Menu Close
Kompleksitas hubungan kerja guru dan dosen berawal dari kompleksitas hukum yang melandasinya. Luthfi Syahwal/shutterstock.

Berniat jadi guru atau dosen? Ini 2 masalah hubungan kerja guru dan dosen yang perlu diketahui

Hubungan kerja guru dan dosen dibangun oleh dua pihak, yaitu guru dan dosen sebagai pendidik dengan pihak manajemen sekolah atau universitas sebagai satuan pendidikan yang mempekerjakan mereka. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan seperti misalnya sekolah, madrasah, sekolah tinggi, atau universitas.

Hubungan ini berdasar pada tiga unsur: (1) Pekerjaan sebagai pendidik yang dapat dilaksanakan guru dan dosen di satuan pendidikan; (2) Imbalan atas pelaksanaan tugas sebagai pendidik; dan (3) Perintah serta syarat-syarat pelaksanaan tugas sebagai pendidik.

Ketiga unsur tersebut dikenal juga sebagai pekerjaan, upah, dan perintah sebagaimana tertuang dalam ketentuan umum Undang-undang Ketenagakerjaan tahun 2003.

Layaknya relasi buruh-majikan, hubungan antara guru dan dosen sebagai pekerja dengan satuan pendidikan sebagai pemberi kerja juga menuai berbagai persoalan yang kompleks. Kompleksitas persoalan dalam hubungan antara pendidik dengan satuan pendidikan berakar dari status hubungan kerja dan kelayakan upah, seperti yang terjadi pada kasus Hervina, guru honorer di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yang dipecat setelah mengunggah rincian gajinya ke sosial media awal Februari lalu

Apa saja yang menyebabkan kompleksitas hubungan kerja guru dan dosen tersebut?

1. Perbedaan landasan hukum

Kompleksitas hubungan kerja guru dan dosen dimulai dari perbedaan status pemberi kerja, yaitu pemerintah dan swasta serta landasan hukum yang menaunginya.

Satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah, seperti sekolah negeri dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), mendasarkan hubungan kerja pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kepegawaian aparatur sipil negara (ASN).

Sementara hubungan kerja di sekolah swasta dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) mengacu pada peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Dalam berbagai kasus, persoalan hubungan kerja di sekolah swasta dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) tidak dapat dinilai secara serta merta dengan norma ketenagakerjaan.

Sebagai contoh, jika mengacu pada Pasal 57 Undang-undang Ketenagakerjaan (lihat halaman 543 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja), hubungan kerja bagi pendidik kontrak atau honorer yang bersifat temporer harus dapat dibuktikan dengan adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) secara tertulis.

Padahal, Pasal 59 Undang-undang Ketenagakerjaan (lihat halaman 544 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja) mengatur secara tegas bahwa PKWT hanya dapat diadakan untuk pekerjaan yang sifatnya sementara atau tidak tetap, pekerjaan musiman, dan pekerjaan yang terkait produk baru. Artinya, tidak dimungkinkan adanya status hubungan kerja guru dan dosen yang bersifat “tidak tetap” karena selama sekolah swasta atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS) beroperasi, pekerjaan guru dan dosen akan terus ada.

Hadirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2015 tentang guru dan dosen semakin memperparah kompleksitas hubungan kerja ini. Undang-undang Guru dan Dosen masih memungkinkan adanya status hubungan kerja yang bersifat tidak tetap, seperti guru kontrak, guru honorer, dan dosen tidak tetap. Kondisi tersebut justru memunculkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan jaminan keberlangsungan pekerjaan (job security) dan ketimpangan hak antar pendidik karena perbedaan status hubungan kerja.

Akibatnya, berbagai upaya para pendidik untuk mendapatkan status guru dan dosen tetap berdasarkan norma ketenagakerjaan sering kali gagal karena ketentuan administratif yang dipersyaratkan oleh aturan pelaksana Undang-undang Guru dan Dosen.

Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 945 K/Pdt.Sus-PHI/2019, contohnya, seorang guru telah mengajukan permohonan kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Medan agar menyatakan hubungan kerja antara dirinya sebagai guru dengan sekolah swasta tempatnya bekerja sebagai “hubungan kerja dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu” atau hubungan kerja yang bersifat tetap.

Namun, baik Pengadilan Hubungan Industrial Medan maupun Mahkamah Agung cenderung menguatkan status hubungan kerja ‘guru kontrak’ atau berdasarkan PKWT dan menyatakan putus hubungan kerja karena habisnya jangka waktu kontrak. Padahal, jika merujuk pada [Pasal 59 Undang-undang Ketenagakerjaan] hubungan kerja guru tidak dapat diadakan dengan PKWT karena bukan pekerjaan yang sifatnya sementara.

Kasus serupa terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 358 K/Pdt.Sus-PHI/2016 yang mendokumentasikan upaya seorang dosen untuk mendapatkan status dosen tetap di PTS tempatnya bekerja dan membatalkan pemutusan hubungan kerja yang dialaminya. Namun, baik Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat maupun Mahkamah Agung tidak membenarkan status sebagai “dosen tetap” karena dosen tersebut tidak memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN).

2. Persoalan kelayakan upah

Kelayakan upah masih menjadi masalah bagi banyak guru dan dosen di Indonesia. Ahmad Saifulloh/shutterstock.

Guru dan dosen yang tidak memiliki status hubungan kerja ‘tetap’ cenderung menerima penghasilan yang lebih rendah, bahkan tidak jarang di bawah ketentuan upah minimum.

Sebenarnya, Pasal 14 dan Pasal 51 Undang-undang Guru dan Dosen telah mengatur hak agar guru dan dosen “memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial”.

Namun, pemaknaan terkait dengan “penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum” cenderung bersifat subjektif, yaitu “pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup guru atau dosen dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, maupun jaminan hari tua”.

Alih-alih mengatur batas tegas kelayakan upah, Pasal 15 dan Pasal 52 Undang-undang Guru dan Dosen justru menyerahkan sepenuhnya ketentuan pemberian gaji berdasarkan ketentuan aturan kepegawaian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan perjanjian kerja antara satuan pendidikan dengan pendidik. Padahal, sejak era orde baru, Indonesia telah mengadopsi kebijakan Upah Minimum Regional (UMR) yang didasarkan pada survei dan pertumbuhan nilai komponen kebutuhan hidup layak (KHL), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Ketentuan Undang-undang Guru dan Dosen tersebut berdampak pada praktik pembayaran gaji di bawah upah minimum yang dilakukan oleh satuan pendidikan. Sebagai contoh, Putusan Mahkamah Agung nomor 146 PK/PDT.SUS-PHI/2013 mendokumentasikan persoalan PHK sepihak tiga orang guru sekolah swasta yang digaji di bawah upah minimum. Dalam putusan lainnya, yaitu putusan nomor 172 PK/PDT.SUS/2010, seorang guru yang mengalami PHK mengungkapkan upah selama bekerja tidak pernah sesuai dengan ketentuan upah minimum.

Menariknya, untuk menyanggah kewajiban membayar upah minimum dan memenuhi hak lainnya, pihak penyelenggara satuan pendidikan sebagai pemohon peninjauan kembali berargumen “guru tidak sama dengan buruh, sehingga dengan demikian guru tidak tunduk kepada Undang-undang Tenaga Kerja.”

Hal ini menegaskan bahwa masalah landasan hukum yang berbeda-beda digunakan juga sebagai pembenaran atas pemberian upah yang tidak layak.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now