Menu Close

Bagaimana RCEP bisa menguntungkan dan merugikan Indonesia

Suasana aktivitas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (15/11/2020). Kementerian Perdagangan menyatakan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang ditandatangani pada (15/11/2020) diharapkan meningkatkan ekspor Indonesia ke dunia sebesar 7,2 persen. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww. Antara Foto

Negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bersama dengan China, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Australia secara resmi menandatangani kesepakatan perdagangan bebas melalui skema Regional Comprehensive Economic Cooperation (RCEP) atau Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.

RCEP adalah kerjasama dagang terbesar di dunia karena melibatkan 15 negara (10 negara anggota ASEAN plus Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Jepang, dan Cina) yang mencakup 30% ekonomi dunia, 30% populasi dunia, dan tak kurang dari 2,2 milyar calon konsumen.

Indonesia punya peran sentral dalam pembentukan RCEP. RCEP pertama kali dicetuskan pada tahun 2011 ketika Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Bali dimana kala itu Indonesia menjadi Ketua ASEAN dan dalam proses perundingan Indonesia ditunjuk menjadi negara koordinator juru runding ASEAN hingga penandatanganan.

RCEP diprediksi akan menguntungkan bagi Indonesia dari aspek penyerapan tenaga kerja. Sedangkan, bagi ASEAN, RCEP meningkatkan integrasi kawasan, terutama dalam hal integrasi ekonomi. Namun, potensi dampak negatif perlu diperhatikan seperti ketergantungan terhadap Cina dan melemahnya UMKM.

Salah satu pertemuan antar menteri untuk RCEP di tahun 2019. dfataustralianaid/flikr, CC BY

Meningkatkan ekspor melalui partisipasi dalam rantai pasok global

Perjanjian dagang RCEP yang terdiri dari 14.367 halaman ini membawa berbagai keuntungan untuk Indonesia.

Pertama, adanya proyeksi kenaikkan jumlah ekspor Indonesia sebesar 7.2% melalui skema global supply chain atau rantai pasok global.

Dalam skema ini perusahaan Indonesia menghasilkan sebuah produk yang bisa dipakai sebagai bahan baku di negara lain dengan bantuan bea masuk yang semakin minim.

Misalnya, baterai mobil buatan Indonesia dipakai di perakitan mobil di negara lain.

Bahkan, Kementerian Perdagangan memperkirakan angka ekspor naik sebesar 8-11% dan investasi meningkat sampai 22% dalam 5 tahun setelah disahkan.

Pengamat ekspor asal Inggris, Alan E. Branch menyatakan bahwa perdagangan bebas yang berimplikasi pada berkurangnya tarif seminimal mungkin dapat membuat rantai pasokan global semakin berkembang.

Dengan berkurangnya hambatan perdagangan, perusahaan lebih bebas mencari lokasi pabrik yang ongkos produksi dan distribusinya lebih efisien.

Salah satu faktor yang mendorong sebuah perusahaan memindah pabriknya adalah kondisi pasar tenaga kerja di mana pabriknya beroperasi.

Negara yang pasar tenaga kerjanya memiliki keahlian sesuai standar perusahaan, jumlahnya memadai, dan gajinya murah akan dilirik perusahaan multinasional.

Namun, para pengambil keputusan masih punya pekerjaan rumah. Pertama, meskipun dahulu tenaga kerja Indonesia diklaim relatif murah, sekarang, Vietnam telah lebih dikenal sebagai penyedia tenaga kerja yang lebih murah.

Kedua, walaupun Indonesia mengunggulkan murahnya tenaga kerja, rata-rata tenaga kerja di Indonesia belum mempunyai kapasitas dan daya saing yang mumpuni karena produktivitasnya dinilai masih kurang, setidaknya menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja Indonesia masih perlu mengejar efisiensi.

Dilansir dari Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura, RCEP bakal mewajibkan negara anggotanya untuk mengurangi tarif hingga 92%.

Artinya, skema rantai pasokan global dapat berubah, seperti adanya potensi perusahan multinasional yang berencana untuk merelokasi pabriknya, termasuk ke Indonesia.

Dengan adanya hambatan dagang yang lebih minim, pabrik perusahaan multinasional ditempatkan dimanapun bukan jadi suatu problema besar, selama lokasi pabrik menyediakan bahan mentah dan tenaga kerja yang lebih murah daripada di negara asal perusahaan tersebut.

Sebagai ilustrasi, perusahaan sepatu skala global A asal negara J memindahkan pabriknya dari J ke Indonesia. Perusahaan menilai di Indonesia tenaga kerja dan bahan material lebih murah. Sementara, nilai produksi ditambah beban biaya transportasi lebih ringan bila pabrik ditempatkan di Indonesia, meskipun sebagian komoditasnya ditransfer ke luar Indonesia. Dengan adanya pengurangan hambatan dagang, seperti tarif, hal ini akan menambah keuntungan bagi perusahan multinasional dimana tentu akan semakin menarik investor asing untuk merelokasi pabriknya ke Indonesia.

