Menu Close
Utang pendidikan.

Berutang agar bisa kuliah: benarkah pinjol solusinya?

Inklusivitas pendidikan tinggi masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Dari total 273 juta penduduk, hanya 10% yang berhasil mengecap bangku perkuliahan. Pada 2021, lebih dari separuh pelajar SMA memilih untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Bahkan 7 dari 100 pelajar yang melanjutkan kuliah pada akhirnya harus berhenti, terutama karena alasan biaya.

Dari sisi penyedia jasa, Indonesia hanya memiliki 3.107 perguruan tinggi, dengan 50% di antaranya terpusat di Pulau Jawa. Perguruan tinggi ini hanya mampu menampung 9.3 juta mahasiswa, angka yang rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk berusia 15-19 tahun yang mencapai 22 juta orang.

Terbatasnya jumlah perguruan tinggi dan besarnya jumlah mahasiswa potensial membuat lonjakan biaya kuliah di Indonesia sulit dihindari. Harian Kompas, misalnya, memproyeksi bahwa biaya kuliah untuk delapan semester di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pada 2040 akan mencapai Rp430 juta. Berdasarkan perhitungan Kompas, orang tua lulusan SMA/SMK hanya akan mampu membiayai tiga semester kuliah anaknya meski sudah menabung selama 18 tahun.

Permasalahan inklusivitas pendidikan tinggi ini memunculkan peluang untuk menyalurkan pinjaman pendidikan. Logikanya, jika calon mahasiswa memiliki kesulitan keuangan, mereka bisa berutang untuk membayar kuliah.

Sebagai seorang pengajar keuangan, saya ingin menjelaskan apa itu pinjaman pendidikan dengan segala problematikanya, dan kaitannya dengan komodifikasi pendidikan.

Munculnya pinjaman pendidikan

Pinjaman pendidikan dapat dibagi menjadi dua skema: pinjaman pemerintah dan pinjaman swasta. Pinjaman pemerintah disalurkan oleh agensi pemerintah. Misalnya saja Perbadanan Tabung Pendidikan Tinggi Nasional (PTPTN) di Malaysia atau Student Loans Company (SLC) di Inggris. Skema ini tidak ada di Indonesia.

Sementara itu, pinjaman swasta disalurkan oleh institusi perbankan. Beberapa bank di Indonesia menyediakan pinjaman pendidikan melalui skema kredit serbaguna atau kredit pendidikan.

Namun, perlu diingat bahwa skema pinjaman muncul karena tren kebijakan neoliberal. Kebijakan berorientasi pasar ini mengecilkan peran pemerintah karena memperlakukan pendidikan sebagai barang dagangan yang tunduk pada hubungan pembeli dan penjual. Akibatnya, pendidikan tinggi dianggap sebagai komoditas dan masyarakat harus mengikuti skema pasar.

Tentunya, ini mempersulit mahasiswa tidak mampu dalam mengakses pendidikan tinggi. Meski demikian, sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bagaimana para mahasiswa ini terpaksa melanjutkan pendidikan mereka dengan cara berhutang karena tekanan persaingan di pasar kerja.

Lingkaran setan pinjaman pendidikan

Pinjaman pendidikan, yang seharusnya menjadi solusi bagi inklusivitas pendidikan tinggi, nyatanya justru menjadi masalah baru. Riset yang dilakukan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2008 menunjukan adanya korelasi positif antara pinjaman pendidikan dengan iuran kuliah. Temuan ini mendukung gagasan bahwa pinjaman pendidikan sebenarnya turut mengkomodifikasi pendidikan tinggi. Naiknya iuran kuliah juga memicu penurunan minat siswa untuk mendaftar ke perguruan tinggi.

Sementara itu, mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah terpaksa memilih jurusan kuliah yang lebih terjangkau, kurang berisiko, dan memastikan lulus tepat waktu karena keterbatasan finansial. Imbasnya, mereka sulit menemukan pekerjaan yang sesuai sehingga kesulitan dalam membayar pinjaman pendidikan. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2019 juga menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa yang mengalami kesulitan membayar pinjaman pendidikan berasal dari keluarga berpendapatan rendah.

Pinjol: alternatif atau masalah baru?

Pinjaman pendidikan swasta memiliki proses kredit yang kompleks, tidak jauh beda dari proses permintaan kredit bank lainnya. Apalagi, sektor keuangan di Indonesia belum cukup merangkul masyarakat dengan hanya 40,3% penduduk Indonesia yang memiliki rekening di bank pada 2021. Akibatnya, pinjaman pendidikan swasta tidak begitu populer di Indonesia.

