Menu Close
Ilustrasi inflasi. Sorapop Udomsri/Shutterstock

Cek Fakta: apa benar inflasi Indonesia masih lebih baik dari negara G20?

“Inflasi (Indonesia) di bulan Mei ini 2,84% year-on-year (yoy). Dan dibandingkan dengan negara G20 lain, Rusia misalnya 7,84% yoy, India 4,75 persen, Australia 3,6%, dan Amerika Serikat 3,3%. Jadi Indonesia relatif lebih baik dari negara-negara tersebut.”

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakannya usai Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2024 di Istana Negara, Jakarta, pada 14 Juni 2024.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Erlangga Bregas Prakoso/Antara Foto

Airlangga meyakini bahwa tingkat inflasi di Indonesia masih relatif lebih baik dibandingkan inflasi yang terjadi di sejumlah anggota G20 atau negara-negara ekonomi maju, termasuk Amerika Serikat (AS), Australia, India, dan Rusia. Menurutnya, Indonesia masih bisa mengendalikan inflasinya melalui kebijakan pemerintah seperti menjamin keterjangkauan harga, menjaga pasokan dan kelancaran distribusi, dan komunikasi yang efektif antarpemangku kepentingan.

The Conversation Indonesia bekerja sama dengan Alexander Michael Tjahjadi, ekonom dari Think Policy Indonesia, untuk memverifikasi klaim Airlangga tersebut.

Lebih rendah, bukan berarti lebih baik

Pernyataan Airlangga benar bahwa secara rasio inflasi Indonesia memang lebih rendah dibandingkan negara lain. Namun kata “lebih baik” patut untuk digali lebih lanjut. Pasalnya, inflasi yang rendah bisa terjadi karena intervensi harga dari pemerintah.

Sebuah studi dari Bank Dunia khusus meneliti tentang datarnya inflasi di Indonesia menemukan, banyaknya supply side shock (kejadian tak terduga yang mengganggu pasokan barang dan jasa), seperti Perang Rusia dan Ukraina dan ditutupnya Shanghai sebagai pelabuhan penting akibat kebijakan Cina dalam mengatasi pandemi COVID-19. Studi ini mengamati bagaimana kenaikan harga di tingkat produsen tak memengaruhi harga konsumen.

Meskipun produsen harus membayar lebih untuk bahan baku, mereka tidak sepenuhnya membebankan biaya tersebut kepada pelanggan. Hal ini mungkin terjadi karena produsen takut pelanggan akan berhenti membeli ketika harga naik. Studi tersebut menemukan bahwa penyesuaian harga baru terjadi lima kuartal setelah guncangan.

Tak hanya itu, penelitian itu menunjukkan “transfer harga” dari produsen ke konsumen terlihat lebih renda di sektor-sektor yang diintervensi pemerintah, seperti transportasi, pertanian, dan ketenagalistrikan-yang harga untuk konsumen kerap dibatasi pada rentang tertentu dengan subisidi-dibandingkan dengan sektor perhotelan.

Kehadiran subsidi, pengendalian harga, dan badan usaha milik negara (BUMN) di sektor-sektor yang memiliki peraturan ketat membantu mengurangi dampak guncangan dari luar negeri.

Pernyataan Airlangga perlu dilihat dalam konteks lebih luas. Dalam hal ini, pemerintah memang bisa menahan laju inflasi yang tinggi, tetapi tidak bisa mengatakan bahwa ekonomi lebih baik karena inflasi yang rendah karena ada campur tangan pemerintah yang ketat di dalamnya dibandingkan dengan negara lainnya.

Intervensi pemerintah untuk menjaga inflasi tetap rendah memang baik dalam jangka pendek. Namun, hal ini bisa berdampak buruk dalam jangka panjang. Sebab, intervensi dapat mendistorsi pasar dan mengurangi kompetisi, menggerus keuangan (fiskal) negara, hingga menghambat investasi dan pertumbuhan.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,100 academics and researchers from 4,986 institutions.

Register now