Menu Close

Bagaimana garam lokal bisa menjadi solusi dalam pengembangan roket nasional

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) meluncurkan roket eksperimen RX450-5 di Balai Uji Teknologi dan Pengamatan Antariksa dan Atmosfer di Garut, Jawa Barat, 2 Desember 2020. Author provided/LAPAN

Indonesia adalah negara kedua di Asia yang berhasil membuat roket sendiri setelah Jepang. Penguasaan teknologi roket sudah dimulai lebih dari 50 tahun lalu.

Upaya penguasaan teknologi roket terus dilakukan hingga saat ini. Salah satu masalah yang krusial dalam pengembangan roket nasional adalah sulitnya memperoleh bahan baku untuk bahan bakar roket (propelan).

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa garam lokal bisa menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Garam lokal dapat diproses menjadi salah satu bahan baku propelan, amonium perklorat (AP), yang kandungannya mencapai 70-80% dari berat total propelan. Kita dapat memproduksi AP dengan kualitas yang tidak kalah dengan produk impor.

Potensi Indonesia sangat besar untuk dapat membuat bahan baku propelan sendiri dari garam. Indonesia memiliki luas wilayah hampir 5,5 juta km2 dan lebih dari 3,5 juta km2 atau 2/3 wilayahnya adalah lautan, sehingga sangat berpotensi sebagai penghasil garam.

Selain itu penggunaan garam teknis sebagai bahan baku dalam bahan bakar roket, juga diharapkan dapat memberdayakan para petani garam di Indonesia.

Desain propelan yang berubah

Pada 1963, Indonesia pertama kali berhasil meluncurkan roket pertamanya yaitu GAMA-1 yang diusung oleh mahasiswa Universitas Gajah Mada. Pada tahun berikutnya mahasiswa Institut Teknologi Bandung pun berhasil meluncurkan roket yang diberi nama Ganesha X-1A dan Ganesha X-1B.

Setelah itu, roket GAMA-2 dan GAMA-3 pun diluncurkan pada tahun yang sama. Roket-roket tersebut diluncurkan sebagai roket-roket eksperimen.

Salah satu kendala besar yang dihadapi saat ini dalam pengembangan roket adalah ketergantungan pada bahan baku impor. Sedangkan bahan baku impor yang diperoleh memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan diperlukannya beberapa kali perubahan desain propelan pada satu tipe roket yang sama.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) meluncurkan roket eksperimen RX450-5 di Balai Uji Teknologi dan Pengamatan Antariksa dan Atmosfer di Garut, Jawa Barat, 2 Desember 2020.

Misalnya, pada roket RX-450, salah satu tipe roket sipil (roket sonda) yang akan dikembangkan sebagai Roket Pengorbit Satelit (RPS). Roket RX-450 Dua Tingkat merupakan salah satu Prioritas Riset Nasional (PRN) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Riset No. 38 Tahun 2019. Roket RX-450 ini telah mengalami beberapa kali perubahan desain komposisi propelan karena inkonsistensi spesifikasi bahan baku yang diimpor dari Cina.

Ketika stok bahan baku habis, bahan baku yang diimpor memiliki kualitas dan karakteristik yang berbeda. Hal ini menyebabkan sulitnya membuat komposisi propelan yang standar untuk setiap tipe roket yang dibuat, yang berakibat pada perubahan desain roket.

Pada saat menggunakan bahan baku dengan spesifikasi yang berbeda, maka karakteristik dan kinerja propelan yang dihasilkan pun akan berbeda. Misalnya, perbedaan distribusi ukuran partikel pada amonium perklorat akan sangat berdampak pada laju pembakaran roket.

Hal ini berdampak pada lambatnya penguasaan teknologi roket. Karena itu Indonesia harus meneliti desain propelan yang berulang pada setiap bahan baku yang diperoleh. Masalah ini juga berdampak pada anggaran riset yang semakin banyak digunakan untuk satu jenis penelitian dan pengembangan tipe roket yang sama.

Selain itu, berlakunya Missile Technology Control Regime (MTCR) dalam lingkup internasional yang membatasi ekspor produk-produk yang berkaitan dengan teknologi misil membuat semakin sulitnya mendapatkan bahan baku propelan impor.

MTCR adalah rezim multilateral yang memuat kebijakan tentang pembatasan atau pengendalian teknologi misil. Peraturan rezim ini bertujuan mengurangi risiko penyebaran nuklir dan mengawasi alih teknologi pengembangan sistem pengangkut (roket). Permasalahan ini dapat diatasi dengan membuat bahan baku propelan sendiri.

