Menu Close
Karena keterbatasan alat berat dan logistik untuk pengungsi bertahan hidup kondisi pascabencana gempa dan tsunami di Palu, Donggala, Sigi serta Parigi-Moutong sangat memprihatinkan. EPA/Hotli Simanjuntak

Belajar dari gempa Palu: Indonesia betul-betul butuh sistem logistik kedaruratan bencana

Dengan posisi di atas Cincin Api Pasifik yang membuatnya sangat rentan terhadap bencana alam, Indonesia sangat membutuhkan sistem logistik kedaruratan bencana. Sebagai contohnya, terbatasnya ketersediaan alat berat menjadi hambatan utama dalam proses evakuasi dan penyelamatan korban gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah beberapa hari terakhir.

Hingga tulisan ini diturunkan setidaknya 1.300 orang tewas dan diperkirakan jumlah korban akan bertambah karena kesulitan menyelamatkan korban yang tertimpa reruntuhan bangunan yang hancur. Selain itu, puluhan ribu pengungsi membutuhkan berbagai macam logistik untuk bertahan hidup, mulai dari listrik, air bersih, makanan, obat-obatan, tenda, selimut, hingga popok bayi dan pembalut wanita.

Keterbatasan alat berat dan logistik untuk pengungsi bertahan hidup, mengakibatkan kondisi kehidupan korban bencana gempa dan tsunami di Palu, Donggala, Sigi serta Parigi-Moutong sangat memprihatinkan. Selain juga terdapat arus eksodus warga untuk keluar dan bermigrasi sementara dari Palu dan wilayah terdampak lainnya ke lokasi yang lebih aman.

Warga Palu mengantri untuk meninggalkan Palu dari Bandara Mutiara Sis Al Jufri, Palu Sulawesi Tengah, 01 Oktober 2018. EPA/Hotli Simandjuntak

Situasi logistik kedaruratan pascabencana

Pemerintah Indonesia memiliki Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang telah ditetapkan roadmap-nya melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2012. Namun sistem ini belum memperhatikan logistik penanganan kedaruratan bencana. Maka, ketika terjadi bencana yang cukup besar seperti di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Juli dan Agustus dan Sulawesi Tengah akhir pekan lalu, Indonesia belum siap untuk mengirimkan logistik yang diperlukan untuk penanganan bencana ke daerah-daerah terdampak.

Sebetulnya, belajar dari pengalaman penanganan pasca bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias pada 2004 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi dengan dukungan lembaga multilateral seperti World Food Programme (WFP) telah mengembangkan sistem logistik kebencanaan. Sistem logistik ini diterapkan dalam penanganan tahap tanggap darurat dan proses pemulihan di Aceh dan Nias selama periode 2005-2009.

World Food Programme sejak 2010 telah menginisasi pembuatan rencana induk logistik kedaruratan bencana (Humanitarian Logistics Master Plan, HLMP), dengan dukungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan badan yang ditugaskan mengawal dan mengkoordinasikan master plan logistik kebencanaan ini, termasuk untuk dapat diintegrasikan ke dalam sistem logistik nasional.

Namun dalam perjalanannya, rancangan rencana induk logistik kedaruratan bencana ini belum ditindaklanjuti untuk masuk ke dalam cetak biru sistem logistik nasional yang belakangan ditetapkan melalui PP 26 tahun 2012, yang lebih diarahkan untuk mendukung percepatan dan perluasan pembangunan perekonomian nasional melalui Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Tantangan membangun logistik kedaruratan bencana

Membangun sistem logistik bukan hal yang sederhana. Banyak komponen dan sub-sistem di dalamnya. Sistem logistik kebencanaan lebih kompleks dari sistem logistik secara umum karena adanya faktor ketidakpastian dari ancaman dan kerentanan bencana yang dihadapi.

Setidaknya terdapat delapan tantangan yang perlu diperhatikan dalam mengintegrasikan sistem logistik kedaruratan bencana ke dalam sistem logistik nasional:

  1. Rantai pasokan logistik yang panjang.
  2. Prosedur birokratis yang rumit, terutama terkait dengan bea cukai.
  3. Konektivitas pelayaran yang masih lemah.
  4. Pelayanan dan operasional pelabuhan yang belum efisien.
  5. Parahnya konektivitas di sekitar wilayah terdampak.
  6. Masih besarnya beban sektor penerbangan.
  7. Masih terbatasnya konektivitas jalur internasional.
  8. Serta lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan logistik kebencanaan.

