Menu Close
(Wulandari/Shutterstock)

Cek Fakta: Benarkah biaya hidup ideal di Jakarta Rp5 juta per bulan?

“Ideal tinggal di Jakarta itu seharusnya Rp5 juta sampai Rp10 juta, Rp15 juta lebih bagus.”

Eks Gubernur Jakarta dan politikus Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Basuki Tjahaja Purnama, mengatakan hal tersebut dalam tayangan Youtube Pribadinya, Senin 13 Mei 2024.

Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok mengungkapkan penghasilan minimal warga yang hidup di Jakarta Rp5 juta per bulan. Namun itu untuk hidup pas-pasan.

Menurut dia, idealnya penghasilan warga yang hidup di Jakarta di atas Rp5 juta, bahkan Rp15 juta per bulan. Benarkah begitu?

Kami berkolaborasi dengan peneliti dan Affiliate Sustainable Growth Lab, Think Policy, Alexander Michael Tjahjadi, untuk memeriksa kebenaran klaim Ahok tersebut.

Pernyataan Ahok benar

Menurut Michael, pernyataan Ahok seputar pendapatan minimum Rp5 juta untuk tinggal di Jakarta sudah benar. Ini mengacu pada besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta pada 2024 yang sebesar Rp5,06 juta. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan mengatur penetapan UMP berdasarkan faktor-faktor mulai dari pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, hingga konsumsi rumah tangga di suatu provinsi.

Michael mengatakan ada peningkatan standar hidup di Jakarta sejak 2018 sampai 2022. “Meski kenaikannya tidak banyak karena pengaruh normal inflasi,” kata dia.

Namun, Michael menyoroti biaya hidup ideal sekitar Rp15 juta per bulan di Jakarta yang disebut Ahok. Kisaran biaya tersebut sebenarnya menunjukkan standar hidup yang di atas rata-rata. Angkanya dekat dengan pendapatan rata-rata kelompok kelas atas di Indonesia. Kelompok ini memiliki pengeluaran sekitar Rp12,3 juta per bulan. Sementara pengeluaran kelas menengah berkisar Rp2,7 juta per bulan.

Dia menggarisbawahi bahwa biaya hidup yang layak perlu dihitung secara komprehensif, tidak bisa hanya memakai satu ukuran yang tunggal. Ukuran seperti “ideal”, “cukup”, ataupun “pas-pasan” juga perlu kita pertanyakan karena sangat bergantung pada latar berlakang sosial-ekonomi seseorang yang melontarkannya.

“Diperlukan data yang lebih komprehensif untuk menilai pengeluaran dan pendapatan yang ada. Selain itu, indikator ideal juga masih dipertanyakan karena tergantung gaya hidup masing-masing orang.” ujar Michael.

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 185,900 academics and researchers from 4,984 institutions.

Register now