Penyedia jasa pinjaman online (pinjol) dengan konsep paylater menangkap peluang ini dan menyederhanakan proses kredit yang kompleks tersebut. Mereka menawarkan akses tanpa jaminan aset.

Salah satu pinjol pinjaman pendidikan di Indonesia, misalnya, mengklaim telah memberikan total pinjaman sebesar Rp365 miliar kepada hampir 27 ribu pengguna sejak 2021. Hal ini mencerminkan adopsi yang signifikan oleh masyarakat.

Namun, pinjol turut menambah keruwetan isu inklusivitas pendidikan tinggi. Selain isu aksesibilitas pinjaman pendidikan meningkatkan iuran kuliah, penelitian di AS juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang mengandalkan pinjol cenderung terjebak dalam lingkaran utang yang sulit diatasi. Biaya dan suku bunga yang relatif tinggi membuat mereka susah melunasinya.

Ini akan berpengaruh ke masa depan para pelajar ini. Keterlambatan atau gagal bayar menorehkan catatan negatif dalam riwayat skor kredit mereka. Catatan negatif ini dapat menjadi hambatan besar dalam mendapatkan kredit atau pembiayaan di masa depan, seperti kesempatan untuk membeli rumah atau kendaraan, atau bahkan mendapatkan pekerjaan karena beberapa perusahaan mungkin saja memeriksa skor kredit pelamar.


Read more: 3 alasan perusahaan tolak pelamar yang punya tunggakan utang dan skor kreditnya buruk


Keinginan besar untuk kuliah bisa saja membuat mereka enggan membedakan antara pinjol legal dan ilegal. Hal ini bisa membuat mahasiswa terpapar pinjol ilegal dan ikut andil dalam meningkatkan peredaran pinjol tersebut.

Selain itu, moral hazard–yakni seseorang melakukan tindakan merugikan karena tidak menanggung sendiri konsekuensi langsungnya–setelah mendapatkan pinjaman, juga menjadi permasalahan. Studi yang dilakukan di AS tahun 2020 menunjukan kecenderungan mahasiswa yang menerima pinjaman pendidikan justru menggunakannya untuk hal konsumtif lainnya.

Jika bukan pinjaman pendidikan, lalu apa?

Inovasi dalam mencari sumber keuangan selalu diserukan agar menjadi alternatif. Padahal, hal ini tidak tepat. Sebagai contoh, Harvard University di AS memperoleh 22% pendapatannya dari iuran kuliah, 45% dari dana abadi, dan 11% dari investasi. Meski memiliki beragam sumber pendapatan, iuran kuliah di Harvard tetap menjadi yang paling mahal di dunia.

Sebaliknya, di Inggris, iuran kuliah diatur oleh pemerintah dengan kebijakan ambang batas (£9.250 atau Rp184,58 juta per tahun), yang lebih terjangkau untuk warga Inggris.

Akan tetapi, ini membuat universitas di Inggris bergantung pada mahasiswa internasional, yang umumnya membayar iuran kuliah berlipat ganda dibanding warga Inggris. University of Manchester, misalnya, telah berhasil mendiversifikasi sumber pendapatannya melalui riset, dana abadi, dan investasi, namun masih menghadapi kesulitan keuangan.

Di Indonesia, beberapa universitas telah melakukan skema urun dana (crowdfunding) dengan model sumbangan mahasiswa. Pendekatan ini juga tidak berhasil menahan laju peningkatan biaya kuliah. Teori elastisitas permintaan dalam ilmu ekonomi menjelaskan bahwa ketika perubahan harga memiliki dampak yang relatif kecil pada jumlah orang yang bersedia membayar, donatur atau sumbangan mahasiswa tetap ada meskipun biaya kuliah meningkat.

Seharusnya, pemerintah proaktif mengimplementasikan kebijakan agar pendidikan tinggi menjadi barang publik. Misalnya, pemerintah dapat memberikan subsidi atau menggratiskan kuliah seperti yang kita lihat di Swedia dan Norwegia. Bisa juga memberlakukan insentif potongan pajak seperti Malaysia dan Singapura. Dengan berbagai kebijakan seperti ini, harapannya mahasiswa dapat mengakses pendidikan tinggi tanpa harus terlilit utang.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now