Menu Close

Bagaimana neoliberalisme dan Islamisme berkaitan dengan kerentanan dan solidaritas pekerja ‘gig’

Transformasi global dan masifnya penggunaan internet melahirkan fenomena ekonomi gig dan menyuburkan pertumbuhan pekerja prekariat–mereka yang bekerja tanpa atau dengan kontrak fleksibel, dalam kondisi ketidakpastian, dan kerap dikaitkan dengan upah rendah dan minimnya perlindungan. Artikel ini merupakan bagian dari serial #GenerasiRentan yang khusus membahas ekonomi gig dan pekerja prekariat di Indonesia.


Kebijakan dan ideologi neoliberal, yang mendorong perluasan kekuatan pasar sambil mengurangi peran pemerintah dalam perekonomian, berkembang dan mendominasi secara global sejak akhir 1970an. Hal ini mendorong privatisasi terhadap layanan sosial dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, dan semakin fleksibelnya pasar tenaga kerja.

Artinya, semangat individualisme dan wirausaha semakin bertumbuh–bahkan hingga mendorong pekerja untuk menerima praktik eksploitatif.

Di negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, ketimpangan sosial ekonomi yang semakin tajam membuka ruang bagi mobilisasi kaum miskin kota di bawah panji-panji Islam. Semangat yang dikobarkan adalah perlawanan terhadap penindasan yang dialami oleh komunitas kaum yang beriman.

Namun demikian, narasi yang membangkitkan sentimen keagamaan semacam itu belum menghasilkan kemauan kolektif yang dapat mendorong perlawanan efektif terhadap neoliberalisme.

Sebaliknya, semangat ke-Islaman malah mendorong penerimaan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip neoliberal. Beberapa studi terdahulu, misalnya, menunjukkan bahwa nilai-nilai ke-Islaman digunakan oleh perusahaan dan organisasi berbasis agama untuk meningkatkan produktivitas pekerja Muslim kelas menengah.

Studi kami, yang dilakukan lewat wawancara dengan pengemudi ojek daring, menyelidiki bagaimana seruan Islamis mewarnai respons terhadap meningkatnya kerentanan di Indonesia. Kami menemukan bahwa pertemuan antara ide-ide ke-Islaman dan logika neoliberal justru membuat para pekerja rentan rawan dipolitisasi lewat sentimen keagamaan.

Terbentuk oleh gagasan

Fokus penelitian kami adalah pada pembentukan ‘akal sehat’ (common sense) kelompok prekariat perkotaan yang memengaruhi strategi dan taktik mereka dalam menyikapi marjinalisasi sosial-ekonomi. Hal ini dilakukan berdasarkan sumber daya budaya yang tersedia, misalnya berupa pemahaman terhadap agama yang dibentuk dalam konteks sejarah yang spesifik.

Terinspirasi pemikiran filsuf Italia Antonio Gramsci, kami mendefinisikan akal sehat sebagai seperangkat gagasan yang muncul dari pekerjaan dan kehidupan yang tidak pasti, sekaligus kondisi sosial dan sejarah yang spesifik.

Di Indonesia, hal ini melibatkan konflik masa lalu, utamanya peristiwa G30S/PKI yang diikuti penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta tumbuhnya tradisi politik Islam sebagai kritik bagi pemerintahan Orde Baru yang otokratis.

Konsekuensinya, istilah-istilah yang melekat dengan tradisi nasionalis dan Islamis lebih mudah diterima publik daripada yang berkaitan dengan liberalisme (yang fokus pada perlindungan hak dan kebebasan individu), sosial demokrasi, atau komunisme yang bertumpu pada gerakan buruh.

Ini termasuk dalam menyikapi kerentanan yang timbul praktik neoliberalisme yang semakin dalam dan luas.

Ojek sebagai pengusaha mikro

Kami melakukan wawancara semi-terstruktur pada April 2021 - Oktober 2022 terhadap 25 pekerja rentan yang mencari nafkah sebagai pengemudi ojek berbasis aplikasi di Jabodetabek.

