Menu Close
Kompetensi refleksi juga penting bagi apoteker untuk menyelesaikan masalah layanan kesehatan yang makin kompleks. Pexels/Karolina Grabowska

Bagaimana uji kompetensi sebelum lulus kuliah mengubah arah pendidikan apoteker di Indonesia?

Pandemi COVID-19 telah menunjukkan pentingnya peran tenaga kesehatan profesional dan kompeten, termasuk apoteker dalam melayani para pasien yang terinfeksi virus corona.

Sebelum apoteker bekerja di apotek, rumah sakit, atau industri, kompetensi lulusan program profesi apoteker diukur melalui uji kompetensi apoteker Indonesia (UKAI) sejak 2018. Kelulusan para kandidat dalam ujian ini menjadi potret keberhasilan institusi dalam mendidik para calon apoteker.

Namun, meski menunjukkan akuntabilitas, kompetensi yang dilihat sebagai produk hasil uji terstandar dapat menjauhkan individu dari proses belajar yang sesungguhnya.

Ujian kompetensi juga telah mengubah fokus pengajaran dosen dan fokus pendidikan di program studi. Dosen terkadang mengajar mahasiswa semata untuk persiapan ujian. Program studi juga akan berusaha meningkatkan persentase kelulusan mahasiswa. Sebab, kelulusan mahasiswa dalam ujian kompetensi merupakan salah satu indikator kualitas program pendidikan apoteker.

Sistem uji kompetensi saat ini perlu dievaluasi karena telah mengarah pada reduksi proses pendidikan apoteker demi meningkatkan kelulusan dalam UKAI nasional. Sementara, apoteker dituntut mampu memecahkan masalah terkait isu terkini dalam pelayanan kesehatan. Karena itu, universitas perlu menyiapkan apoteker untuk menghadapi isu kesehatan yang semakin kompleks melalui kompetensi refleksi.

Uji kompetensi apoteker di berbagai negara

Kompetensi menggambarkan kesiapan dan kelaikan apoteker dalam berpraktik sesuai dengan bidang pekerjaan kefarmasian. Seiring dengan hal tersebut, kompetensi dan uji kompetensi menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, regulasi, dan praktik kefarmasian.

Beberapa negara memiliki mekanisme uji kompetensi yang berbeda untuk mendapatkan lisensi berpraktik sebagai apoteker (pharmacist).

Amerika Serikat, misalnya, memiliki North American Pharmacist Licensure Examination (NAPLEX) bagi lulusan baru pendidikan profesi farmasi. Ujian berbasis komputer ini menilai pengetahuan seputar praktik kefarmasian umum dalam 225 soal.

Arab Saudi memiliki Saudi Pharmacist Licensure Examination (SPLE) dalam bentuk 300 soal pilihan ganda dari berbagai bidang farmasi dalam waktu 6 jam.

Di Australia, terdapat Intern Written Exam bagi mereka yang menyelesaikan Intern Training Program, program pelatihan berorientasi praktik bagi lulusan pendidikan profesi farmasi. Ujian ini terdiri dari 75 soal pilihan ganda yang diselesaikan dalam waktu 2 jam.

Di Indonesia, calon lulusan program profesi apoteker harus melalui Uji Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI). Ada dua metode UKAI yakni computer-based test (CBT) dan Objective Structured Clinical Examination (OSCE). UKAI metode CBT (UKAI-CBT) memiliki format 200 soal pilihan ganda yang diselesaikan dalam 200 menit dan menjadi syarat kelulusan mahasiswa dari pendidikan profesi apoteker sejak 2018.

Sementara itu, UKAI OSCE dilaksanakan dalam 9 ruangan yang mewakili area pembuatan, distribusi, dan pelayanan kefarmasian. Di dalam setiap ruangan, peserta ujian mendemonstrasikan keterampilan tertentu sesuai soal, lalu dinilai oleh penguji berdasarkan rubrik penilaian terstandar.

Sampai saat ini, UKAI OSCE masih dilaksanakan sebagai asesmen formatif (penilaian untuk mengevaluasi capaian pembelajaran), belum menjadi penentu kelulusan mahasiswa.

Asesmen dari kacamata evolusi paradigma kompetensi

Fenomena asesmen kompetensi pada apoteker tak lepas dari perkembangan asesmen kompetensi pada profesional kesehatan lainnya.

Menurut Brian David Hodges dari University Health Network Kanada, kompetensi mengalami evolusi paradigma: dari pengetahuan, kinerja, produk pengukuran melalui tes (psikometri), dan refleksi.

Kompetensi semula dinilai sebagai penguasaan pengetahuan. Proses pendidikan berfokus pada kemampuan menghafal, pembelajaran didaktik, dan transfer pengetahuan serta informasi. Kurikulum farmasi tradisional dibangun atas paradigma ini, yang menekankan mahasiswa menguasai sebanyak mungkin teori mengenai ilmu, praktik, dan regulasi kefarmasian.

