Menu Close

Bahaya terlalu mengandalkan tes IQ: keterampilan kognitif penting justru tidak diukur

Banyak orang yang keberatan dengan tes kecerdasan. Ada yang bilang nilai tes intelligence quotient (IQ) terlalu sering disalahgunakan. Beberapa orang menganggap tes semacam ini tidak adil bagi anak-anak, karena jika mereka “gagal” dalam tes ini, mereka akan menerima kualitas pendidikan menengah yang lebih buruk dibandingkan teman-temannya yang “berhasil” – sehingga mereka akan dirugikan seumur hidup.

Beberapa orang menolak tes IQ karena alasan pribadi: betapa stresnya mereka saat mengikuti tes. Banyak yang meragukan bahwa hasil yang mereka peroleh benar-benar cerminan diri dan merefleksikan mereka potensi di masa depan.

Seberapa bermanfaatkah tes IQ – dan keterampilan serta kualitas apa yang tidak bisa diukur melalui tes ini?

Lebih dari 30 tahun yang lalu, saya menemukan arsip unik setengah terlupakan yang berisi lebih dari 89 ribu tipe tes IQ dari tahun 1932. Sampel ini mencakup sampel nasional anak-anak Skotlandia yang lahir pada tahun 1921-dan saat ini sudah berusia sekitar 76 tahun.

Tujuan saya sederhana: menemukan penduduk lokal yang cocok dengan arsip dan membandingkan kemampuan mental mereka saat ini dengan hasil tes mereka pada tahun 1932. Sebuah gambaran dengan cepat muncul menghubungkan skor IQ yang lebih rendah dengan usia kematian yang lebih awal dari perkiraan dan demensia yang timbul lebih awal.

Perang dunia kedua menghasilkan beberapa keganjilan yang tidak terduga. Laki-laki muda dengan nilai IQ masa kanak-kanak yang lebih tinggi lebih sering meninggal dalam dinas aktif. Anak perempuan dengan nilai lebih tinggi lebih sering menjauh dari daerah tersebut.

Saya bersepeda keliling Aberdeen, Skotlandia, untuk belajar lebih banyak tentang sejarah sosialnya, dan mengenal sekolah dasar tempat anak-anak mengikuti ujian pada tahun 1932. Rata-rata nilai IQ sering kali berbeda secara signifikan antar sekolah. Siswa yang bersekolah di daerah yang padat penduduknya cenderung mempunyai nilai ujian yang kurang baik.

Penelitian kami selanjutnya menunjukkan bahwa orang-orang dengan IQ lebih tinggi terlibat dalam aktivitas yang lebih merangsang secara intelektual, seperti membaca novel yang rumit atau mempelajari alat musik. Namun, kita tidak dapat mengetahui apakah memiliki IQ yang tinggi membuat orang mencari aktivitas tersebut atau apakah orang yang memiliki keingintahuan intelektual mengembangkan IQ yang lebih tinggi karena mereka terlibat dalam tugas-tugas kognitif yang kompleks sepanjang hidup.

Dan itu adalah pertanyaan penting. Orang-orang dari latar belakang yang lebih miskin, seperti lingkungan yang kurang beruntung di Kota Aberdeen, mungkin tidak mempunyai kesempatan untuk mengejar kepentingan intelektual karena kurangnya waktu dan sumber daya.

Untuk memberikan informasi yang lebih baik tentang pekerjaan saya, saya mencari penduduk lokal yang memiliki pengalaman panjang mengajar di Aberdeen. Pandangan mereka juga diamini oleh para pekerja di bidang kesehatan masyarakat dan psikologi.

Guru tersebut memperingatkan saya untuk tidak lupa bahwa tes IQ telah digunakan selama bertahun-tahun untuk memajukan “rasisme ilmiah” dan mereka khawatir bahwa tidak lama lagi, para pendukung tes IQ sayap kanan akan ingin menggunakan data Skotlandia yang ditemukan kembali ini untuk mencari dasar genetik dari kecerdasan. Karena khawatir tersebut, saya melihat kembali alasan survei pada tahun 1932 mengenai kemampuan mental anak-anak sekolah Skotlandia.

Survei ini didanai oleh Eugenics Society (eugenika adalah ilmu untuk meningkatkan kualitas umat manusia melalui pemilihan sifat-sifat keturunan yang “baik”) dengan bantuan dari Rockefeller Foundation. Prioritas bersama mereka adalah untuk menunjukkan hubungan antara ukuran keluarga besar dan kemampuan mental di bawah rata-rata.

Pada saat itu, hubungan negatif antara IQ seorang ibu dan kepemilikan anak mudah terlihat. Namun, reformasi pendidikan setelah tahun 1945, yang menyebabkan lebih banyak anak perempuan menyelesaikan pendidikan tinggi, menghasilkan hubungan yang jauh lebih kompleks antara IQ ibu, prestasi pendidikan, usia pertama kali melahirkan, dan kesuburan seumur hidup.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran publik kontemporer bahwa rata-rata kemampuan mental masyarakat umum diturunkan karena hilangnya begitu banyak pemuda yang dianggap memiliki kemampuan di atas rata-rata selama perang dunia pertama. Surat kabar berpendapat bahwa anak-anak sekolah perlu dinilai dan diseleksi untuk memberikan pendidikan yang lebih baik kepada mereka yang paling mungkin menerima manfaat.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tes IQ dapat memberi tahu kita sesuatu tentang keberhasilan akademis atau risiko demensia, banyak yang tidak tercakup dalam tes tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa sistem ini telah lama digunakan untuk alasan yang tidak jelas, sering kali sebagai alasan untuk mengurangi dana pada jenis sekolah tertentu, sehingga menciptakan sistem dua tingkat.

