Menu Close
Media sosial memudahkan manusia untuk terhubung satu sama lain. Namun terhubung tidak sama dengan berkomunikasi, yang memerlukan elemen dialog dan deliberasi. shutterstock.com

Bagaimana memasukkan rasionalitas ke media sosial, wilayah publik era digital?

Media sosial, suatu wilayah publik baru yang mengemuka berkat perkembangan teknologi telah menjadi ruang polarisasi progresif di Indonesia. Perdebatan di media sosial seringkali tidak didasari rasionalitas atau kemampuan berpikir jernih dan logis.

Isu penistaan agama oleh mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal sebagai Ahok, menjelang Pilkada DKI telah berkembang menjadi persoalan ketidakpercayaan pada Presiden Joko Widodo.


Baca juga: Bukan sekadar berita palsu: media sosial dan kampanye politik yang disetir pasar


Selain itu, muncul juga kritik mengenai ketimpangan ekonomi serta pembiaran dominasi asing dalam proyek-proyek pembangunan Indonesia di bawah pemerintahan. Banyak akun media sosial dan media daring yang palsu yang menyebarkan hoaks soal ini.

Pihak anti-Jokowi sibuk menggambarkan pemerintahan Jokowi sebagai manipulatif dan tidak becus. Sedangkan kubu pendukung Jokowi sibuk menggambarkan berbagai pencapaian presiden saat ini.

Gejolak masyarakat setahun belakangan ini menunjukkan bahwa perdebatan yang terjadi bukan sekadar kontestasi tentang satu isu, tapi polarisasi progresif di masyarakat.

Pemerintah dan pemimpin masyarakat saat ini bersusah payah mengobarkan Pancasila untuk melawan kecenderungan polarisasi yang semakin mendalam.

Upaya yang berniat baik ini tidak banyak menyelesaikan masalah kurangnya rasionalitas masyarakat dalam memandang persoalan bangsa. Memperbaiki mutu institusi dan organisasi yang ada dalam masyarakat adalah kunci membangun masyarakat yang mampu berpikir rasional .

Polarisasi progresif

Indonesia adalah peringkat enam dunia dalam penggunaan media sosial. Sekitar 100 juta orang menggunakan media sosial. Dan rata-rata menggunakan media sosial selama 3 jam 16 menit. Namun dari pengamatan saya sebagai peneliti organisasi kemasyarakatan sangat sedikit yang menggunakan media sosial untuk meningkatkan pengetahuan atau mengelola kehidupan kolektif secara lebih baik. Lebih parah lagi, Indonesia termasuk paling aktif mengakses konten pornografi melalui internet, di mana setiap hari sekitar 50 ribu aktivitas akses internet pornografi.

Pada saat media sosial memungkinkan banyak orang bisa menyatakan sikapnya, terjadi anarki dalam wilayah publik. Anarki ini terjadi karena di ruang siber, siapa pun bisa mengaku menjadi ahli. Anggota masyarakat tidak mempunyai semacam pegangan yang objektif dalam menilai gagasan.

Bahkan kelompok yang dianggap sebagai pemimpin masyarakat dan tonggak moral seperti akademisi, organisasi masyarakat yang mendukung pluralisme, dan pemimpin agama di media sosial tak luput dari sasaran kritik. Media konvensional yang besar pun, didiskreditkan oleh masing-masing pihak sebagai “pihak lain” dan karena itu tidak dapat dipercaya dan digunakan. Akibatnya, masyarakat semakin kehilangan referensi.

Media sosial memudahkan manusia untuk terhubung satu sama lain. Namun terhubung tidak sama dengan berkomunikasi, yang memerlukan elemen dialog dan deliberasi.

Di belakang penggunaan teknologi informasi seperti internet harus ada kerangka bagaimana pengetahuan ditarik dan diolah, kemudian menjadi bahan perbaikan lembaga dan organisasi tempat anggota masyarakat hidup, bekerja dan berinteraksi.

Manfaat teknologi informasi bergantung pada mutu lembaga atau organisasi tempat kita hidup. Namun, justru kehidupan nyata inilah yang terabaikan dengan tingginya keaktifan di media sosial.

Bangsa Indonesia masih belum menaruh prioritas pada pengembangan pengetahuan. Alokasi dana riset kita terendah di ASEAN, yaitu sekitar 0,2%. Peringkat anak-anak Indonesia dalam PISA (Programme for International Students Assessment) urutan 62 dari 72 negara.


