Menu Close

Beda orang, beda strategi: intervensi spesifik pada pasien diabetes bisa tingkatkan kepatuhan minum obat antihipertensi

Hampir 11 juta orang Indonesia menderita diabetes. Trennya cenderung meningkat tiap tahun karena makin besarnya pengaruh gaya hidup yang tidak sehat di masyarakat.

Pasien dengan diabetes biasanya disertai dengan beberapa penyakit penyerta seperti hipertensi. Akan tetapi, kepatuhan minum obat antihipertensi di kalangan pasien dengan diabetes cukup rendah.

Riset terbaru kami di Bandung menunjukkan konseling yang dilakukan oleh apoteker yang menyesuaikan masalah individual pasien (tailored intervention) berhasil meningkatkan level kepatuhan pasien diabetes terhadap obat antihipertensi.

Cara ini lebih realistis diterapkan di Indonesia dan negara berkembang karena tidak memerlukan biaya yang mahal dan tidak perlu mengubah sistem kesehatan secara signfikan.

Pentingnya kepatuhan minum obat

Dalam riset-riset sejenis baik di negara berkembang maupun negara maju, pasien diabetes memiliki masalah kepatuhan terkait pengobatan penyakit penyerta seperti hipertensi.

Misalnya, mereka lupa minum obat, kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan mereka, kurang motivasi dalam minum obat, dan masalah teknis lainnya seperti kesulitan pergi ke layanan kesehatan atau sulit mengunyah obat.

Untuk jenis masalah yang beragam itu, umumnya apoteker dan petugas kesehatan menggunakan cara intervensi yang sama seperti pengiriman pesan melalui SMS secara massal untuk mengingatkan pasien atau dengan memberi konseling yang sama (one-size-fits-all counselling) tanpa menggali penyebab ketidakpatuhan pada pasien.

Dalam riset ini, kami menggunakan model intervensi yang berbeda. Apoteker yang kami ajak dalam riset ini juga melakukan skrining mengenai masalah ketidakpatuhan setiap pasien, dan memberikan cara penyelesaian yang spesifik untuk setiap masalah yang teridentifikasi.

Riset ini awalnya melibatkan 201 pasien diabetes dengan hipertensi pada bulan pertama. Apoteker memberikan layanan intervensi per pasien pada bulan pertama. Sampai riset selesai pada bulan ketiga, terdapat 56 pasien pada kelompok kontrol dan 57 orang pada kelompok intervensi.

Pasien yang diacak dalam kelompok intervensi diberikan tindakan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan hambatan kepatuhan mereka. Apoteker yang kami ajak dalam riset ini berperan bukan hanya memberikan obat dan memberikan panduan pengobatan secara umum tapi juga mendeteksi masalah yang spesifik dan memberikan solusi.

Misalnya, apabila pasien lupa minum obat, maka apoteker akan menganjurkan pasien untuk menggunakan alarm. Apabila pasien teridentifikasi dengan kurang pengetahuan mengapa dan bagaimana cara minum obat antihipertensi, maka apoteker akan memberikan informasi mengenai bagaimana dan mengapa pasien harus minum obat hipertensi.

Riset ini menunjukkan sekitar 42% di antara pasien lupa minum obat antihipertensi dan 18% pasien memiliki pengetahuan yang kurang. Kurang motivasi dan masalah teknis lainnya bukan merupakan hambatan yang umum dijumpai.

Hal ini menunjukkan bahwa di negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia, lupa minum obat dan kurangnya pengetahuan tentang hipertensi merupakan penghalang yang signifikan terhadap kepatuhan mengonsumsi obat antihipertensi pada pasien diabetes tipe 2.

Hal ini harus menjadi perhatian karena rendahnya kepatuhan minum obat akan berdampak langsung pada pasien. Mereka berisiko terkena komplikasi yang dapat berujung pada kematian.

Ajak pasien menentukan tujuan

Sejumlah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat antihipertensi kurang optimal di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya pengetahuan mengenai efek kepatuhan minum obat terhadap pengobatan.

Banyak intervensi yang telah dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan ini di negara-negara berpenghasilan tinggi seperti melakukan edukasi berkelanjutan pada pasien, manajemen dalam regimen pengobatan, konsultasi apoteker klinis, terapi perilaku kognitif, dan pengingat minum obat.

Namun sebagian besar intervensi tersebut terlalu rumit dan efektivitasnya pun terbatas. Hal ini mencerminkan bahwa banyak intervensi yang tidak didasarkan pada pendekatan terhadap hambatan kepatuhan setiap individu.

Dalam riset ini, kami menggunakan strategi yang tidak memerlukan biaya mahal dengan melibatkan apoteker yang bertugas di puskesmas. Kami merancang model intervensi kepatuhan pengobatan sesuai dengan setiap hambatan yang dihadapi pasien yang tidak patuh. Untuk tujuan ini, apoteker menerima 3 jam pelatihan dari kolega mereka yang senior.

Pada tahap pertama, peneliti mengidentifikasi kepatuhan pribadi pasien dan menyesuaikan strategi dengan hambatan tersebut. Lalu, peneliti melibatkan pasien dalam penetapan tujuan dan menulis tujuan yang telah disepakati di atas brosur khusus setiap pasien.

Pasien di kelompok kontrol menerima penyuluhan apoteker berdasarkan pedoman pelayanan kefarmasian di puskesmas. Pada setiap kunjungan, mereka mendapatkan informasi tentang jumlah dan dosis obat yang dibagikan. Juga informasi kapan dan bagaimana menggunakan dan menyimpan obat, efek samping dan cara mengatasinya, pentingnya kepatuhan pengobatan, dan memastikan apakah pasien memahami cara minum obat dengan benar.

Dari riset ini temuannya cukup menarik bahwa menyertakan intervensi sederhana seperti ini dalam konseling rutin yang dilakukan oleh apoteker dapat meningkatkan kepatuhan pasien.

Seperti laporan riset sebelumnya meningkatkan pengetahuan pasien tentang hipertensi dan pengobatannya dapat menurunkan kesalahpahaman tentang manfaat dan risiko pengobatan. Hal ini mengarah pada perubahan positif dalam keyakinan pasien tentang obat antihipertensi.

Biaya murah

Untuk meningkatkan potensi dampaknya, program intervensi yang melibatkan apoteker ini menggunakan diagnosis ketidakpatuhan dan tindakan intervensi menyesuaikan dengan masalah kepatuhan per pasien.

Intervensi tersebut juga sejalan dengan alur kerja dan sumber daya dalam praktik klinis sehari-hari di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Secara biaya, intervensi ini tidak memerlukan perubahan logistik yang banyak pada sistem perawatan saat ini.

Temuan riset ini menggembirakan, karena ketidakpatuhan dapat diminimalkan dengan intervensi yang relatif sederhana dan berbiaya rendah.

Kita perlu studi lanjutan yang lebih lama yang berfokus pada bagaimana kepatuhan dan keyakinan pasien tentang obat antihipertensi mereka berubah dari waktu ke waktu.

Jadi, untuk meningkatkan kepatuhan berobat pasien diabetes terhadap obat antihipertensi ini langkah sederhananya: dorong pasien untuk menyertakan rutinitas minum obat ke dalam aktivitas sehari-hari mereka, tetapkan rencana tindakan dengan tujuan yang disepakati atau melibatkan anggota keluarga.

Jika itu dilakukan terus menerus, maka minum obat menjadi kebiasan yang mudah dilakukan.


Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan Pusat Keunggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now