Hasil wawancara kami menunjukkan bahwa pengemudi ojek daring menganggap diri mereka sebagai ‘pengusaha mikro’ dan menerima bahwa kesejahteraan mereka adalah tanggung jawab mereka sendiri. Salah satu pengemudi menyebut bahwa hal ini karena mereka menggunakan modal sendiri (motor) dalam bekerja.

Ditopang oleh klasifikasi pekerja sebagai ‘mitra’ dan bukan karyawan perusahaan transportasi daring, persepsi seperti ini membebaskan negara dan pengusaha dari tanggung jawab yang signifikan, seperti dalam menyediakan perlindungan jika pekerja mengalami kecelakaan atau sakit dan upah yang layak.

Di saat yang sama, digitalisasi proses kerja dalam jasa transportasi daring mempertahankan ilusi bahwa pengemudi memiliki kebebasan atas pekerjaan mereka. Gagasan bahwa pengemudi hanya dapat mengandalkan diri mereka sendiri berkesesuaian dengan prinsip individualisme dalam ideologi neoliberal.

Tertanamnya gagasan ini dalam diri pengemudi transportasi daring diperkuat oleh pengalaman hidup mereka keluar masuk pekerjaan tidak tetap akibat sulitnya mendapatkan pekerjaan jangka panjang yang stabil dan memberikan jaminan kesejahteraan.

Islamisme dalam komunitas pengemudi transport daring

Bagi Gramsci, akal sehat direproduksi melalui praktik keseharian yang dilandasi oleh pemikiran intuitif. Bagi pengemudi ojek daring yang kami wawancarai, reproduksi akal sehat terjadi antara lain lewat organisasi swadaya atau ‘komunitas’ yang dibentuk oleh pengemudi transportasi daring.

Lewat komunitas semacam ini, para pengemudi ojek daring mempraktikkan solidaritas kolektif dengan bahu membahu ketika terjadi kecelakaan serta dalam memberikan informasi soal jalan dan tentang proses kerja digital.

Namun, cara demikian justru cenderung memperkuat individualisme neoliberal di kalangan anggotanya karena mereka percaya bahwa mereka bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka sendiri dan hanya bisa berharap sedikit dari negara atau perusahaan.

Komunitas-komunitas tersebut juga menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan, termasuk pengajian, yang memperkuat jati diri mereka sebagai anggota ummah (kelompok orang beriman). Hasil studi kami menunjukkan bahwa pengajian juga sekaligus berperan dalam meneguhkan moralitas pribadi anggotanya dalam bekerja dan menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian.

Ketabahan adalah salah satu tema sentral yang kerap yang dibahas dalam pengajian. Tema ini mempertemukan kerja keras dan tuntutan agama bagi individu untuk bertahan menghadapi semua ujian yang diberikan oleh Tuhan kepada orang beriman.

Salah satu pengemudi yang kami wawancarai, misalnya, mengatakan bahwa menghadiri kegiatan pengajian komunitas mengingatkannya untuk selalu percaya bahwa Tuhan akan menyambutnya di akhirat dengan ganjaran setimpal. Ini membantunya untuk mengelola rasa cemas ketika harus menghadapi risiko kecelakaan di jalanan setiap harinya.

Dengan cara ini, lagi-lagi organisasi pengemudi ojek daring memberikan wadah bagi perpaduan ajaran moral Islam dan individualisme neoliberal.

Beberapa komunitas pengemudi ojek daring memang telah berhasil mendorong perbaikan kondisi kerja melalui aksi protes. Komunitas semacam ini telah berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran pengemudi ojek daring soal ketidakadilan dalam relasi kerja yang mereka rasakan bersama.