Mayoritas anak-anak, mereka yang tidak mengikuti atau lulus ujian masuk ala IQ di sekolah swasta atau sekolah dasar, akan memiliki banyak kualitas yang tidak diukur dalam tes IQ. Mereka mungkin juga mungkin mengalami keterlambatan perkembangan.

Yang tidak diukur oleh tes IQ

Jadi, apa yang tidak bisa diukur oleh tes IQ? Penelitian menunjukkan bahwa skor IQ meningkat sekitar 3 poin per dekade selama sebagian besar abad ke-20, namun mungkin menurun selama sekitar 30 tahun terakhir.

Beberapa ahli berpendapat hal ini mencerminkan perubahan kurikulum sekolah atau mungkin hanya kompleksitas kehidupan modern. Perolehan “pengetahuan isi” (membaca dan menghafal) pernah menjadi landasan ujian umum dan berkaitan dengan kinerja tes IQ.

Misalnya, kita tahu bahwa memori kerja terkait dengan kinerja tes IQ. Namun, penelitian telah mengungkap bahwa disiplin diri sebenarnya merupakan prediktor yang lebih baik terhadap hasil ujian dibandingkan IQ.

Saat ini, anak-anak di negara Barat diajari pemecahan masalah ilmiah secara kolektif, dikombinasikan dengan keterampilan antarpribadi dan kerja sama tim, yang memerlukan lebih sedikit hafalan. Hal ini sebenarnya dapat membuat siswa cenderung tidak mendapat nilai tinggi dalam tes IQ, meskipun metode-metode ini membantu umat manusia secara keseluruhan menjadi lebih pintar. Bagaimanapun, pengetahuan terus berkembang, dan sering kali merupakan hasil kolaborasi penelitian yang sangat besar.

Jenis “pembelajaran prosedural” ini mengarah pada kesadaran diri yang matang, stabilitas emosi, pengakuan terhadap pikiran dan perasaan orang lain, serta pemahaman tentang dampak individu terhadap kinerja kelompok. Yang terpenting, kurangnya keterampilan ini dapat menghambat pemikiran rasional. Penelitian menunjukkan bahwa ketika kita mengabaikan atau gagal memahami perasaan kita, kita lebih mudah dimanipulasi oleh perasaan tersebut.

IQ tinggi juga tidak serta merta melindungi dari bias atau kesalahan. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa orang dengan IQ tinggi bisa sangat rentan terhadap kesalahan, seperti menemukan pola meskipun tidak ada, atau tidak relevan.

Hal ini dapat menyebabkan bias konfirmasi dan kesulitan untuk menyerah pada suatu ide, solusi atau proyek meskipun ide tersebut tidak lagi berfungsi. Hal ini juga dapat menghalangi penalaran rasional. Namun, kelemahan tersebut terlewatkan oleh tes IQ.

Image of Albert Einstein.
Einstein menghargai kreativitas dan intuisi. wikipedia, CC BY-SA

Banyak lompatan besar dalam kecerdikan manusia didorong oleh kreativitas, kolaborasi, persaingan, intuisi atau rasa ingin tahu, bukan hanya IQ individu. Misalnya saja Albert Einstein, yang sering dipuji sebagai seorang jenius.

Dia tidak pernah mengikuti tes IQ, tetapi orang-orang terus-menerus berspekulasi tentang IQ-nya. Namun, dia sering memuji rasa ingin tahu dan intuisinya sebagai kekuatan pendorong utama keberhasilan ilmiah-dan ini bukanlah kualitas yang diukur dengan tes IQ.

Etos sekolah modern tidak didorong oleh preferensi untuk hanya mendidik anak-anak yang dalam seleksi memenuhi standar minimum tes mental. Sekolah mengakui bahwa hasil pendidikan tidak ditentukan semata-mata oleh kemampuan bawaan tetapi juga dipengaruhi oleh semua pengalaman sebelumnya yang memengaruhi kompetensi emosional, motivasi, keingintahuan intelektual, wawasan dan penalaran intuitif.

Ketika partisipan lokal dalam survei tahun 1932 diwawancarai pada usia lanjut, mereka berbicara dengan hangat tentang masa sekolah mereka – khususnya tentang persahabatan. Mereka jarang menyebutkan pendidikan mereka. Pembelajaran pengetahuan konten, dengan ancaman hukuman fisik, tidak dianggap baik. Beberapa orang ingat pernah mengikuti tes IQ pada tahun 1932 dan merasa senang karena sebagian besar sekolah tidak lagi melakukan tes IQ seperti itu kepada anak-anak.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now