Menu Close
Ujaran kebencian marak di TikTok di Pemilu Malaysia
Solen Feyissa/Unsplash, CC BY

Bagaimana TikTok menjadi ladang subur berkembangnya ujaran kebencian di pemilu Malaysia

Ujaran kebencian (hate speech) di media sosial merupakan masalah besar di berbagai wilayah di dunia, termasuk di Asia Tenggara.

Ujaran kebencian didefinisikan sebagai ekspresi untuk mendiskriminasi, menghina, merendahkan, atau memprovokasi kekerasan terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, etnis, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, dan kewarganegaraan, atau lainnya.

Di Asia Tenggara, TikTok telah menjadi tempat berkembang biaknya ujaran kebencian. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa TikTok telah digunakan untuk menyebarkan bahasa rasis, seksis, dan homofobik.

TikTok memiliki kebijakan untuk mengendalikan ujaran kebencian dan disinformasi, tapi konten semacam itu tetap ada dan memperparah masalah ujaran kebencian di wilayah tersebut.

Penelitian terbaru saya; yang muncul di salah satu bab buku yang akan diterbitkan oleh Ateneo Policy Center Universitas Ataneo Filipina pada Januari, 2024; dengan fokus utama pada pemilihan umum ke-15 Malaysia yang diselenggarakan tahun lalu, menunjukkan pola yang sama.

Pemilu di Malaysia

Penduduk Malaysia beragam dari berbagai etnis dan agama yang terkadang menyebabkan ketegangan dan konflik.

Sepanjang sejarah, pemilihan umum Malaysia sering kali dirusak oleh ujaran kebencian dan propaganda.

Sebuah kampanye Pakatan Harapan di Penang, Malaysia
You Le/Unsplash, CC BY

Ujaran kebencian dapat menjadi ancaman besar bagi kerukunan dan keamanan nasional. Hal ini tidak hanya dapat memecah belah pemilih tapi juga dapat memicu kekerasan.

Dengan meningkatnya teknologi dan popularitas media sosial, penyebaran ujaran kebencian dan propaganda di Malaysia semakin meluas dan menjadikannya masalah mendesak yang membutuhkan perhatian.

TikTok sangatlah populer di kalangan anak muda Malaysia. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah Malaysia, pemerintah mengizinkan anak berusia 18 tahun untuk memilih. Sebelumnya, usia minimum untuk memilih adalah 21 tahun.

Saya menggunakan kata kunci khusus yang mencakup akronim dari pemilihan umum ke-15 dalam bahasa Melayu dan Inggris.

Akronim tersebut termasuk “PRU 15” (Pilihanraya 15, yang berarti pemilihan umum ke-15 dalam bahasa Melayu) dan “GE15” (General Election 15 atau Pemilihan Umum ke-15), serta nama-nama koalisi politik yang berpengaruh seperti “Perikatan Nasional” dan “Pakatan Harapan”.

Saya juga menyertakan singkatan dari partai-partai politik utama seperti “DAP” (Partai Aksi Demokrasi yang mayoritas penduduknya adalah orang Cina), “PAS” (Partai berbasis Islam Malaysia), “BN” (Barisan Nasional), dan “GPS” (Partai Aliansi Sarawak).

Selain itu, saya juga memasukkan nama-nama pemimpin politik seperti “Anwar Ibrahim” (pemimpin Partai Keadilan Rakyat), “Muhyiddin” (mantan Perdana Menteri Muhyiddin Yassin), “Lim Guan Eng” (Ketua DAP), dan “Abdul Hadi” (Abdul Hadi Awang, Presiden PAS).

Untuk mengamati konten yang diunggah di TikTok sekitar dua minggu sebelum dan sesudah pemilu 19 November 2022, saya mengidentifikasi 2.789 video di platform tersebut dengan menggunakan kata kunci tertentu yang diunggah antara 1 November dan 15 Desember 2022.

Saya menganalisis 679 video yang ditonton lebih dari 1.000 kali dan menemukan 373 video yang mengandung narasi kebencian dan propaganda.

Hasilnya menunjukkan ujaran kebencian berbahasa Melayu yang menargetkan non-Melayu, terutama komunitas Cina dan konten berbahasa Mandarin yang menyasar orang Melayu dan Islam di Malaysia.

