Menu Close
file mlz z.

Bagaimana kenaikan muka air laut mengancam status ‘negara kepulauan’ Indonesia

Laporan Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terbaru menyatakan bahwa muka air laut global terus meningkat.

Tahun lalu, Badan Riset dan Inovasi Nasional pun memprediksi setidaknya ada 115 pulau di Indonesia yang akan tenggelam pada tahun 2100 akibat kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah. Riset terbaru juga menemukan 92 pulau terluar di Indonesia berpotensi tenggelam karena muka air laut yang naik.

Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17 ribu pulau dengan 80 ribu kilometer garis pantai, Indonesia harus mewaspadai laporan ini. Pasalnya, kenaikan muka air laut dapat menjadi ancaman bagi keutuhan wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state).

Negara kepulauan adalah konsep hukum internasional hasil upaya diplomasi Indonesia beserta negara kepulauan lainnya selama puluhan tahun. Pada 1982, konsep negara kepulauan tersebut akhirnya diakui dan diadopsi dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa Bangsa (UNCLOS).

Beberapa pulau terluar di tanah air mungkin tidak berpenghuni. Namun, pulau-pulau tersebut memegang nilai strategis yang penting karena menjadi patokan dalam penentuan batas wilayah perairan Indonesia.

Pertanyaannya, ketika sejumlah pulau terluar Indonesia tenggelam, apakah Indonesia masih bisa mempertahankan keutuhan wilayahnya sebagai negara kepulauan?

Pentingnya status negara kepulauan

Konsep negara kepulauan amat menguntungkan Indonesia. Pasalnya, UNCLOS membolehkan Indonesia mengklaim kedaulatan terhadap seluruh wilayah perairan yang berada di antara belasan ribu pulau-pulaunya. Artinya, dengan kedaulatan tersebut, Indonesia memiliki hak eksklusif terhadap seluruh sumber daya di dalam ataupun di dasar perairan tersebut.

Sebelum UNCLOS, perairan di antara pulau-pulau Indonesia adalah perairan internasional, di mana warga negara lainnya memiliki kebebasan di laut (freedom of the high seas) untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kawasan tersebut.

Pulau Maratua, salah satu pulau terluar yang menjadi patok perbatasan wilayah negara kepulauan Indonesia. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur

Adapun titik awal penentuan batas wilayah suatu negara kepulauan ditandai dengan penentuan garis khusus yang disebut archipelagic baseline (garis pangkal kepulauan). Garis ini dibuat dengan menghubungkan titik-titik terluar yang disebut basepoints. Titik tersebut haruslah berada di pulau ataupun karang (drying reefs) terluar.

Selain itu, basepoints juga bisa berada di elevasi surut (low-tide elevation), yakni suatu wilayah yang terbentuk secara alami yang muncul saat air laut surut, tapi terendam kala pasang.

Karena itulah, suatu negara tak bisa sembarangan menentukan basepoints-nya. Titik tersebut tidak bisa diletakkan di sembarang titik di laut atau di atas fitur yang tenggelam secara permanen. Jarak antartitik juga – dengan pengecualian tertentu – tidak boleh melebihi 100 mil laut (sekitar 185,2 km).

Selain untuk menentukan luas wilayah perairan Indonesia, archipelagic baseline juga menjadi dasar untuk menentukan zona-zona perairan negara kepulauan, misalnya laut teritorial maupun zona ekonomi eksklusif.

Nah, jika muka air laut naik, maka basepoints yang semula berada di atas permukaan air laut bisa tenggelam sebagian ataupun seluruhnya. Situasi tersebut dapat memperpanjang jarak antartitik hingga melampaui batas 100 mil laut yang ditentukan dalam UNCLOS.

Skenario terburuknya, apabila suatu basepoint tenggelam, maka Indonesia perlu mencari titik alternatif, atau membangun kembali titik yang telah tenggelam tersebut agar tetap berada di atas muka air laut.

Dalam kasus ekstrem, kenaikan muka air laut bahkan dapat menghilangkan teritori suatu negara, termasuk menghilangkan baseline dan zona maritim yang diukur darinya.

Ancaman ini tengah dialami Kiribati, sebuah negara kepulauan kecil di Samudra Pasifik. Pasalnya, negara ini berada di kawasan atol atau gugusan karang berketinggian dua meter di atas pemukaan laut.

Indonesia memang tidak menggunakan elevasi surut (low-tide elevation) sebagai basepoints untuk menarik garis pangkal kepulauannya. Namun, Indonesia banyak menggunakan pulau kecil dan karang – yang kemungkinkan besar akan terendam apabila air laut naik. Banyak dari ketinggian basepoints Indonesia sejauh ini belum terpublikasi, karena itu nasibnya belum bisa diprediksi.


Read more: Bias daratan megaproyek IKN: bagaimana ruang laut terlupakan dalam perencanaan ibu kota baru


UNCLOS juga memuat syarat bahwa negara kepuluan harus memenuhi rasio luas perairan dan daratan (water-to-land ratio) yang telah ditentukan. Jika luas perairan bertambah karena kenaikan muka air laut, maka rasio tersebut dapat berubah hingga melewati batas yang ditentukan dalam UNCLOS. Hal ini turut mengancam status ‘kepulauan’ Indonesia.

Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) – sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berisi pakar hukum yang mengemban tugas perihal kodifikasi dan perkembangan progresif hukum internasional – tengah mempelajari dampak hukum yang terjadi akibat kenaikan muka air laut.

Di tengah proses tersebut, International Law Association (ILA), suatu organisasi nirlaba internasional dengan status konsultatif dengan beberapa badan khusus PBB, menyimpulkan bahwa pergerakan garis pantai akan mengubah letak baseline.

Jika keberadaan baseline ini berubah sesuai kesimpulan ILA, maka naiknya muka air laut dapat mengancam status Indonesia sebagai negara kepulauan.

Apa yang bisa dilakukan?

Indonesia perlu menaksir dampak kenaikan muka air laut terhadap pulau-pulau beserta karang-karang terluar yang menjadi patok batas wilayah kepulauannya. Kita juga memerlukan lebih banyak penelitian untuk mengetahui ketinggian basepoints di atas permukaan laut, dan seberapa besar dampak kenaikan air laut terhadap basepoints tersebut.

Anak-anak melihat masjid yang terendam sebagian di Jakarta karena penurunan tanah dan perubahan iklim. Wilander/UNICEF

Pada tahun 2020, Indonesia mendesak PBB untuk menegakkan stabilitas perjanjian perbatasan, terlepas adanya pergerakan garis pantai karena kenaikan muka air laut.

Indonesia juga dapat mempertimbangkan untuk mendeklarasikan bahwa archipelagic baseline yang telah ditentukan dan diumumkannya berlaku final, meski air laut naik.

Guna melindungi keutuhan wilayah, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang terancam kenaikan muka air laut juga dapat menyepakati deklarasi bersama yang menegaskan stabilitas baseline atau garis pangkal mereka, termasuk hak-hak maritim yang ditimbulkannya.

Maklumat ini mengikuti langkah yang ditempuh negara-negara Pasifik. Pada 2015, tujuh pemimpin negara Polynesia menerbitkan Deklarasi Taputapuātea tentang Perubahan Iklim. Mereka menyepakati baseline yang permanen sekalipun muka air laut berubah.

Indonesia harus mengambil momen sebagai Ketua ASEAN tahun ini untuk mengikuti ikhtiar negara Pasifik dalam menyikapi kenaikan muka air laut secara bersama-sama.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now