Menu Close
shutterstock.

Benarkah Presiden boleh berkampanye dalam pemilu?

CC BY63.7 MB (download)

Presiden Joko “Jokowi” Widodo membuat pernyataan yang memicu perdebatan di masyarakat, yakni bahwa seorang presiden diperbolehkan untuk berpihak dan berkampanye, dengan syarat tidak menggunakan fasilitas negara.

Jokowi mengutarakan pandangannya tersebut setelah mengikuti acara penyerahan Pesawat A-1344, Helikopter Fennec, dan Helikopter Panther untuk tahun 2024 yang berlangsung di Lanud Halim Perdana Kusuma, pada Rabu, 24 Januari 2024.

Ia berpendapat bahwa kampanye adalah bagian dari hak demokrasi dan hak politik setiap individu, yang berarti semua pejabat publik, baik yang berasal dari partai politik maupun yang tidak terkait dengan partai politik, memiliki hak yang sama dalam hal ini.

Merespons pernyataan tersebut, pihak Istana Kepresidenan mengungkapkan banyak pihak yang salah mengartikan pernyataan Jokowi itu. Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan aturan tentang presiden, menteri, dan pejabat publik diperbolehkan dalam berkampanye telah diatur dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Apakah benar masyarakat hanya salah mengartikan pernyataan Jokowi tersebut? Atau justru pernyataan tersebut yang menunjukkan penafsiran yang salah terhadap pasal yang ada dalam UU?

Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Jamaludin Ghafur, Dosen hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII).

Jamal mengatakan pernyataan Jokowi tersebut merupakan bentuk salah penafsiran mengenai pasal yang tercantum dalam UU Pemilu. Menurutnya, presiden dan pejabat publik memang diperbolehkan dalam berkampanye selama pemilu apabila pejabat tersebut menjadi peserta pemilu lagi atau berada dalam posisi sebagai incumbent.

Pentingnya memahami etika sebagai pejabat publik juga menjadi satu hal yang disoroti oleh Jamal. Ia berpendapat sangat sulit bagi pejabat negara untuk memisahkan diri dari fasilitas negara yang secara inheren melekat pada mereka.

Simak obrolan lengkapnya hanya di SuarAkademia–ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now