Menu Close
Potret sungai Cikapundung diambil dari Sabuga, Babakan Siliwangi Kota Bandung, Juni 2011. Citarum2010/Flickr

Bantaran Cikapundung: debit air sungai besar, kualitas air sumur buruk, mengapa?

Kualitas air sungai Cikapundung di Bandung menurun secara drastis dalam rentang dua puluh tahun terakhir. Ada hubungan yang erat antara kualitas air sungai dan air tanah yang dikonsumsi warga sekitarnya. Saat kualitas air sungai tersebut memburuk, kualitas air tanah makin tidak aman dikonsumsi. Kini warga beralih pakai air dari Perusahaan Daerah Air Minum Kota Bandung.

Sejak 2001, saya memimpin tim riset yang fokus mengkaji hidrogeologi di kawasan urban dan kawasan gunung api, khususnya kualitas air tanah serta interaksinya dengan air permukaan di sungai Cikapundung. Sejumlah riset terbaru menunjukkan air sungai tidak hanya tercemar oleh pembuangan limbah industri, tapi juga oleh limbah rumah tangga. Masalahnya, regulasi untuk mencegah pembuangan limbah oleh rumah tangga sungguh lemah.

Satu sungai empat daerah

Sungai Cikapundung adalah satu dari 46 sungai dan anak-anak sungai yang mengalir melalui Kota Bandung. Sungai ini mengalir dari utara di kawasan pegunungan Tangkuban Parahu ke arah selatan hingga bertemu dengan Sungai Citarum.

Aliran sungainya sepanjang 15,5 kilometer, dengan luas daerah aliran sungainya (DAS) seluas 14,9 Hektare. Sungai ini merupakan bagian dari DAS Sungai Citarum, sungai terpanjang di Jawa Barat.

Karena cukup luas, penataan ruangnya melibatkan dua kota dan dua kabupaten: Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung. Komunikasi dan pembagian peran antar daerah tersebut sangat penting, tapi belum tampak hingga saat ini.

Masalah komunikasi tersebut diperburuk oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air–belum ada penggantinya hingga kini sehingga memakai undang-undang lama terbitan 1974–dan perubahan kewenangan daerah menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Masalah ini menjadi beban ganda dalam pengelolaan air secara menyeluruh di Indonesia.

Air Cikapundung vs air sumur sekitar

Sekitar 20 tahun lalu, kelompok riset kami, Kelompok Keilmuan Geologi Terapan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, mulai menelaah perilaku air sungai Cikapundung dan hubungannya dengan air tanah di sekitarnya. Rachmat Fajar Lubis dan Deny Juanda Puradimaja, yang memulai pemetaan aliran air tanah dan air sungai di sepanjang aliran Sungai Cikapundung pada 1997.

Mereka yang pertama kali menyatakan bahwa air Sungai Cikapundung dan air tanah di bantarannya saling berhubungan. Kualitas air sungai akan mempengaruhi air tanah dan begitu pula sebaliknya.

Beberapa peneliti lainnya juga telah menelusuri interaksi antara kedua badan air itu secara numerik, analisis kesetimbangan debit air sungai, dan analisis kewilayahan dan partisipasi publik. Ada pula analisis kandungan logam berat, analisis kandungan mikroorganisme, analisis vegetasi, dan hubungan antara kualitas air tercemar dengan tumbuhan gulma di sungai.

Secara keseluruhan, berbagai riset tersebut menunjukkan air sungai Cikapundung debitnya cukup besar, tapi kualitasnya buruk. Air sungai telah tercemar dengan sumber polutan tidak hanya dari industri, tapi juga dari rumah tangga (domestik). Kedua sumber polutan itu merupakan dampak dari aktivitas manusia, yang dikonfirmasi pula dari hasil pengukuran isotop S34 oleh Batubara dan Iskandar pada 2018 dalam riset program magister ITB.

Karena air sungai dan air tanah saling terhubung, bila air sungai kotor, maka air tanahnya pun akan kotor. Begitu pula sebaliknya. Dan keadaan buruk itu sudah terjadi.

Limbah rumah tangga di Kebon Bibit langsung dibuang ke selokan yang berakhir di Sungai Cikapundung. Author provided

Foto di atas merupakan tipikal titik pembuangan limbah rumah tangga yang langsung dibuang ke selokan dan berakhir di sungai Cikapundung, tanpa diolah atau diendapkan lebih dulu. Bayangkan kalau ini dilakukan oleh sebagian besar rumah di Bandung. Hingga saat ini belum pernah ada perhitungan jumlah rumah yang berdiri di tepi sungai Cikapundung, tapi sebuah studi pada 2017 menggambarkannya sebagai pemukiman berpenghasilan rendah di Kota Bandung.

Riset kami berikutnya pada 2017 dan 2018 dengan memanfaatkan teknik pengambilan data secara time series, menampakkan beberapa hasil menarik. Pengukuran TDS (total dissolved solids) atau sering disetarakan dengan kadar garam yang dilakukan oleh Sri Aditya di tiga lokasi di aliran sungai di kawasan Curug Panganten (bagian hulu), Perumahan Pondok Hijau, dan di bagian hilir di Perumahan Grand Pancanaka (kawasan Bandung Utara dan Cimahi pada 2017) menunjukkan adanya peningkatan kadar mineral pada akhir minggu.