Namun demikian, sedikit sekali dari komunitas semacam ini yang berhasil menanamkan gagasan penting bahwa para pengemudi ojek daring adalah pekerja yang memiliki hak-hak yang spesifik. Sebagian besar pengemudi transportasi daring tetap menganggap diri mereka sebagai wirausahawan mikro.

Demo ojek
Aksi protes pengemudi ojek daring di Jakarta pada 2018. Sejauh kebanyakan aksi demo yang diilakukan pengemudi lebih banyak menuntut kenaikan tarif dan bukan kepastian status dan hak sebagai pekerja. Arya Manggala/shutterstock

Moralitas dan kecenderungan politik

Aspirasi kewirausahaan mendorong pengemudi ojek daring untuk bekerja sendiri sekuat tenaga mereka sampai mengarah ke eksploitasi diri. Ini karena mereka enggan menuntut pemerintah dan perusahaan untuk mewujudkan kondisi kerja yang lebih layak.

Hanya sedikit sekali pengemudi ojek daring–biasanya yang mengaitkan diri mereka dengan gerakan buruh–yang berpendirian bahwa mereka harus diakui secara hukum sebagai pekerja yang dijamin hak-haknya oleh undang-undang.

Namun demikian, penelitian kami menunjukkan bahwa meskipun beberapa pengemudi ojek daring sudah terhubung dengan–dan bahkan menjadi anggota–serikat pekerja, mereka enggan ketika harus memosisikan diri secara konfrontatif dengan negara dan pengusaha. Mereka cenderung tunduk pada gagasan bahwa pemerintah dan mereka yang kuat secara ekonomi bertugas menjaga yang lemah.

Akibatnya, meskipun komunitas pengemudi transportasi daring dapat membantu anggotanya mengatasi kesulitan bekerja, mereka belum memiliki strategi perlawanan yang kuat.

Gagasan yang kental pada era Orde Baru turut dilanggengkan. Sebagai contoh, permusuhan terhadap liberalisme politik dan komunisme mengilhami sikap memusuhi sistem hubungan kerja yang konfliktual, misalnya lewat pengajuan tuntutan hak pekerja.

Justru, yang terbangun di kalangan pengemudi transportasi daring adalah solidaritas berbasis moralitas, dipupuk melalui kegiatan sosial-keagamaan dan gotong royong. Para pengemudi melihat kegiatan seperti itu tidak ada kaitannya dengan politik.

Namun demikian, kegiatan semacam itu menguatkan sentimen keagamaan dan membuka pintu bagi mobilisasi politik berbasis umat oleh para elit yang bersaing dalam perebutan sumber daya ekonomi dan politik. Mobilisasi semacam ini telah dilakukan beberapa kali sejak reformasi di Indonesia, biasanya selama periode pemilihan umum.

Komunitas pengemudi transportasi daring, melalui kegiatan sosial-keagamaan dan gotong royong yang mereka jalankan, berpotensi membuka jalan bagi kelompok prekariat perkotaan untuk menjalin hubungan dengan para aktivis partai dan organisasi Islam. Ini misalnya terjadi dalam mobilisasi massa yang menyudutkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dengan tuduhan menista agama Islam.

Hubungan kelompok prekariat dengan aktivis partai atau organisasi Islam yang terjadi dalam mobilisasi politik semacam ini cenderung bersifat ad-hoc dan sesaat, tidak membantu perjuangan kelompok prekariat mencapai kesejahteraan yang lebih baik.

Alih-alih mendorong konsolidasi agenda perlawanan dan menguatkan posisi tawar mereka dalam bernegosiasi dengan kepentingan negara dan pengusaha, sentimen keagamaan kelompok prekariat malah memosisikan mereka sebagai objek yang dimanfaatkan elit dalam mobilisasi politik berbasis identitas agama.


Tulisan ini dikembangkan dari artikel berjudul ‘How Neoliberalism and Islamism Shape the Precarity of Gig Workers’ yang diterbitkan oleh International Institute for Asian Studies, the Netherlands.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now