Selain itu, dalam pembangunan infrastruktur untuk mendukung logistik kebencanaan, perlu dibangun jalan yang menghubungkan kota-kota dan kabupaten-kabupaten di Indonesia, termasuk di daerah-daerah terpencil. Di tingkat kota dan kabupaten juga perlu ada jalan yang menghubungkan titik-titik lokal dalam kota dan kabupaten.

Dalam kaitan pasokan logistik, Indonesia juga menghadapi tantangan. Harga komoditas yang diperlukan untuk pasokan logistik kebencanaan masih relatif tinggi. Kapasitas dan kemampuan penyedia layanan dan komoditas logistik masih terbatas. Kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan logistik masih rendah, serta masih ada keterbatasan pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan logistik kebencanaan.

Akhirnya, terkait aspek kedaruratan penanganan pasca bencana secara spesifik, koordinasi pengelolaan logistik kedaruratan bencana di Indonesia masih relatif lemah. Begitu juga dengan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia dalam pengelolaan logistik kedaruratan bencana. Pemanfaatan informasi pengelolaan logistik kedaruratan bencana yang masih terbatas, dan belum memadainya depot-depot logistik yang secara khusus diperuntukkan untuk menampung logistik kedaruratan bencana.

Membangun logistik kebencanaan untuk Sulawesi Tengah

Saat ini, untuk penanganan kedaruratan di Sulawesi Tengah, perlu segera dibangun sistem logistik kedaruratan bencana yang dapat segera dioperasikan. Untuk tahap awal langkah-langkah strategis berikut ini patut dipertimbangkan:

  1. Inventarisasi kebutuhan logistik kedaruratan yang sifatnya mendesak. Ini perlu dibedakan dengan kebutuhan yang sifatnya tidak mendesak dan dapat disediakan pada tahap selanjutnya.

  2. Identifikasi ketersediaan logistik yang dapat diadakan secara lokal dan yang perlu didatangkan dari luar wilayah terdampak, tidak hanya secara nasional namun juga pasokan logistik yang perlu didatangkan dengan dukungan internasional.

  3. Pemetaan sebaran kebutuhan logistik kedaruratan bencana secara geografis, mengingat relatif luas dan tersebarnya wilayah terdampak, baik yang terlokalisasi pada kantong-kantong pengungsian maupun kebutuhan korban yang masih berada pada permukiman di wilayah terdampak.

  4. Memilah dan mengklasifikasi jenis logistik kedaruratan bencana menurut sifat dan menurut kelompok sasaran. Contohnya bantuan bahan pangan (sandang, obat-obatan dan emergency kits), material hunian sementara, dan peralatan evakuasi dan penyelamatan korban bencana serta pembersihan wilayah terdampak dari puing runtuhan bangunan.

  5. Menyusun rencana kedaruratan dalam mengupayakan penyaluran bantuan logistik dan peralatan yang dapat lebih cepat dan tepat sasaran untuk proses evakuasi dan penyelamatan, serta dukungan kelanjutan hidup dari para pengungsi dan korban bencana, sehingga tidak terjadi kesenjangan penyaluran bantuan kemanusiaan yang saat ini masih terjadi di wilayah terdampak di Sulawesi Tengah.

  6. Membangun beberapa pusat atau depot logistik pada tingkat kabupaten dan kecamatan yang bisa menampung bantuan logistik yang akan disalurkan secara bertahap.

  7. Penetapan lembaga yang secara khusus dibentuk untuk mengelola sistem logistik kedaruratan bencana di tingkat provinsi dan di wilayah kabupaten dan kota terdampak di Sulawesi Tengah, di bawah koordinasi Tim Satuan Tugas Nasional Penanganan Bencana Sulawesi Tengah.

Implementasi ketujuh langkah di atas tergantung dari komitmen pemerintah nasional dan pemerintah daerah, serta seluruh pemangku kepentingan terkait dalam memahami pentingnya pengelolaan logistik kebencanaan, khususnya untuk penanganan kedaruratan bencana.

Penanganan pasca bencana gempa dan tsunami Sulawesi Tengah ini selanjutnya diharapkan dapat dijadikan landasan untuk semakin mempersiapkan sistem logistik kebencanaan di tingkat nasional sebagai bagian dari sistem logistik nasional. Ini akan memperkuat sistem penanggulangan bencana secara nasional dan terutama di tingkat daerah pada masa depan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now