Menu Close

Banyak orang Indonesia salah kaprah tentang perubahan iklim, bagaimana cara memperbaikinya?

Anak muda berkumpul untuk membicarakan isu perubahan iklim. (350.org)

Indonesia memang menorehkan sejumlah kemajuan dalam ambisi ataupun upaya menangani perubahan iklim. Sayangnya, di balik kemajuan ini, dua survei terbaru membuktikan masih banyak penduduk di tanah air yang belum memahami perubahan iklim berikut penyebabnya.

Misalnya, survei tahun 2021 kepada 3.490 penduduk dari 34 provinsi yang terbit Januari lalu menyatakan 88% responden mengakui mengetahui istilah perubahan iklim. Namun, hanya 44% di antaranya yang memaparkan arti istilah tersebut dengan tepat.

Survei ini yang dihelat organisasi nirlaba bidang lingkungan, Dialogue Development Asia, bersama konsultasi komunikasi Communication for Change, juga menemukan hanya 47% responden yang mempercayai pemanasan global terjadi akibat perbuatan manusia.

Temuan lainnya dari survei global yang diadakan Yale Univesity bersama Meta juga memperkuat hasil survei di atas. Jajak pendapat tersebut terbit pada 2022 serta melibatkan 108 ribu pengguna Facebook dari 192 negara. Sebanyak 1.178 responden di antaranya berasal dari Indonesia.

Hasilnya, hanya 18% responden Indonesia yang mempercayai perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia.

Soal pengetahuan perubahan iklim, Indonesia – dibandingkan negara Asia dan Pasifik, hanya lebih tinggi dari Laos dan Kamboja. Cuma sekitar 29% responden tanah air yang menyatakan memiliki pengetahuan ‘banyak’ ataupun ‘moderat’ tentang iklim yang berubah.

Pengguna Facebook Indonesian Facebook merupakan yang tertinggi di Asia dan Pasifik dalam jawaban mereka yang hanya memiliki ‘sedikit’ ataupun ‘tak pernah mendengar’ perubahan iklim. International Public Opinion on Climate Change, 2022, Yale Program on Climate Change Communication and Data for Good at Meta.

Edukasi perubahan iklim kepada penduduk yang menganggap topik tersebut tak relevan merupakan sebuah tantangan besar.

Ketika orang-orang lebih memahami perubahan iklim, mereka dapat meminta pemerintah untuk lebih ambisius dalam mengatasi perubahan iklim. Mereka juga akan lebih menuntut pertanggungjawaban jika pemerintah dianggap tak bertindak.

Kita harus memperbincangkan perubahan iklim seluas-luasnya kepada lebih banyak khalayak Indonesia. Sebagai peneliti kebijakan iklim, saya mengusulkan tiga langkah yang bisa dilakukan untuk menaikkan kesadaran publik tentang perubahan iklim sekaligus menjadikannya isu prioritas bagi di tanah air.

1. Pahami cara pandang orang-orang

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah memahami audiens kita, termasuk cara mereka memandang dunia (worldview).

Cara pandang ini erat kaitannya dengan kepercayaan, nilai-nilai, budaya, dan pengalaman seorang.

Katedral Jakarta saat misa. Rantemario/Wikimedia Commons, CC BY-NC

Sebagian besar orang indonesia – 93-97% – menurut survei 2021 memiliki cara pandang konservatif. Artinya, mereka lebih menghargai nilai-nilai yang menyangkut institusi tertentu (semacam agama ataupun negara) seperti patriotisme dan nasionalisme, loyalitas, kepatuhan dan penghormatan terhadap otoritas atau tradisi, termasuk juga hukum dan ketertiban.

Nah, walaupun banyak orang Indonesia tak terlalu akrab dengan konsep perubahan iklim, survei menemukan 80% responden mempercayai kewajiban moral manusia untuk menjaga lingkungan.