Mineral atau padatan terlarut ini bisa berasal dari berbagai bahan yang dibuang di sungai. Apakah ini berhubungan dengan melonjaknya pengunjung Kota Bandung di akhir pekan yang berujung kepada tingginya hunian hotel dan penginapan di daerah tersebut? Perlu riset lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan ini.

Peningkatan nilai indikator kualitas air ke arah hulu dapat dijadikan barometer tingkat polusi, kecepatannya, dan jaraknya dari arah hulu. Pengukuran kami pada 2017, menemukan nilai BOD (Biological Oxygen Demand, Kebutuhan Oksigen Biologis) meningkat dua kali lipat ke arah hilir diikuti dengan kenaikan populasi bakteri E.coli hingga lima kali lipat. E.Coli umumnya berasal dari kotoran manusia.

Dari temuan ini dapat dilihat bahwa tidak hanya dari parameter fisik (TDS), tapi parameter organik juga mengindikasikan penurunan kualitas air, baik air sungai maupun air tanah, karena keduanya berhubungan.

Pengukuran berikutnya pada Juli 2018, di lokasi yang lebih ke tengah kota, di aliran Sungai Cikapundung di kawasan Dago Pojok, Cihampelas, dan Dayeuhkolot, menunjukkan adanya peningkatan nilai Nitrat (NO3) dan Nitrit (NO2) yang tinggi. Nilai Nitrat dan Nitrit meningkat 10-20 kali lipat dari lokasi Dago Pojok ke Cihampelas yang berjarak sekitar 5 km (dalam garis lurus). Mengkonsumsi (terekspos) oleh air berkadar Nitrat tinggi dapat mengakibatkan gangguan pada hemoglobin darah.

Hasil wawancara kami dengan beberapa warga di Cihampelas pada Juli-Agustus 2018, menunjukkan bahwa, bila dibandingkan dengan era 1980-an, lebih dari separuh sumur milik warga (dari kurang lebih 50 kepala keluarga) kini telah ditutup oleh pemiliknya. Alasannya, mereka merasa tidak aman mengkonsumsinya, bahkan untuk mandi dan mencuci. Mereka beralih ke air yang dipasok oleh Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung yang tidak mengalir secara penuh dalam sehari.

Dalam kutipan wawancara dengan warga di area tersebut, warga biasa menggunakan parameter warna, bau, dan rasa untuk menentukan apakah air sumur dapat diminum atau tidak. Mereka merebus air sebelum diminum. Uniknya, beberapa warga menjelaskan bahwa merebus air mereka pelajari dari kebiasan di keluarga, bukan hasil pengajaran di sekolah.

Secara ilmiah, merujuk pada warna, bau, dan rasa air tanah saja, tidak dapat digunakan untuk menentukan apakah air aman dikonsumsi atau tidak. Masyarakat perlu menguji kandungan air di rumahnya masing-masing untuk mengetahui apakah air tersebut aman untuk dikonsumsi. Pada kenyataannya, pada pengukuran pada Juli 2018, kandungan Nitrat (NO3) dan Nitrit (NO2) memang cukup tinggi.

Limbah rumah tangga luput dari regulasi

Polusi oleh limbah domestik saat ini masih luput dari penanganan pembuat kebijakan di pemerintah daerah. Mayoritas regulasi pencegah pencemaran baru menembak limbah industri. Kasus pencemaran makin banyak terungkap di wilayah Cekungan Bandung, misalnya, setelah prajurit TNI Angkatan Darat turut berpartisipasi sebagai pengawas.

Karena itu, sangat penting regulasi lokal yang ketat dan implementasinya untuk memastikan bahwa pemukiman atau suatu kawasan tidak membuang limbahnya langsung ke sungai. Regulasi itu perlu juga didukung dengan upaya pemerintah daerah untuk menyediakan infrastruktur pengolah limbah air kotor. Biasanya hal ini sulit karena terkendala dana.

Karena itu perlu juga meningkatkan pendidikan kepada masyarakat tentang membangun bak pengolah limbah domestik sederhana. Berbagai teknologi sederhana dan murah dapat diadopsi, salah satunya adalah metode floating treatment wetlands.

Banyak riset tapi minim upaya penyebaran

Informasi dan hasil riset tentang pengolahan limbah di era internet saat ini melimpah dan sangat mudah ditemukan dengan mesin pencari (search engine). Untuk itu para pembuat kebijakan perlu memahami dan memiliki keterampilan mencari informasi secara daring. Saat ini mencari hasil riset secara daring adalah cara termudah dan tercepat.

Di sisi lain, peneliti sebagai salah satu “penghasil” ilmu pengetahuan, selain memiliki kewajiban menulis makalah ilmiah seperti disyaratkan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), juga perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mengarsipkan karya secara daring, agar karyanya mudah ditemukan dan dibaca oleh masyarakat dan pembuat kebijakan. Perguruan tinggi wajib membuka seluruh hasil risetnya melalui repositori data masing-masing untuk meningkatkan nilai riset (research value), daripada hanya mengejar reputasi melalui jumlah makalah ilmiah.

Bukankah riset sangat dibutuhkan untuk mengedukasi masyarakat dan pembuatan kebijakan publik, termasuk mencegah pencemaran air?

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now