Baca juga: Yang harus dilakukan untuk meningkatkan tingkat literasi Indonesia


Tanpa institusi dan organisasi yang berkualitas, yang berperan sebagai kekuatan yang meningkatkan kohesi sosial, internet dapat menjadi perangkat yang berbahaya. Individu dan kelompok bebas melontarkan gagasan dan menyebarkan informasi tanpa menyadari seberapa jauh terkandung kebenaran dan apa akibatnya bagi kehidupan kolektif.

Wilayah publik

Dalam pemikiran tentang demokrasi, diasumsikan adanya wilayah publik yang diisi oleh warga yang mampu berpikir rasional. Wilayah publik dipandang sebagai tulang punggung sistem demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat diharapkan mampu mendorong lembaga dan organisasi publik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kesejahteraan bangsa.

Suatu masyarakat tentu memiliki ragam kepentingan di dalamnya. Dalam wilayah publik yang sehat mayoritas anggota masyarakat di dalamnya menjunjung berbagai prinsip yang memungkinkan pertukaran gagasan yang sehat serta asas keadilan. Anggota masyarakat juga harus memiliki kemampuan mengajukan pandangan secara argumentatif.
Rasionalitas, kemampuan berpikir jernih dan logis, sangat penting dalam wilayah publik karena sistem demokrasi membutuhkan legitimasi dan kompetensi. Pemerintah seringkali menjadikan wilayah publik sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan. Karena itu karakter wilayah publik menentukan kestabilan pemerintahan.

Namun kita jarang membahas mengenai bagaimana suatu masyarakat membangun kemampuan berpikir rasional. Kemampuan mengolah informasi bukan persoalan individual saja, tetapi juga persoalan konstruksi kelembagaan penyedia informasi yang ada dalam masyarakat.

Saya meneliti dan mengamati organisasi kemasyarakatan, baik itu asosiasi bisnis, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, atau organisasi semi-profit. Organisasi-organisasi ini bisa berperan dalam mengembangkan rasionalitas di masyarakat.

Peran organisasi di masyarakat

Mengetahui kapasitas organisasi non-pemerintah penting untuk melihat mutu demokrasi di Indonesia.

Organisasi masyarakat sebenarnya adalah tempat anggota masyarakat bertindak secara kolektif, belajar memahami berbagai kepentingan, dan mengembangkan metode untuk mencapai tujuan bersama.

Namun organisasi non-pemerintah di Indonesia belum menjadi tempat pelatihan kompetensi semacam itu. Dari pengamatan saya, hanya sedikit organisasi non-pemerintah yang mampu membuat inovasi dalam pengelolaan isu sosial ekonomi.

Sebagian besar organisasi memiliki sumber daya pengetahuan dan kecakapan yang lemah. Mereka tergantung pada kepemimpinan personal serta kemampuan mengembangkan jaringan.

Sangat jarang organisasi serius memperbaiki tata kelolanya untuk pencapaian tujuan yang lebih baik. Maka, organisasi masyarakat seringkali digunakan tokoh-tokoh tertentu untuk pencitraan, meneguhkan status, dan mengakses sumber daya untuk kepentingan pribadi.

Bagaimana mengembangkan rasionalitas dalam wilayah publik?

Setiap organisasi seharusnya mulai secara sistematis mengubah pendekatan dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan yang menjadi wilayahnya. Semua itu dimulai dengan menilai kembali prioritas, kapasitas, dan komitmen masing-masing yang terlibat.

Indonesia diduga memiliki puluhan ribu organisasi sosial dengan berbagai tujuan perbaikan kesejahteraan. Jika saja organisasi-organisasi tersebut fokus pada perbaikan pelayanan, metode kerja, perbaikan sumber daya organisasi melalui pengembangan diri atau kerja sama, maka organisasi menjadi tempat belajar tentang tanggung jawab dan bahkan negosiasi beradab dengan kelompok-kelompok lain untuk dapat bekerja sama.

Tidak ada organisasi yang sempurna, namun budaya melakukan refleksi harus menjadi jiwa organisasi: mempelajari kesalahan-kesalahan sambil menetapkan cara baru yang lebih baik.

Pendidikan dan budaya modern Indonesia sayangnya mempunyai kelemahan dalam memahami dan mempraktikkan bagaimana organisasi digunakan sebagai alat kemajuan. Sebagai bidang keilmuan ia tidak berkembang. Sebagai sebuah indikasi, jika kita pergi ke sebuah toko buku besar pun, amat sukar menemukan buku organisasi di Indonesia yang dibahas dari aspek pengorganisasiannya.

Manusia Indonesia harus menyadari bahwa ia hidup dalam kerangka kolektif. Dengan demikian kultur bertanggung jawab atas kehidupan kolektif juga harus dijaga dalam alam demokrasi ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now