Menu Close
Sebotol air di tanah kering yang retak.
Perusahaan air kemasan mengeksploitasi air permukaan dan akuifer, membeli air dengan harga yang sangat rendah dan menjualnya 150 hingga 1.000 kali lebih mahal daripada unit air leding. Piyaset/Shutterstock

Bagaimana industri air kemasan menyembunyikan krisis air global

Air minum dalam kemasan merupakan salah satu produk minuman paling populer di dunia, dan industri ini dengan gencar memanfaatkan popularitas tersebut.

Semenjak milenium ini (memasuki abad ke-21), negara-negara di dunia telah meraih kemajuan signifikan untuk mewujudkan air minum yang aman bagi semua. Pada 2020, 74% populasi manusia memiliki akses ke air minum yang aman dikonsumsi. Angka ini meningkat 10% dibandingkan dengan dua dekade lalu. Namun, ini masih menyisakan dua miliar manusia yang tak memiliki akses terhadap air layak minum.

Sementara itu, perusahaan air minum kemasan mengeksploitasi air permukaan dan akuifer (lapisan kulit bumi berpori yang dapat menahan air) — biasanya dengan biaya yang sangat rendah — kemudian menjualnya dengan harga 150 hingga 1.000 kali lebih mahal daripada unit air keran di kota yang sama. Mereka kerap menjustifikasi tingginya harga ini dengan menawarkannya sebagai produk alternatif yang sepenuhnya aman dibanding air leding.

Tetapi air kemasan tidak kebal terhadap semua kontaminasi. Produk ini jarang menghadapi peraturan kesehatan masyarakat dan lingkungan yang ketat layaknya air keran yang merupakan utilitas publik.

Dalam penelitian yang baru-baru ini terbit, kami mempelajari 109 negara dan menyimpulkan bahwa industri air minum kemasan yang sangat menguntungkan dan berkembang pesat justru berujung menutupi kegagalan sistem publik untuk memasok air minum yang aman bagi seluruh masyarakat.

Industri ini dapat menghalangi progres pembangunan proyek air bersih, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan mengalihkan perhatian konsumen ke suatu pilihan yang kurang dapat diandalkan dan kurang terjangkau.

Industri air kemasan dapat mengganggu pembangunan berkelanjutan

Industri air kemasan yang berkembang begitu pesat juga dapat mempengaruhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) yang diusung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Tumpukan sampah botol plastik.
Meningkatnya penjualan air kemasan global berkontribusi terhadap polusi plastik di darat dan di lautan. (Shutterstock)

Laporan terbaru dari UN University mengungkap bahwa penjualan tahunan air minum kemasan secara global diproyeksikan naik dua kali lipat menjadi US$500 miliar (Rp 7.498 triliun) pada dekade ini.

Ekstraksi sumber daya untuk air minum kemasan dapat membuat wilayah yang kadar air tanahnya menurun semakin kekurangan air. Perkembangan bisnis air minum kemasan juga akan semakin berkontribusi terhadap polusi plastik di daratan dan lautan.

Tumbuh lebih cepat dibandingkan industri makanan dan minuman lainnya di seluruh dunia, pasar air minum kemasan terbesar berada di Negara-Negara Selatan atau Global South (istilah untuk negara berkembang, umumnya di luar Amerika Serikat dan Eropa) – dengan Asia Pasifik, Afrika, serta Amerika Latin dan Karibia menyumbang 60% dari total penjualan.

Namun, tidak ada wilayah yang tampaknya akan berhasil mencapai akses universal terhadap layanan air bersih, yang merupakan salah satu target SDGs 2030.

Justru, dampak terbesar industri tersebut adalah potensinya untuk melumpuhkan progres negara-negara untuk menyediakan akses air minum yang adil dan terjangkau.

Dampak terhadap negara-negara rentan

Di Negara-Negara Utara atau Global North (merujuk pada negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan di Eropa), air kemasan sering dianggap lebih sehat dan enak daripada air leding. Oleh karena itu, air kemasan lebih merupakan barang mewah ketimbang kebutuhan.

Sementara itu, di Negara-Negara Selatan, kekurangan atau ketiadaan pasokan air publik dan infrastruktur pengelolaan air yang andal justru adalah hal yang yang mendorong berkembangnya pasar air minum kemasan.

Oleh karena itu, di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya di Asia Pasifik, peningkatan konsumsi air kemasan dapat dilihat sebagai indikator yang secara tak langsung menunjukkan kegagalan pemerintah selama beberapa dekade untuk memenuhi komitmen terhadap sistem air publik yang aman.

Sekelompok orang mengisi air dari sebuah truk air.
Meningkatnya konsumsi air kemasan di beberapa negara dapat dilihat sebagai indikator proksi dari kegagalan pemerintah selama beberapa dekade untuk memenuhi komitmen terhadap sistem air publik yang aman. (Shutterstock)

Hal ini semakin memperlebar kesenjangan global antara miliaran orang yang tidak memiliki akses ke layanan air yang aman dikonsumsi, dengan mereka yang menikmati air sebagai barang mewah.

Pada 2016, pendanaan tahunan yang dibutuhkan untuk mewujudkan pasokan air minum yang aman dikonsumsi di seluruh dunia diperkirakan mencapai US$114 miliar. Ini kurang dari setengah nilai penjualan tahunan air minum kemasan global yang berkisar US$270 miliar.

Mengatur industri air minum kemasan

Tahun lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa untuk mencapai target SDGs 2030, proges yang ada saat ini perlu ditingkatkan hingga empat kali lipat. Namun, ini adalah tantangan yang luar biasa besar mengingat adanya berbagai kebutuhan pendanaan lain yang juga perlu diprioritaskan, ditambah sikap tak acuh yang mendominasi sektor air minum.

Seiring pertumbuhan pasar air minum kemasan, semakin penting untuk memperkuat regulasi yang mengatur industri ini dan standar kualitas airnya. Regulasi tersebut, misalnya, bisa mengatur kendali mutu air kemasan, eksploitasi air tanah, penggunaan lahan, pengelolaan limbah plastik, emisi karbon, kewajiban keuangan dan transparansi, dan lain-lain.

Penelitian kami berargumen bahwa, dengan upaya global untuk memenuhi kebutuhan air minum aman yang sejauh ini melenceng dari target, perluasan pasar air kemasan pada dasarnya semakin menghambat progres yang ada – atau setidaknya membuatnya menjadi lebih lamban. Hal ini akan berdampak buruk pada investasi dan infrastruktur air publik dalam jangka panjang.

Beberapa inisiatif tingkat tinggi, seperti aliansi Global Investors for Sustainable Development, bertujuan untuk meningkatkan pembiayaan untuk SDGs, termasuk yang terkait dengan air.

Prakarsa semacam ini menawarkan kesempatan bagi sektor air kemasan untuk menjadi pemain aktif dan membantu mempercepat langkah menuju pasokan air yang aman, khususnya di Negara-Negara Selatan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now