Kepercayaan ini mencerminkan nilai pelestarian alam sebagai bentuk kepatuhan orang Indonesia terhadap otoritas dan patriotisme – semuanya terkait dengan cara pandang konservatif.


Read more: Krisis iklim itu nyata -- tapi pemakaian istilah “krisis” secara berlebihan bisa menghambat aksi iklim


Karena itulah, kita mesti merangkai narasi-narasi yang ada tentang perubahan iklim ataupun aksi iklim yang lebih pas dengan cara pandang konservatif.

Sebagai tindak lanjut survei, Dialogue Development Asia - Communication for Change mengadakan diskusi terpumpun untuk menguji pesan perubahan iklim yang pas dengan orang Indonesia. Hasilnya, pesan yang bernada liberal lebih sedikit didengar oleh publik Indonesia dibandingkan pesan bernuansa konservatif.

Misalnya, organisasi masyarakat sipil kerap memakai pesan semacam ini:

Lestarikan hutan Indonesia, paru-paru dunia, untuk mencegah dampak perubahan iklim. Pembabatan hutan pun melanggar masyarakat adat.

Berdasarkan hasil diskusi terpumpun, pesan di atas ternyata kurang mampu memantik kesadaran lingkungan masyarakat Indonesia.

Lain halnya dengan pesan ini (yang bernuansa konservatif) terbukti lebih menggerakkan responden:

Indonesia mempunyai luas wilayah hutan nomor 3 terbesar di dunia. Jika terus dibabat, hilang kebanggaan bangsa kita.

Dari laporan ini, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dapat belajar untuk mengidentifikasi dan memahami cara pandang mayoritas warga. Tujuannya untuk menciptakan kampanye perubahan iklim yang lebih efektif.

2. Dekatkan isunya dengan keseharian penduduk

Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia tentang perubahan iklim memang penting. Namun, penyederhanaan pesan kampanye juga tak bisa disepelekan. Apalagi perubahan iklim kerap dianggap sebagai konsep yang rumit dan teknis.

Narasi kita tentang perubahan iklim haruslah berhubungan dengan keseharian orang-orang. Misalnya, istilah ‘selimut polusi’ lebih efektif menggambarkan fenomena perubahan iklim kepada masyarakat Indonesia.

Upaya merangkai pesan ini memang tak bisa dilakukan sendirian. Pemerintah, masyarakat sipil, dan juga perguruan tinggi, harus menggaet praktisi komunikasi dan hubungan masyarakat untuk merumuskan pesan-pesan perubahan iklim yang dekat dengan kehidupan warga.

3. Gunakan media sosial

Aksi-aksi yang dilakukan individu dapat menjadi penekan pemerintah untuk lebih bertindak bagi kepentingan publik.

Ini juga berlaku bagi perubahan iklim. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat berpotensi menaikkan ambisi iklim dan pelestarian lingkungan Indonesia.

Media sosial bisa menjadi sarana yang ampuh untuk ini,, sepanjang orang-orang maupun kelompok dapat mengakses informasi yang benar seputar perubahan iklim serta melakukan tindakan yang tepat.

Pemerintah maupun organisasi masyarakat, jika dilengkapi narasi dan strategi yang tepat, dapat memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan pemahaman publik Indonesia tentang perubahan iklim. Ada sekitar 191,4 juta pengguna media sosial aktif di Indonesia pada 2022. Angka ini merupakan yang ketiga tertinggi setelah Cina dan India.


Read more: Inilah mengapa aksi iklim warga memulihkan kawasan mangrove tak bisa disepelekan


Sebagai kesimpulan, jika kita menginginkan para pemimpin bertindak mengatasi perubahan iklim, maka kita harus membantu lebih orang Indonesia untuk memahami iklim yang berubah.

Ini bukan perkara perubahan kebijakan, tapi juga memastikan isu perubahan iklim dipahami banyak orang. Karena itulah, pendekatan komunikasi yang memadai bisa menjadi salah satu caranya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now