Sejauh ini, Indonesia cukup berpengalaman dalam isu relokasi perusahaan multinasional. Pada Juli 2020, menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sebanyak 7 perusahaan multinasional resmi merelokasi pabriknya dari Cina ke Indonesia dengan total nilai investasi sebesar Rp 12,4 triliun dan diprediksi menyerap 30.000 tenaga kerja.

Adanya potensi tenaga kerja yang bisa diserap oleh perusahaan multinasional menjadi sangat penting, karena Indonesia pada 2020 diperkirakan memiliki 11 juta pengangguran.

Manfaat kedua dari RCEP ialah sebagai alternatif untuk menyatukan ekonomi di tingkat kawasan Asia Tenggara.

Dari integrasi ekonomi, ASEAN melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diklaim menemui kegagalan. Sebuah riset menemukan rata-rata angka pertumbuhan ekonomi negara anggota ASEAN setelah MEA justru relatif sedikit menurun dibandingkan dengan sebelum MEA yang justru cenderung positif.

Disamping terkait pertumbuhan ekonomi, fakta lain yang menunjukan kegagalan integrasi ekonomi ASEAN ialah total ekspor-impor antar negara ASEAN hanya berjumlah 25% dari total aktivitas dagang negara anggota ASEAN. Hal ini sangat jauh dibandingkan dengan nilai perdagangan antarnegara Uni Eropa yang mencapai 67% dari total perdagangan negara anggota organisasi tersebut.

Dengan adanya RCEP, integrasi ekonomi antarnegara anggota ASEAN diharapkan mampu dipererat kembali sehingga organisasi regional ini memiliki manfaat yang signifikan bagi anggotanya.

Hati-hati terhadap dampak negatif

Cina dianggap sebagai negara paling diuntungkan dalam RCEP. Pasalnya, RCEP memuluskan jalan Cina untuk mengimplementasikan Belt Road Initiative (BRI). BRI merupakan rencana jangka panjang Cina untuk membangun rute perdagangan dan investasi dari Asia-Pasifik hingga Eropa. Caranya, Cina berinvestasi kepada calon negara mitra untuk membangun infrastruktur di sepanjang jalur perdagangan Cina dari Asia-Pasifik hingga daratan Eropa.

Bila Cina mampu mendominasi perannya di RCEP dan berhasil menciptakan BRI, negara anggota ASEAN dikhawatirkan semakin bergantung pada Cina. Investasi langsung asing Cina ke ASEAN pada 2017 sudah mencapai US$ 719.5 juta.

Ditambah, negara-negara sedang berkembang di ASEAN, termasuk Indonesia, berpotensi kebanjiran barang impor dari Cina. Dengan semakin bergantung pada suatu entitas, proses pengambilan kebijakan ASEAN bisa lebih mudah dipengaruhi oleh kepentingan entitas tersebut. Sementara, dalam bidang politik, ASEAN masih perlu menyelesaikan persoalan Laut Cina Selatan dengan Cina.

Padahal, Indonesia masih mengalami defisit perdagangan atau timpangnya impor dibandingkan ekspor terhadap Cina pada 2020 sebesar US$6.6 miliar atau setara dengan Rp 93 triliun.

Poin kedua yang perlu diperhatikan adalah dampak kesepakatan tersebut pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Dengan adanya RCEP, pesaing UMKM semakin bertambah dimana kondisi ini berpotensi mengurangi pendapatan UMKM. Dikhawatirkan, UMKM kalah bersaing dengan produk impor yang semakin bertambah akibat efek RCEP.

Di satu sisi, pandemi COVID-19 benar-benar menghantam UMKM dan potensi meningkatnya barang impor yang lebih murah bisa mempengaruhi usaha mereka. UMKM sangat vital untuk Indonesia karena pada tahun lalu saja menyerap 96% tenaga kerja.

Rekomendasi

Untuk mengurangi dampak negatif, sebelum mensahkan perjanjian ini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mewaspadai beberapa poin.

Pertama, negara perlu menjamin bahwa pekerja perusahaan multinasional yang merelokasi pabriknya benar-benar didominasi oleh warga negara Indonesia dan hak serta kewajibannya dijamin undang-undang.

Kedua, Indonesia perlu memperkuat sektor UMKM dengan menyediakan pelatihan tenaga kerja serta pemberian bantuan infrastruktur digital seperti koneksi internet yang kencang dan terjangkau untuk bersaing dengan perusahaan yang telah mapan. Pemangku kepentingan juga wajib menjamin bahwa usaha penguatan UMKM bukan merupakan hambatan dagang yang melanggar kesepakatan.

Terakhir, Indonesia sebaiknya mempererat hubungan kerja sama dengan lawan dagang Cina, seperti Jepang, Australia, Korea Selatan, maupun Amerika Serikat, untuk menghindari dominasi Cina di kawasan Asia Tenggara. Jika asal mensahkan tanpa memperhitungkan aspek tenaga kerja, UMKM, maupun politik regional, Indonesia dikhawatirkan hanya menjadi penonton dan menjadi sasaran pasar belaka.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now