Menu Close
Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka (kanan), sebelum debat perdana di Gedung KPU, Jakarta, 12 Desember 2023. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/app/YU

Cek Fakta: benarkah 76 negara punya program makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah?

“Program makan siang dan susu gratis untuk anak-anak sudah dijalankan oleh 76 negara dan dirasakan manfaatnya oleh 400 juta anak. Jadi bukan program yang mengada-ada.” Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di depan relawan di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, 10 Desember 2023. Pasangan Gibran, calon Presiden Prabowo Subianto, juga menyatakan angka negara yang sama walau tidak menyebut jumlah penerima manfaat.

The Conversation Indonesia bersama peneliti kesehatan publik Universitas Airlangga Ilham Akhsanu Ridlo memeriksa kebenaran klaim Gibran dan Prabowo tentang program makan siang dan susu gratis untuk anak-anak sekolah dasar telah dijalankan oleh 76 negara dan dirasakan manfaatnya oleh 400 juta siswa.

Analisis: makan gratis bukan cuma di 76 negara

Ilham mengutip sebuah laporan terbitan tahun lalu dari Global Child Nutrition Foundation (GCNF) berjudul School Meal Programs Around the World: Results from the 2021 Global Survey of School Meal Programs. Laporan ini menunjukkan bahwa, dari 139 negara yang disurvei, 125 di antaranya memiliki setidaknya satu program pemberian makanan berskala besar di sekolah dasar dan sekolah menengah. Jumlah ini lebih banyak dari angka 76 negara yang disebutkan oleh Gibran dan Prabowo.

Laporan itu menyatakan bahwa setidaknya 330,3 juta anak menerima makanan sekolah mulai 2020. Persentase dari seluruh usia anak sekolah dasar dan menengah yang menerima program ini adalah 27%.

Dari sisi geografis, proporsi penerima program makan di sekolah di Amerika Latin/Karibia mencapai 55%, lalu Eropa, Asia Tengah, Amerika Utara (44%); Asia Selatan, Asia Timur, dan Pasifik (26%); dan Afrika Sub-Sahara (26%). Angka ini menunjukkan proporsi siswa di negara berpendapatan tinggi lebih tinggi dibanding siswa di negara berpendapatan rendah dan menengah.

Sementara itu, laporan pada 2022 dari World Food Program, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pangan, menyatakan bahwa dari sampel data 176 negara diperoleh angka 418 juta anak menerima manfaat dari program makanan di sekolah. Jumlah ini 30 juta lebih banyak dibanding 388 juta anak yang mendapatkan manfaat serupa sebelum pandemik pada awal 2020.

Dalam aspek usia, dari jumlah tersebut sekitar 41% merupakan anak sekolah dasar yang mendapatkan makanan gratis atau bersubsidi. Dalam aspek pendapatan, program ini menjangkau 61% anak usia sekolah di negara berpendapatan tinggi, 48% di negara berpendapatan menengah atas. Sementara, di negara berpendapatan rendah, hanya 18% siswa yang menerima makanan di sekolah setiap hari.

Secara global, investasi untuk pemberian makan di sekolah pada 2022 diperkirakan antara US$47-48 miliar (hampir Rp729-745 triliun), dengan biaya rata-rata US$64 (sekitar Rp993 ribu) per anak per tahun. Sumber pendanaannya lebih dari 98% dari dalam negeri, atau anggaran masing-masing negara.

Potensi risiko kesehatan pada anak yang perlu diperhatikan

Walau program ini bertujuan untuk meningkat gizi anak, sejumlah riset menunjukkan ada kekhawatiran mengenai potensi risiko kesehatan yang terkait dengan program makanan sekolah.

Sebuah penelitian di Stanford menyoroti keberadaan bisphenol A (BPA), bahan kimia beracun, dalam makanan sekolah. Bahan ini menimbulkan risiko terutama bagi anak-anak berpenghasilan rendah yang bergantung pada makanan yang didanai pemerintah.

Selain itu, penyertaan makanan ultra-proses (makanan dari pabrik yang melalui banyak tahap pengolahan) dalam makanan sekolah telah dikaitkan dengan penyakit kronis seperti obesitas dan penyakit kardiovaskular.

Ada juga kekhawatiran tentang dampak potensial dari makanan sekolah terhadap indeks massa tubuh (BMI) siswa dan kualitas makanan secara keseluruhan, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk memahami dampak tersebut secara menyeluruh.

Kesimpulan: programnya benar ada tapi angkanya berbeda-beda

Meskipun esensi klaim Gibran dan Prabowo mengenai adopsi program makanan sekolah secara luas adalah akurat, angka-angka spesifik mengenai jumlah negara dan penerima manfaat tidak sepenuhnya selaras dengan data dari sumber-sumber yang otoritatif.

Selain itu, potensi risiko kesehatan yang terkait dengan program-program ini, seperti paparan BPA dan konsumsi makanan ultra-proses, menambah kerumitan dalam evaluasi program-program ini.

Hal ini menggarisbawahi perlunya perencanaan dan pemantauan yang cermat untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak penerima manfaat program makan siang gratis.

Selain itu, pertimbangan potensi risiko kesehatan terkait dengan program-program ini sangat penting untuk pemahaman yang komprehensif tentang dampaknya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now