Salah satu komponen terbesar dalam propelan adalah oksidator, penyedia oksigen untuk reaksi pembakaran, yang sangat berpengaruh terhadap kinerja roket. Suatu roket dapat menempuh jarak tertentu, salah satunya ditentukan oleh oksidator. Oksidator yang banyak digunakan dalam propelan roket berbentuk padat adalah AP.

Solusinya pada garam

Proses produksi garam (NaCl) secara komersial pada umumnya melalui tiga tahap. Pertama, pengubahan klorida menjadi perklorat, menggunakan metode elektrolisa menjadi sodium perklorat. Kedua, pengubahan senyawa sodium perklorat menjadi senyawa perklorat lain sesuai dengan kebutuhan, salah satunya amonium perklorat. Ketiga, pemurnian garam perklorat menggunakan metode pengkristalan kembali dan pengeringan.

Kualitas AP yang baik dapat dilihat dari kemurnian, ukuran partikel, dan sifat penggumpalan yang dipengaruhi oleh sifat garam yang sangat mudah menyerap air.

Berdasarkan hasil riset kami, AP dapat dibuat sendiri dengan bahan baku yang mudah diperoleh yaitu garam (NaCl). Garam yang digunakan merupakan garam teknis yang diperoleh dari petani di salah satu daerah di Jawa Timur.

Meski efisiensinya masih tergolong rendah, hanya sekitar 40-50 %, dalam setiap satu kg propelan yang mengandung 700-800 gram amonium perklorat dibutuhkan sekitar 3-4 kilogram garam. Tapi secara kualitas tidak kalah dari produk impor.

Kemurnian AP yang dihasilkan cukup tinggi, mencapai 99,9%. Distribusi ukuran partikel AP yang dihasilkan memiliki rentang yang lebih sempit dibandingkan produk impor.

Rentang ukuran partikel sangat berpengaruh terhadap kualitas propelan. Semakin lebar rentang ukuran partikel artinya bahwa semakin beragam ukuran partikelnya. Dengan demikian akan sulit menentukan distribusi ukuran partikel standar yang digunakan untuk memiliki propelan dengan karakteristik yang diinginkan. Ukuran kristal AP yang berhasil kami buat memiliki tiga variasi rentang ukuran yaitu 38-70 mikron, 70-150 mikron, dan 150-250 mikron.

Selain itu, riset kami juga menghasilkan AP yang telah dilapisi oleh zat pelapis di bagian permukaan, yang membuat partikel AP tidak mudah menyerap air. Sehingga kualitasnya tetap terjaga dan tidak mudah menggumpal saat disimpan dalam kurun waktu tertentu. Hal ini telah dibuktikan dengan membandingkannya dengan produk impor.

Dalam kurun waktu waktu lima tahun, AP berbahan baku garam lokal menggumpal tapi tidak mengeras, sehingga masih mudah untuk menguraikan partikel satu dengan yang lain. Sementara AP impor menggumpal dan mengeras menjadi bongkahan-bongkahan yang partikelnya sulit diuraikan.

Hasil riset awal telah dilakukan uji coba pada roket di Pameungpeuk Garut, Jawa Barat pada 2007 dan telah berhasil diterbangkan dalam roket eksperimen. Saat ini sedang disiapkan uji coba penggunaan AP lokal dalam propelan roket pendorong untuk wahana kendali, yang ditargetkan mengudara pada tahun ini.

Target teknologi roket Indonesia

Teknologi roket mulai dikenal pada abad ke-13. Saat itu roket dikembangkan untuk tujuan militer. Seiring berjalannya waktu pemanfaatan roket semakin meluas. Salah satunya, untuk kepentingan ilmiah dan penelitian atmosfer yang mulai dikembangkan pada abad ke-20.

Penguasaan teknologi roket sangat penting bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Beberapa manfaatnya antara lain mendukung sistem komunikasi, pertahanan, dan dapat dimanfaatkan sebagai alat mitigasi bencana melalui ketersediaan roket modifikasi cuaca pada daerah rawan kebakaran, serta untuk penelitian atmosfer di wilayah Indonesia.

Pada 2040, Indonesia menargetkan meluncurkan satelit menggunakan roket buatan sendiri. Target ini untuk mendukung ketersediaan sarana komunikasi melalui roket peluncur satelit yang dapat membawa satelit komunikasi.

Penelitian yang sedang berjalan saat ini yang merupakan salah satu program Prioritas Riset Nasonal adalah roket RX-450 dua tingkat. Roket yang berdiameter 450 mm ini didesain dapat menjangkau jarak 100 km. Harapannya pada 2025 roket dua tingkat ini dapat diterbangkan untuk penelitian atmosfer.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now