Menu Close

Bagaimana teknologi pengalengan untuk makanan lokal bisa berdayakan UMKM selama pandemi

Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BPTBA-BRIN) sudah melakukan penelitian yang membuktikan manfaat teknologi pengalengan untuk mendukung bisnis UMKM lokal. Tim dokumentasi BPTBA - BRIN, Author provided

Selama pandemi, omzet penjualan banyak pengusaha makanan lokal anjlok hingga 80% karena mereka harus menutup operasinya untuk mencegah penularan virus. Inovasi teknologi makanan kemasan kaleng bisa menjadi solusi jitu bagi pengusaha makanan lokal untuk terus bertahan selama pandemi.

Teknologi pengalengan merupakan salah satu metode pengawetan makanan yang meliputi proses sterilisasi pada suhu sekitar 121 derajat celcius selama minimal 3 menit untuk mematikan bakteri pembusuk makanan.

Teknologi pengalengan sendiri bukan suatu hal yang baru dalam pengawetan makanan karena sudah banyak produk-produk makanan kaleng seperti sarden dan kornet yang beredar di toko-toko. Namun tak banyak unit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lokal yang menggunakannya. Salah satu contoh produk makanan terkenal dan berhasil menggunakan teknologi pengalengan ini adalah Gudeg Bu Tjitro 1925.

Burhanul Akbar Pasha, Direktur CV Buana Citra Sentosa sebagai produsen Gudeg Bu Tjitro 1925 menjelaskan bahwa usahanya bisa bertahan karena meningkatnya permintaan produk gudeg kaleng ketika pendapatan dari rumah makan turun selama pandemi. Penjualan rutin dapat mencapai kisaran 10.000 kaleng tiap bulannya.

Laboratorium Pengemasan Makanan Tradisional, Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BPTBA-BRIN) sudah melakukan penelitian yang membuktikan manfaat teknologi pengalengan untuk mendukung bisnis UMKM lokal.

Hasil riset

Penelitian yang dilakukan BPTBA-BRIN tahun 2015 membuktikan bahwa teknologi pengalengan bisa mengawetkan makanan tradisional seperti gudeg sampai lebih dari satu tahun tanpa bahan pengawet.

Gudeg Bu Tjitro 1925 merupakan salah satu produk pengalengan makanan tradisional binaan dari BPTBA-BRIN yang telah sukses di pasaran.

Data menunjukkan penjualan Gudeg kaleng Bu Tjitro 1925 mengalami kenaikan sejak pertama dipasarkan pada tahun 2011. Omzet penjualan selama lima tahun meningkat hingga 700% mencapai Rp3 miliar.

Data omzet makanan tradisional Gudeg kaleng Bu Tjitro 1925.

Proses pengalengan Gudeg Bu Tjitro 1925 melibatkan proses sterilisasi komersial untuk mematikan bakteri pembusuk seperti Clostridiun Botulinum. Prosedur ini merujuk pada Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Sterilisasi Komersial untuk memastikan makanan yang dihasilkan terbebas dari bakteri pembusuk, tanpa mengurangi penurunan kualitas produk akibat panas yang diberikan selama proses sterilisasi berlangsung.

Penelitian BPTBA-BRIN tahun 2021 juga menunjukkan bahwa cita rasa berbagai jenis makanan tradisional setelah dikalengkan semakin bertambah tanpa penyedap maupun pewarna buatan.

Hal ini membuktikan bahwa produsen dan konsumen tidak perlu khawatir bahwa proses ini akan mengurangi cita rasa makanan. Justru teknologi ini membuat makanan lebih aman karena tidak adanya tambahan bahan-bahan buatan.

Alat pengalengan di Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BPTBA-BRIN) Tim Dokumentasi BPTBA-BRIN

Pentingnya pengalengan bagi UMKM

Pengalengan makanan tradisional merupakan konsep baru yang bisa menjadi peluang pengembangan usaha bagi pelaku UMKM karena memperpanjang masa kadaluarsa produk makanan sehingga dapat meningkatkan penjualan.

Teknologi ini bisa juga digunakan untuk menjangkau lebih banyak konsumen. Kini semakin banyak penggemar makanan tradisional. Misalkan, para perantauan seperti pelajar dan pekerja di luar daerah atau luar negeri yang rindu akan cita rasa kampung halaman, serta para wisatawan yang ingin membawa oleh-oleh makanan khas daerah.

Penjualan makanan tradisional ke berbagai daerah di Indonesia juga semakin dipermudah dengan maraknya situs belanja online seperti Tokopedia dan Bukalapak.

Terlebih jika UMKM dapat mengalengkan produk mereka saat harga bahan baku turun dan dapat menjual dengan harga yang stabil maka keuntungan akan semakin meningkat. Sebagai contoh proses pengalengan dilakukan pada saat harga cabai rendah sehingga pada saat harga cabai tinggi tidak mengubah harga jual produk.

Sayangnya keterbatasan modal masih menjadi salah satu permasalahan klasik bagi sebagian besar produsen makanan lokal.

Tidak heran jika produk pengalengan didominasi oleh industri-industri besar.

Selain membutuhkan biaya untuk pengalengan, alokasi dana untuk mendapatkan izin edar dari BPOM juga menjadi pertimbangan bagi UMKM.

Proses mendapatkan izin edar yang dinilai lama disinyalir menciutkan UMKM untuk mengalengkan produknya.

Salah satu UMKM binaan kami Empal Gentong H. Apud dari Cirebon, Jawa Barat, yang membuat empal gentong kaleng harus menunggu satu tahun untuk mendapatkan izin edar dari BPOM.

Tidak jarang banyak pelaku UMKM mempertanyakan mengapa harus melewati proses rumit dan mahal jika omzet penjualan makanan di warung dirasa cukup bagi UMKM. Pola pikir dan komitmen UMKM seperti ini yang juga menjadi tantangan dalam pengalengan makanan tradisional.

Solusi BPTBA-BRIN

BPTBA-BRIN telah menyediakan beberapa fasilitas yang bisa membantu produsen makanan lokal UMKM mengadopsi inovasi makanan kemasan kaleng.

BPTBA-BRIN sebenarnya mengembangkan program pengalengan sejak 1995 namun baru diketahui publik pada 2011 menyusul keberhasilan pengalengan Gudeg Bu Tjitro 1925.

Melalui program ini, kami menyediakan alat sterilisasi skala medium dan sistem pengalengan berkelompok agar tidak membebani pengalengan dalam jumlah besar.

Program ini juga memfasilitasi UMKM untuk mendapatkan sertifikat laboratorium terkait misalnya informasi kadar gizi dan cemaran logam sebagai syarat pendaftaran izin edar ke BPOM.

BPTBA-BRIN berkolaborasi dengan BPOM meluncurkan program percepatan izin edar. Pada 2020, tercatat 26 UKM berhasil mendapatkan izin edar dalam kurun waktu 3 bulan saja.

Melalui program ini, kami berharap beban UMKM akan lebih ringan.

BPTBA-BRIN juga berhasil menjalin kerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah seperti di Gunungkidul di Yogyakarta untuk mempopulerkan makanan khas Gunungkidul seperti sayur lombok ijo dan ingkung ayam melalui pengalengan.

Ke depannya, kami berharap program ini semakin memikat UMKM dan bahkan lebih banyak lagi instansi pemerintah yang turut bekerja sama dengan BPTBA-BRIN dalam memberdayakan ekonomi UMKM melalui pengalengan makanan tradisional ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now