“Akar masalah (pernikahan anak) adalah poverty, salah satu sebabnya, ini harus dibereskan. Ketika kita menemukan kasus seperti ini hampir semua berasal dari keluarga prasejahtera. Tidak semua, tapi large portion. Untuk itu peningkatan kesejahteraan penting sekali, sehingga anak nggak dipandang sebagai komoditas ekonomi.”
— Anies Baswedan, calon presiden nomor urut 1, dalam acara Golput Desak Anies yang ditayangkan di kanal YouTube resminya pada 22 Desember 2023.
Ketika ditanya sikapnya tentang masalah pernikahan anak, Anies menjawab bahwa salah satu akar masalahnya adalah poverty atau kemiskinan, dan oleh karenanya mayoritas pernikahan anak terjadi di keluarga prasejahtera. The Conversation Indonesia menghubungi Andi Misbahul Pratiwi, peneliti Pusat Riset Gender Universitas Indonesia, untuk menganalisis klaim Anies tersebut.
Hasil analisis: kemiskinan bukan satu-satunya penyebab
Benar bahwa kemiskinan jadi faktor pendorong terjadinya perkawinan anak, tetapi bukan satu-satunya penyebab. Ini patut digarisbawahi.
Perkawinan anak juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor lainnya, seperti kehamilan tidak diinginkan (KTD), praktik budaya, pemahaman keagamaan yang keliru, bencana, konflik, perampasan sumber daya alam, dan krisis iklim. Ditambah lagi, pendidikan seksual komprehensif hingga saat masih belum tersedia secara memadai di Indonesia.
Riset Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) UI tahun 2023 mencatat 36,36% dari total perkawinan anak yang diputus (disetujui) Pengadilan Agama pada 2022 adalah karena alasan anak telah hamil.
Di Sukabumi, Jawa Barat, perkawinan anak didorong karena pemahaman keagamaan yang keliru tentang “ketakutan akan zina”. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), terdapat praktik budaya yang menjadi celah perkawinan anak.
Selama Pandemi COVID-19 tahun 2020, data Komnas Perempuan menunjukkan adanya tren peningkatan angka perkawinan anak. Bencana alam, konflik sosial, krisis iklim, juga terbukti meningkatkan kerentanan perempuan untuk menikah di usia anak.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).