Misalnya, pada 11 November 2022, seorang pengguna TikTok (@125cc_madi) mengunggah video yang telah ditonton lebih dari 16.000 kali, memperlihatkan para pendukung DAP yang mengkritik PAS yang beragama Islam sebagai “ulama Muslim yang bodoh

Pengguna TikTok lainnya, (@muhdasyari6), telah menegaskan dalam sebuah video bahwa DAP, yang didominasi oleh etnis Cina adalah sebuah partai politik rasis yang berusaha menghilangkan hak-hak khusus orang Melayu. Perlu dicatat bahwa DAP bukanlah partai politik yang rasis. Meskipun video-video tersebut telah dihapus, konten kontroversial yang berkaitan dengan etnis dan agama masih dapat ditemukan di TikTok.

Nuurrianti Jalli

Contoh yang mencolok adalah video yang diunggah pada 7 November 2022, oleh seorang pengguna bernama Tuan Shafik (@tengkushafik1).

Video tersebut menampilkan teks: Haram Umat Melayu Islam undi PH (Pakatan Harapan),“ yang menyiratkan bahwa haram hukumnya bagi umat Islam Melayu untuk memilih Pakatan Harapan, karena DAP yang mayoritas dari etnis Cina dalam koalisi tersebut digambarkan sebagai anti-Melayu dan anti-Islam.

Contoh lain, pada 8 November 2022, (@Hussen_Zulkarai) mengunggah video di bawah ini yang menuduh DAP bersimpati pada komunis, meski mereka tidak berafiliasi dengan komunis. Meski menggunakan bahasa Melayu standar, video ini masih dapat dilihat oleh publik di TikTok.

@Hussen_Zulkarai memposting video TikTok pada 8 November 2022 dengan membuat tuduhan palsu terhadap DAP, menuduh partai tersebut sebagai organisasi komunis. Video tersebut memuat berbagai klaim tak berdasar, termasuk satu tentang mantan Wakil Menteri Pertahanan Liew Chin Tong yang mengenakan seragam komunis untuk mengunjungi pangkalan militer.

Video-video ini masih ada di TikTok hingga 15 Maret 2023.

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas moderasi konten TikTok untuk ujaran kebencian di negara-negara yang tidak berbahasa Inggris seperti Malaysia.

Tagar terkait insiden 13 Mei di pemilu Malaysia

Selama penelitian eksplorasi saya, saya menemukan bahwa tagar #13mei dan #13Mei1969 membanjiri TikTok di tengah-tengah pemilihan umum baru-baru ini.

Tagar-tagar ini merujuk pada Insiden 13 Mei, konflik tahun 1969 antara komunitas Melayu dan Cina di Kuala Lumpur yang dipicu oleh unjuk rasa yang memprotes hasil pemilu. Konflik ini menyebabkan kekerasan, korban jiwa, dan kerusakan properti.

Video #13mei di TikTok memicu kemarahan di antara warga Malaysia selama pemilu terakhir, menuduh para aktor politik mengeksploitasi insiden tersebut untuk menghasut sentimen anti-Cina.

Di TikTok, kaum neo-nasionalis dan kelompok yang diduga pasukan siber yang terafiliasi dengan partai pemerintah Perikatan Nasional yang sedang berkuasa mengunggah video yang menunjukkan kemungkinan terulangnya kembali tragedi "perang ras” tahun 1969 jika Partai Aksi Demokratik yang mayoritas Tionghoa dan koalisinya, Pakatan Harapan, berkuasa di Malaysia.

Ketika Malaysia menghadapi parlemen menggantung untuk pertama kalinya, tidak ada partai-partai besar yang mendapatkan cukup suara untuk membentuk pemerintahan baru, muncul kekhawatiran bahwa jika Pakatan Harapan memenangkan pemilu, hal itu berpotensi memicu reaksi keras terhadap komunitas Cina.

Bagaimana tanggapan TikTok?

Pihak berwenang Malaysia menghubungi TikTok untuk menangani ujaran kebencian dan disinformasi, terutama karena maraknya konten #13Mei.

Meski sistem otomatis TikTok telah memblokir ribuan video, hal ini dianggap tidak cukup karena konten kebencian masih tetap ada di platform tersebut bahkan berbulan-bulan setelah pemilu. Laporan bahwa TikTok mengizinkan kemitraan berbayar untuk konten politik selama pemilu Malaysia juga menimbulkan kekhawatiran.

Meski TikTok memiliki kebijakan untuk mengatasi ujaran kebencian dan disinformasi dan misinformasi, penegakan yang tidak memadai atas kebijakan-kebijakan tersebut dapat menyebabkan konsekuensi yang signifikan di dunia nyata.

Hal ini termasuk meningkatnya ketegangan dan kesalahpahaman di antara berbagai kelompok, yang berpotensi berdampak pada hasil pemilu.


Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now