transaksi seperti fantasi tentang sutu status, dominasi, kekuasaan, dan prestise yang terkait dengan kepemilikan barang tertentu.

Indonesia adalah pasar yang besar untuk dunia daring, sehingga kecanduan belanja online berisiko dialami banyak orang.

Perusahaan konsultan global Bain & Company memperkirakan bahwa populasi konsumen digital Indonesia akan tumbuh sekitar 15%, dari 144 juta pada tahun 2020 menjadi 165 juta pada tahun 2021.

Ilustrasi belanja online. justynafaliszek/pixabay, CC BY

Konsumen muda yang rentan

Lonjakan budaya konsumtif dapat mengekspos kerentanan dalam proporsi yang cukup besar dari populasi Indonesia, di mana tingkat literasi keuangan dan tabungan relatif rendah.

Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2020 terhadap total 5.592 orang Indonesia dalam berbagai kelompok demografis menunjukkan bahwa sekitar 21% orang Indonesia menghemat sangat sedikit uang dari pendapatan bulanan mereka. Secara rerata, rumah tangga Indonesia hanya menabung sekitar 8,5% dari total pendapatan mereka.

Kondisi hampir sama bahkan terjadi pada rumah tangga berpenghasilan tinggi yang cenderung menabung sekitar 12,6% dari total penghasilan. Angka ini lebih rendah dari pendapat para ahli yang menyatakan ambang batas untuk tabungan yang bertanggung jawab harus sebesar 20% dari penghasilan. Tujuannya untuk memberikan perlindungan finansial yang memadai terhadap kondisi darurat.

Pemuda yang tujuan utamanya adalah menampakkan penampilan bergengsi dan berstatus tinggi akan mengejar pengeluaran yang berlebihan tanpa mempertimbangkan masa depan.

Dengan sikap 'live-in-the-present’ atau hidup untuk hari ini, para milenial dapat mengeluarkan dana yang cukup besar untuk mengikuti tren terbaru, menampilkannya di media sosial untuk mendapatkan persetujuan dari orang lain dan berpotensi meningkatkan harga dirinya.

Media sosial pun dapat memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk mengevaluasi diri, mengeksplorasi, mengekspresikan, hingga meningkatkan identitas mereka melalui perbandingan dengan orang lain.

Media ini juga membuka jalan bagi generasi muda untuk mengikuti kehidupan selebriti dan tokoh terkenal di berbagai bidang. Hal tersebut akhirnya mengangkat standar aspirasi untuk pengembangan identitas yang mereka cita-citakan.

Akibatnya, kaum muda berisiko menjadi korban harapan yang tidak realistis. Misalnya, melalui upaya membandingkan diri mereka dengan foto yang hasil suntingan maupun gaya hidup tertentu yang mungkin tidak nyata.

Hal ini juga dapat menyebabkan para pemuda hilangnya kepercayaan diri lantaran status sosial dan kemampuan keuangan mereka tak mampu memenuhi gambaran ideal yang diharapkan.

Penggunaan media sosial yang berlebihan pun dapat mengekspos remaja pada fenomena kebingungan identitas.

Kebingungan antara identitas ‘ideal’ dan ‘nyata’ diberi label dalam literatur psikologis sebagai ‘[identitas terfragmentasi]’. Media sosial telah berperan mengikis pembentukan identitas yang sehat.

Penduduk Indonesia memiliki rata-rata usia yang mencapai 31,8 tahun. ini berarti ada potensi tinggi masyarakat akan terjebak dalam kebingungan identitas.

Mereka, pada saat yang sama, turut bergulat dengan identitas yang terfragmentasi. Pergulatan ini lahir akibat kaum muda yang sering dibanjiri oleh arus iklan produk konsumen yang tak ada habisnya. Kombinasi keduanya dapat mengarah pada perkembangan gangguan pembelian kompulsif.

Dalam tahap ‘pembentukan identitas’ dalam hidup mereka, kaum muda berusaha untuk mengesankan teman-teman sebayanya dengan meningkatkan konsumsi barang-barang material.

Dalam hal ini, media sosial dapat dikritik karena mempromosikan materialisme dan mendorong sikap berorientasi konsumsi di masyarakat.

Jika kita ingin menghadapi dan menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh gambaran ‘kehidupan ideal’ yang ditampilkan di media sosial, maka orang tua dan sistem pendidikan memiliki peran penting.

Kebiasaan menabung orang tua dapat menjadi teladan untuk anak sejak usia dini. Sedangkan pendidikan keuangan di sekolah dapat mendukung dan mengembangkan model positif ini melalui pengetahuan dan keterampilan keuangan.

Dua hal diatas penting untuk menciptakan generasi muda yang melek finansial. Dengan demikian, perilaku pembelian kompulsif–yang menjadi kebiasaan baru ini–dapat dihindari.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now