Menu Close

Bagaimana perda keagamaan memberi ruang bagi sekolah untuk paksakan pemakaian jilbab dan mengikis hak pelajar minoritas

(ANTARA FOTO/Ampelsa)

Pada akhir Januari tahun 2021, berita tentang aturan yang mewajibkan penggunaan jilbab bagi siswi non-Muslim di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Padang, Sumatra Barat, menghebohkan publik.

Dalam kasus tersebut, tata tertib kewajiban berjilbab dibuat berlandaskan peraturan daerah (perda) bernuansa keagamaan - instruksi walikota pada tahun 2005 - yang mewajibkan penggunaan jilbab untuk pelajar di Kota Padang.

Sejak tahun 2008, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) gencar memperingatkan tentang adanya berbagai perda lain yang berpotensi mengancam pelajar minoritas.


Read more: Tidak hanya berdampak pada praktik politik, menguatnya konservatisme juga bisa menentukan arah republik


Senada dengan ELSAM, saya berargumen bahwa keberadaan perda yang bernuansa agama justru berdampak negatif di lingkungan sekolah.

Tanpa berbasis perda bernuansa agama pun, sekolah terkadang tetap memaksa murid mengenakan atribut keagamaan tanpa persetujuan mereka. Sebagai contoh, lihatlah dugaan kasus pemaksaan jilbab di suatu sekolah menengah atas (SMA) negeri di Bantul, Yogyakarta belum lama ini.

Penerbitan aturan sekolah berdasarkan perda keagamaan yang memaksakan atribut maupun program pendidikan keagamaan akan semakin rentan mengancam hak kebebasan beragama, terutama untuk pelajar yang memeluk agama minoritas.

Tahun lalu, pemerintah sempat merespons kasus seperti ini dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian yang melarang pengaturan paksa atribut keagamaan di sekolah negeri dan menutup ruang yang diberikan berbagai perda bernuansa agama. Namun, aturan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) beberapa bulan kemudian – sehingga membuka kembali ruang bagi sekolah untuk memaksakan pemakaian atribut keagamaan.

Mengapa muncul perda keagamaan yang mengatur kegiatan sekolah?

Sebagai salah satu capaian penting Reformasi 1998, otonomi daerah sendiri memberikan ruang yang luas bagi daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri sesuai kondisi lokal.

Namun, perubahan drastis dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah ini juga memiliki sisi lain: memberikan ruang bagi berbagai gerakan agama yang sebelumnya ditekan untuk berperan besar mempengaruhi politik dan pembuatan kebijakan daerah.

Munculnya berbagai kelompok Islam konservatif, misalnya, mendorong penerapan hukum Islam lewat produk hukum. Salah satunya melalui peraturan daerah (perda) dengan bentuk yang beragam.

Begitu sebaliknya, pada tahun 2019 juga muncul larangan menggunakan jilbab pada sebuah SD di Manokwari, Papua bagi pelajar perempuan Muslim.

Di luar kelompok konservatif, hasil riset dari peneliti politik Inggris, Michael Buehler juga menemukan banyak aktor politik lokal dari partai nasionalis menggunakan perda keagamaan sebagai upaya memperluas dukungan di luar basis pendukungnya.

Banyaknya perda keagamaan ini mengatur berbagai ranah kehidupan termasuk konsumsi alkohol, perjudian, prostitusi, pakaian, kemampuan baca tulis kitab suci - tidak terkecuali di lingkup sekolah.

Perda bernuansa agama di ranah pendidikan bisa mengatur berbagai hal, mulai dari pakaian bernuansa agama hingga kompetensi baca tulis kitab suci. (ANTARA FOTO/Saiful Bahri)

Perda bernuansa agama yang berdampak khusus pada lembaga pendidikan biasanya mengatur pakaian yang bernuansa Islam seperti jilbab atau standar berbusana Muslim, kompetensi keagamaan seperti membaca Al-Quran, atau penyelenggaraan program pendidikan yang bernuansa Islami di berbagai jenjang.

Di Sulawesi Selatan, misalnya, studi dari beberapa peneliti politik Islam seperti Robin Bush, Minako Sakai, dan Amelia Fauzia menunjukkan mengidentifikasi beberapa alasan munculnya perda keagamaan yang mengatur sekolah sebagai upaya merespons banyaknya kasus korupsi, kemiskinan, kriminalitas, dan menurunnya “standar moral” di beberapa daerah tersebut.

