Menu Close

Bagaimana pedoman TikTok belum ampuh menangkal perdagangan burung ilegal di Indonesia

Burung cica-daun kecil, spesies yang berkerabat dekat dengan cica-daun besar, yang populasinya juga menurun dari perdagangan burung cucak ijo pada umumnya. Author provided

Di seluruh Asia Tenggara, berbagai jenis burung pekicau (songbird) tak pernah lepas dari tekanan perburuan. Masyarakat menganggap burung ini sebagai peliharaan, ornamen, satwa yang dilepas pada upacara doa, hingga peserta kompetisi nyanyian.

Kontes burung pekicau yang tetap digelar meski di tengah pandemi COVID-19.

Misalnya, burung cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus) yang banyak dipelihara di kawasan ini, termasuk oleh Presiden Indonesia keempat, Abdurrahmad Wahid atau Gus Dur. Menurut Daftar Merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), burung cucak rawa berstatus Kritis Terancam (Critically Endangered) atau satu kategori sebelum dinyatakan Punah di Alam (Extinct in the Wild).

Pertumbuhan teknologi internet yang pesat memfasilitasi perdagangan burung kicauan dan para pelaku konservasi masih kesulitan mengatasinya. Pasalnya, internet menyediakan jalur baru bagi eksploitasi, perdagangan, dan penjualan satwa liar, termasuk burung kicauan. Tren perdagangan online juga kian tinggi akibat pembatasan sosial selama pandemi.

Tren ini memperparah “Krisis Kepunahan Burung Pekicau Asia”, sebutan IUCN untuk kondisi kedaruratan populasi jenis burung tersebut di alam liar.

Indonesia termasuk dalam titik panas atau hotspot ancaman ini. Belum ada data yang pasti seputar berapa banyak burung yang diperdagangkan setiap tahun. Namun, studi oleh tim peneliti Manchester Metropolitan University pada 2019 memperkirakan ada sekitar 66-84 juta burung yang dipelihara dalam kandang oleh sekitar 36 juta rumah tangga di Pulau Jawa.

Salah satu tren yang pernah dipelajari adalah melalui platform e-commerce (lokapasar) OLX di Indonesia.

Selama Maret 2023, kami mengamati platform media sosial TikTok masih dipakai untuk mengiklankan dan memfasilitasi perdagangan spesies burung Indonesia yang dilindungi dan terancam punah.

Temuan kami juga sekaligus membuktikan bahwa pedoman satwa liar ilegal yang dirilis Tiktok sejak 2021 masih belum ampuh mengatasi perdagangan burung pekicau di Indonesia. Hasil pengamatan kami terbit dalam jurnal Oryx pada Juli 2023.

Modus promosi dan perdagangan burung dilindungi TikTok

Maraknya perdagangan satwa liar di internet terjadi karena para pedagang dan pembeli satwa liar mudah mengadaptasi segala bentuk teknologi dan media sosial dengan sesuai kebutuhan. Di Indonesia, jumlah 100 juta pengguna TikTok turut mengartikan negara ini termasuk pasar yang potensial.

Di media sosial seperti TikTok, promosi dan perdagangan satwa liar lebih mudah dilakukan. Pasalnya, para pengguna dapat menyamarkan identitas mereka. Perdagangan di platform daring juga kemungkinan lebih marak karena potensinya untuk mencapai pasar yang lebih luas dan mendapatkan harga jual yang lebih tinggi.

Salah satu contohnya, kami menemukan suatu akun Tiktok mengunggah konten yang mempromosikan burung cica-daun besar (Chloropsis sonnerati)–nama akun dan nomor telepon kami samarkan. Postingan tersebut juga menampilkan komentar akun-akun yang berminat membeli.

Contoh postingan Tik Tok yang menggambarkan perdagangan burung kicau liar di Indonesia, berikut Cica-daun besar atau cucak ijo. Dalam menyajikan gambar ini, kami telah menggunakan alat pengolahan gambar yang mematuhi privasi untuk membatasi risiko pengenalan identitas pengguna TikTok ini.

Burung cica-daun besar atau yang bernama lain “cucak ijo” ini tergolong spesies terancam dan dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Di sisi lain, spesies ini juga populer sebagai burung peliharaan di seluruh Jawa.

Dalam konten yang kami temui, sang pengunggah menggunakan nama dagang ‘Cak ijo’ dari burung cucak ijo. Pemakaian nama samaran ini kami duga dilakukan untuk menghindari deteksi nama burung oleh platform Tiktok.

Pengunggah juga menggunakan istilah-istilah seperti “PH” (paruh hitam), “jamin jantan” (dijamin jantan). Berdasarkan identifikasi kami, posting tersebut mungkin menampilkan burung jantan muda atau burung betina dewasa dari spesies (Chloropsis sonnerati).

Ada juga informasi lainnya berupa “450 eceran:” yang artinya harga jual burung ini sebesar Rp450 ribu per ekor. Sementara itu, “WA” adalah singkatan dari platform pesan instan WhatsApp. Sejauh pengamatan kami, media sosial TikTok hanya digunakan untuk tempat iklan. Transaksi sebenarnya lazim terjadi melalui WhatsApp.

Sejauh mana pedoman TikTok efektif?

Pada awal 2021, TikTok bergabung dengan Koalisi untuk Mengakhiri Perdagangan Satwa Liar Online.

Mereka merilis pedoman yang menyatakan bahwa “setiap konten yang menampakkan atau mempromosikan perburuan atau perdagangan satwa liar ilegal tidak diperbolehkan di platform kami dan akan dihapus ketika teridentifikasi.” Saat itu, Tiktok juga mengklaim telah menghapus sekitar 73,5% konten semacam itu sebelum mendapatkan satu penonton pun.

TikTok memiliki tanggung jawab dan komitmen untuk tidak memperbolehkan penjualan spesies yang terancam punah secara online. Meskipun Cica-daun besar dijual di pasar fisik, TikTok dapat memastikan bahwa burung ini juga tidak diiklankan secara online.

Kendati demikian, sejak pernyataan tahun 2021, tidak jelas apa yang dilakukan oleh TikTok untuk memperbarui atau bahkan menerapkan kebijakan ini.

Langkah ke depan

Tiktok memerlukan lebih banyak orang untuk memantau perdagangan burung di platformnya. Platform ini juga harus lebih tegas menerapkan panduan untuk meredam laju perdagangan satwa liar di media sosial.

Sementara itu, pemerintah dapat terus memantau perdagangan burung dan perdagangan satwa liar ilegal lainnya hingga ke media-media daring baru dan populer seperti TikTok.

Meskipun langkah ini dilakukan, kami menyadari perdagangan burung ilegal dan spesies dilindungi lainnya tetap juga terjadi secara langsung di pasar. Oleh karena itu, para pelaku konservasi dapat berperan dengan terus-menerus membahas peran perdagangan satwa secara daring dan dampaknya terhadap populasi di alam, terutama burung-burung di Indonesia yang menghadapi tekanan intens akibat perdagangan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now