Menu Close

Belajar dari Austria untuk mengendalikan diabetes tipe 1 di Indonesia

Pemeriksaan kadar gula darah pada pengidap diabetes bisa melalui pengambilan darah di ujung jari. Pexels/Photomix Company

Jumlah pengidap diabetes di Indonesia menduduki posisi kelima terbanyak di dunia, dengan 19,47 juta penderita pada 2021. Angka ini diprediksi jauh dari riil, karena diperkirakan 70% penyandang diabetes di negeri ini belum atau tidak terdiagnosis.

Walau penyakit diabetes tidak bisa disembuhkan, penyakit ini dapat dikendalikan melalui pengendalian kadar gula darah agar tidak melebihi batas normal. Sebagai penyandang diabetes tipe 1 (T1DM) selama tujuh tahun terakhir, satu penulis (Jaya Addin Linando) memiliki pengalaman dirawat di Indonesia dan Austria, negara maju yang memiliki sistem kesehatan yang sangat baik.

Penanganan yang tepat untuk penyakit diabetes tipe 1 (pankreas tidak bisa memproduksi insulin, terjadi pada anak-anak dan dewasa muda) menjadi krusial agar para penyandang T1DM tetap dapat beraktivitas secara produktif. Dua hal paling esensial dalam penanganan T1DM adalah skrining dan terapi serta pemantauan gula darah secara rutin.

Skrining dan terapi

Penulis pertama kali didiagnosis mengidap penyakit diabetes pada 2015. Pada waktu itu, dokter Indonesia yang menangani penulis belum dapat memastikan apakah diabetes penulis termasuk pada kategori tipe 1 atau tipe 2.

Maka, sebagai percobaan, penanganan yang penulis terima pada waktu itu berupa konsumsi obat oral metformin. Seiring berjalannya waktu, pengobatan metformin tidak berdampak signifikan, sehingga dokter menambahkan resep obat baru, yaitu glibenclamide.

Hingga 2016, karena tidak kunjung ada perbaikan kondisi, dokter menyarankan penulis untuk menjalani terapi insulin, tepatnya menggunakan insulin mix. Insulin mix adalah sebuah insulin yang mengandung campuran insulin dengan jangka waktu kerja cepat dan waktu kerja menengah atau panjang. Juga di titik ini, pada akhirnya dokter yang menangani penulis menyatakan bahwa diabetes yang penulis idap adalah diabetes tipe 1.

Beralih menjalani pengobatan di Austria pada 2020, dokter yang menangani penulis menyayangkan pola penanganan dengan insulin mix yang penulis jalani dalam kurun waktu 4 tahun (2016–2020).

Menurut dokter spesialis endokrinologi dan nephrologi yang menangani penulis di Austria, satu-satunya standar penanganan diabetes tipe 1 adalah dengan metode basal-bolus. Ini adalah metode yang melibatkan dua jenis insulin: basal (jangka panjang) dan bolus (jangka pendek). Insulin basal umumnya diinjeksi satu atau dua kali dalam sehari (tergantung jenis insulin basalnya), dan insulin bolus diinjeksi setiap akan makan.

Metode basal-bolus pun sebenarnya juga diakui oleh para akademisi dan peneliti diabetes di Indonesia sebagai pola pengobatan terbaik untuk T1DM. Metode ini juga sejalan dengan pernyataan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) bahwa konsep basal-bolus memiliki kemungkinan terbaik menyerupai sekresi insulin fisiologis bagi penyandang T1DM.

Maka dari itu, skrining, misalnya memakai tes C-peptide atau tes GAD, menjadi titik kunci dalam penanganan diabetes di Indonesia. Hal ini penting karena tipe diabetes yang berbeda juga memerlukan pola penanganan yang berbeda.

Dalam konteks Indonesia, Kementerian Kesehatan mestinya lebih menggalakkan prosedur skrining tipe diabetes dengan biaya ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Setelah itu, Kementerian Kesehatan melalui sistem standar pengobatan BPJS dapat memberi panduan kepada dokter penyakit dalam untuk menerapkan pola basal-bolus kepada pasien T1DM, yang biayanya juga ditanggung oleh BPJS.


Read more: Jumlah pengidap diabetes terus naik: mengapa nasi jadi tertuduh utama di Asia


Sistem pemantauan kadar gula darah

Pemantauan kadar gula darah secara rutin dalam sehari adalah salah satu elemen penting dalam keberhasilan penanganan kasus diabetes tipe 1.

Secara umum, pemantauan kadar gula dalam darah secara rutin dapat dilakukan melalui dua cara: (1) mengambil darah dengan cara menusuk jari dan (2) menggunakan alat pemantauan glukosa berkelanjutan, Continuous Glucose Monitoring (CGM).