Asesmen kompetensi umumnya dilakukan melalui ujian tulis, dan belakangan menjadi lebih efisien dengan adanya soal pilihan ganda.

Selanjutnya, berkembang paradigma yang memandang kompetensi sebagai kinerja. Kompetensi sebagai kinerja lebih mengutamakan proses latihan dan praktik ketimbang teori. Sehingga, terjadi pergeseran kurikulum pendidikan farmasi menjadi berorientasi praktik.

Pendidikan profesi apoteker di Indonesia, misalnya, mencakup minimal 60% komponen praktik. Metode asesmen berbasis kinerja seperti objective-structured clinical examinations (OSCE) pun dimanfaatkan untuk menilai kompetensi peserta didik.

Kompetensi sebagai psikometrik (produk pengukuran melalui tes) belakangan menjadi paradigma utama dalam kompetensi. Pengukuran kompetensi melalui ujian terstandar mendorong sinkronisasi pembelajaran dengan capaian pembelajaran, meningkatkan akuntabilitas publik, serta memberikan umpan balik kepada peserta didik.

Ujian terstandar dapat membedakan individu yang kompeten dengan yang tidak secara valid dan reliabel.

Namun, ujian terstandar, terutama yang berisiko tinggi, dapat menjadi motivasi belajar utama bagi mahasiswa, mengesampingkan motivasi internal. Mahasiswa akan berusaha keras agar lulus ujian kompetensi karena ketidaklulusan akan menghambat langkah mereka dalam mencari pekerjaan dan berpraktik sebagai apoteker.

Ujian kompetensi ini juga mengubah konsentrasi pengajaran dosen dan titik tekan pendidikan di program studi. Akhirnya, dosen mengajar mahasiswa hanya untuk mempersiapkan tes. Program studi juga akan berupaya menaikkan persentase kelulusan mahasiswa karena kelulusan dalam ujian kompetensi merupakan salah satu indikator kualitas program pendidikan apoteker.

Oleh karena itu, program pendidikan farmasi di negara lain seperti Amerika Serikat dan Arab Saudi menerapkan program persiapan untuk meningkatkan kelulusan mahasiswanya.

UKAI dan transisi pendidikan profesi apoteker di Indonesia

Sejak UKAI-CBT menjadi syarat kelulusan, proses pendidikan apoteker berpusat pada pemenuhan tuntutan kompetensi berdasarkan UKAI. Pelaksanaan tryout UKAI CBT dan UKAI OSCE secara nasional memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengukur kesiapan mereka sebelum menghadapi UKAI yang sebenarnya.

Program studi pendidikan profesi apoteker melakukan berbagai upaya untuk mempersiapkan mahasiswanya menghadapi UKAI, antara lain kuliah umum, workshop, tryout internal, hingga pelatihan penulisan soal bagi dosen agar mahasiswa semakin familiar dengan model soal UKAI.

Tidak hanya itu, sebagian mahasiswa juga berinisiatif meningkatkan persiapan ujian melalui bimbingan belajar UKAI.

Hal ini menunjukkan UKAI telah menjadi faktor penggerak utama dalam proses pendidikan apoteker Indonesia, tidak hanya di tingkat nasional dan program studi, tapi juga dosen dan mahasiswa.

Pentingnya kompetensi refleksi

Kompetensi sebagai refleksi berkembang sebagai respons terhadap paradigma kompetensi sebagai psikometri. Kompetensi sebagai refleksi menekankan aspek pengembangan diri dan profesi.

Kompetensi refleksi tidak hanya dinilai sebagai skor ujian, tapi juga pemahaman terhadap kekuatan, kelemahan, dan hubungan seseorang terhadap profesinya.

Untuk itu, diperlukan kemampuan menilai diri sendiri dan refleksi untuk memenuhi celah kompetensi.

Kemampuan refleksi tidak dapat muncul begitu saja, tapi perlu diasah dengan integrasi aktivitas refleksi dalam proses pendidikan. Penelitian di Australia dan Indonesia menunjukkan aktivitas refleksi dapat membantu mahasiswa mampu berpikir kritis dan membuat keputusan yang lebih baik dalam praktik kefarmasian.

Namun, aktivitas refleksi memiliki keterbatasan, antara lain dari segi reliabilitasnya sebagai bagian asesmen.

Terlepas dari keterbatasannya, refleksi mestinya menjadi bagian penting dalam pendidikan profesi apoteker. Tujuannya agar apoteker pada masa depan tidak hanya belajar karena dorongan eksternal, tapi memiliki kesadaran belajar sepanjang hayat. Tidak hanya untuk memenuhi standar kompetensi apoteker Indonesia, tapi juga untuk menjadi apoteker yang adaptif terhadap berbagai tantangan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now