Para aktor politik lokal akhirnya mendukung pembuatan perda yang mengatur tentang pemakaian busana Muslim dan kecakapan membaca Al-Quran sebagai jawaban untuk menjaga keimanan dan memperbaiki budi pekerti.

Namun, dampak yang muncul tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Dampak pengaturan agama terhadap ekosistem pendidikan

Berbagai konvensi internasional maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan jaminan kebebasan beragama harus melingkupi menjalankan keyakinan baik di tempat umum atau tertutup, melalui ibadah, penaatan, pengamalan, dan pengajaran.

Apabila merujuk hal di atas, perda yang bernuansa agama apabila tidak diatur secara seksama akan berpotensi membatasi bahkan melanggar kebebasan beragama pelajar.

Regulasi seperti kewajiban kemampuan baca tulis Al-Quran sebagai syarat kelulusan siswa dan regulasi mengenai pakaian Muslim - yang dalam praktiknya memberikan sangsi hingga ancaman mengeluarkan siswa dari sekolah - rentan menimbulkan pelanggaran terhadap pemeluk agama minoritas.

Pada tahun 2017 ketika seorang pelajar perempuan non-Muslim di Banyuwangi, Jawa Timur batal memasuki SMP pilihan pertamanya karena adanya kewajiban menggunakan jilbab bagi seluruh pelajar yang ditetapkan kepala sekolah dan difasilitasi adanya perda bernuansa keagamaaan di kota tersebut. Pelajar tersebut akhirnya memilih masuk ke sekolah lain.

Selain kebijakan dari pemimpin sekolah, guru dan sesama pelajar juga bisa berperan dalam memaksakan penggunaan simbol keagamaan.

Sebagai contoh, pada bulan Januari tahun ini seorang pelajar perempuan di Jawa Tengah diteror temannya sendiri melalui pesan WhatsApp karena tidak berpenampilan atau berwawasan Islami.

Dalam beberapa kasus, perda keagamaan juga bisa semakin mengancam hak berkeyakinan dari pelajar yang menganut aliran kepercayaan.

Pemaksaan atribut atau kompetensi baca tulis kitab suci melalui perda keagamaan akan semakin memaksa mereka untuk mengikuti pembelajaran salah satu agama “resmi” lain.

Pemaksaan atribut atau kompetensi baca tulis kitab suci melalui perda keagamaan bisa semakin mengancam hak pelajar yang memeluk aliran kepercayaan di luar agama ‘resmi’. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)

Apa yang harus dilakukan?

Penting sekali bagi aktor politik, baik eksekutif maupun legislatif untuk tidak menjadikan pendidikan sebagai komoditas politik.

Penguatan masyarakat sipil dan media lokal menjadi salah satu kekuatan penyeimbang untuk memulai proses dialog dan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mengawal berbagai kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di level daerah agar lebih demokratis.

Hal yang juga penting adalah perlunya kolaborasi masyarakat sipil dengan orang tua untuk melakukan advokasi atas kebebasan beragama, terutama dalam mengawasi regulasi di level pemerintah daerah dan sekolah.

Beberapa pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan di level sekolah - selain beberapa isu di atas - adalah pembelajaran bagi siswa dari penganut berbagai aliran kepercayaan untuk mendapatkan hak pengajaran pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya.

Padahal, jaminan bagi mereka sebenarnya sudah diatur dalam Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Masa Esa.

Namun, pada level operasional masih terdapat berbagai macam halangan, baik penerimaan sosial bagi pemeluk aliran kepercayaan maupun ketersediaan guru dan buku ajar bagi mereka.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan regulasi di level pemerintah pusat dan daerah yang menjamin penyelenggaraan pendidikan keagamaan dan hak kebebasan beragama bagi pemeluk agama minoritas dan aliran kepercayaan.

Meskipun merupakan awal yang baik, SKB tiga kementerian yang baru saja terbit hanyalah langkah kecil. Perlu komitmen dari pemerintah melalui peraturan dan kebijakan lain untuk mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif.


CATATAN EDITOR: Kami memperbarui artikel ini pada Agustus 2022 untuk menambahkan kabar terbaru mengenai dugaan pemaksaan jilbab pada seorang pelajar SMA di Yogyakarta.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now