Kedua metode tersebut sama-sama membutuhkan biaya. Pengambilan darah dari jari memerlukan biaya pembelian jarum dan strip sekali pakai serta alat ukur kadar glukosa. Sedangkan penggunaan CGM memerlukan biaya untuk pembelian alat ukur dan sensor yang perlu diganti secara berkala.

Di Austria, asuransi kesehatan publik negara sekelas BPJS Kesehatan di Indonesia, yang bernama Österreichische Gesundheitskasse (ÖGK), menanggung keseluruhan biaya CGM bagi penyandang T1DM.

Di Indonesia, alat untuk memantau kadar gula dalam darah secara rutin, baik yang melalui pengambilan darah dari jari, terlebih yang berupa sensor kontinu, belum termasuk dalam komponen yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

BPJS Kesehatan telah memiliki Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) yang di dalamnya terdapat banyak fasilitas bermanfaat bagi para penyandang diabetes, seperti edukasi, senam bersama, layanan pengobatan ke rumah bagi pasien yang membutuhkan, juga cek gula secara berkala.

Namun, khusus bagi penyandang diabetes tipe 1, fasilitas cek gula darah berkala dari BPJS belum cukup memadai untuk tujuan pengendalian gula darah. Para penyandang T1DM memerlukan pengecekan gula darah berkali-kali dalam sehari agar mereka dapat secara tepat menentukan dosis insulin yang harus mereka injeksikan.

Saat ini, advokasi penyediaan alat untuk mengecek gula darah secara rutin (khususnya strip pengecekan darah yang diambil dari jari) sedang digalakkan oleh Anita Sabidi, aktivis-advokat diabetes yang juga merupakan anggota Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) dan Ikatan Diabetes Anak dan Remaja (Ikadar).

Ada beberapa opsi yang dapat pemerintah (BPJS) ambil untuk memfasilitasi tuntutan pengadaan alat pemantauan kadar gula darah rutin. Pertama, dengan memberikan strip dan alat untuk mengecek kadar gula darah kepada tiap-tiap individu penyandang T1DM. Meski metode ini jauh dari ideal (karena sakit, berpotensi menimbulkan trauma, bahkan dapat berujung pada infeksi), setidaknya ini adalah fasilitas minimum yang dapat pemerintah berikan.

Opsi kedua, pemerintah Indonesia juga dapat mempertimbangkan fasilitasi sensor CGM bagi pasien T1DM, seperti yang dilakukan pemerintah Austria. Meski dipercaya sebagai salah satu cara terbaik untuk mengontrol diabetes tipe 1 saat ini, opsi ini membutuhkan banyak biaya, mengingat mahalnya harga alat dan sensor CGM yang perlu diganti secara berkala.

Sensor CGM di online marketplace (produsen alat tersebut belum menjual produk ini secara resmi di Indonesia) dijual sekitar Rp 1.250.000 untuk sensor yang aktif selama 2 minggu, atau setara Rp 2.500.000 per bulan.

Opsi terakhir merujuk pada teknologi yang saat ini sedang berkembang, yaitu menggunakan teknologi non-invasive glucose monitoring (NGM), mengecek kadar gula dalam darah tanpa perlu mengambil sampel darah pasien.

Meski saat ini metode NGM masih perlu divalidasi, metode ini dapat menjadi opsi yang memungkinkan untuk diaplikasikan secara masif ke depan.

Supaya lebih terjangkau, Kementerian Kesehatan dapat mendorong penciptaan alat sensor tersebut dari produsen dalam negeri secara serius, seperti terlihat dari kegiatan Health Innovation Sprint Accelerator 2022. Di ajang tersebut, salah satu produk inovasi bernama NIRGOMO yang berfokus pada pengukuran kadar gula darah tanpa membutuhkan sampel darah turut mendapatkan penghargaan tiga besar best innovators.

Alat monitor kadar gula dalam darah bagi pasien diabetes tipe 1 sangatlah penting untuk menghindari hipoglikemia (kadar gula darah di bawah normal) yang pada tingkatan tertentu dapat membahayakan nyawa. Karena itu, semestinya BPJS menanggung pembiayaan alat pemantauan kadar gula dalam darah rutin bagi pasien T1DM.

Kementerian Kesehatan perlu memperkuat skrining dan terapi serta memfasilitasi alat pemantauan gula darah rutin untuk pasien diabetes tipe 1 yang biayanya ditanggung oleh sistem kesehatan lewat BPJS Kesehatan. Dengan cara itu, pasien T1DM di Indonesia tetap bisa produktif dan memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi.


Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Laksamana Olan Es Orlando (dokter Puskesmas Godean 2 Kabupaten Sleman), dr. Riadiani Nindya Drupadi (dokter RS Mata Dr. YAP), dr. Emir Cahyo Gumilang dan Anita Sabidi atas kontribusi mereka dalam pengembangan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now