Menu Close
Civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menyampaikan pernyataan sikap Kawal Demokrasi Indonesia di kampus UII Yogyakarta, Sleman, Yogyakarta. Andreas Fitri Atmoko/Antara Foto

Cek Fakta: benarkah demokrasi kita sangat melelahkan, berantakan dan mahal?

“Dan izinkan saya memberi kesaksian bahwa demokrasi sangat-sangat melelahkan, demokrasi sangat berantakan, demokrasi sangat costly (makan biaya). Dan kita sampai sekarang masih tidak puas dengan demokrasi kita.”

– Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 2, saat menghadiri Mandiri Investment Forum 2024 di Fairmont Hotel, Jakarta, pada Selasa, 5 Maret 2024.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga calon presiden, menyampaikan keynote speech pada acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2024 di Jakarta, Selasa, 5 Maret 2024. Dhemas Reviyanto/Antara Foto

Untuk menganalisis klaim Prabowo tersebut, The Conversation Indonesia menghubungi Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Wawan Kurniawan, peneliti dari Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia.

Elite nakal penyebab mahalnya demokrasi

Menurut Alfath, pernyataan Prabowo tentang demokrasi yang sangat melelahkan, berantakan, dan mahal adalah benar, tetapi ada kompleksitas tertentu yang perlu diuraikan lebih mendalam.

Kita perlu menelaah kembali konsep demokrasi yang diikuti dengan data pembiayaan oleh negara, partai politik, maupun kandidat dalam pemilihan umum (pemilu).

Demokrasi menempatkan pentingnya musyawarah untuk mencapai konsensus. Terkadang, proses ini memakan waktu yang tak sedikit, sehingga membuat pihak-pihak tertentu merasa kelelahan. Demokrasi juga menuntut adanya partisipasi aktif dari setiap warganegara. Tanpa adanya keterlibatan aktif dari warga negara, demokrasi menjadi tak bermakna.

Seruan aksi Selamatkan Demokrasi oleh sejumlah mahasiswa di Bali. Nyoman Hendra Wibowo/Antara Foto

Dalam banyak hal, musyawarah yang dilakukan seringkali memicu ketegangan di tengah masyarakat dan berujung deadlock. Akhirnya, keputusan yang diambil tidak benar-benar bisa memuaskan semua pihak dan cenderung kompromistis.

Kemudian, mahalnya demokrasi seringkali dikaitkan dengan seberapa besar pembiayaan pemilu, baik yang didanai negara, partai politik maupun kandidat. Memang, pembiayaan pemilu di Indonesia menunjukkan peningkatan dari masa ke masa. Alokasi anggaran negara untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 mencapai Rp71,3 triliun-jauh melampaui pemilu-pemilu sebelumnya.

Sementara biaya yang harus dikeluarkan calon legislatif (bukan dari negara)-termasuk biaya untuk mendekati dan merawat konstituen-juga diprediksi meningkat, yang nilainya sangat fantastis hingga mencapai miliaran rupiah. Artinya, mahalnya pembiayaan pemilu dirasakan oleh semua pihak.

Namun, hal tersebut tak terjadi begitu saja. Adanya budaya patron-klien (relasi yang saling memberikan timbal balik), pendidikan politik yang minim, serta perilaku elite dan politikus “nakal” yang menjadikan kemiskinan dan ketimpangan sebagai komoditas politik. Situasi yang rumit ini membuat demokrasi mengalami kemunduran sebagaimana tercermin dari laporan V-Dem Institute, Freedom House, maupun The Economist Intelligence Unit (2024).

Demokrasi memang sangat melelahkan, sehingga setiap warga negara butuh daya tahan (endurance). Namun, yang membuatnya benar-benar berantakan dan mahal cenderung didominasi oleh perilaku elite dan politikus yang tak beretika. Hal ini menjadi salah satu faktor dominan yang berkontribusi pada kekacauan dan tingginya biaya demokrasi.

Kebiasaan untuk menggunakan uang dan instrumen lainnya seperti politisasi bantuan sosial (bansos) yang membuat masyarakat menjadi sangat materialistis, menjadikan pemilu kita sebatas jual beli suara, dan demokrasi tak ubahnya seperti jargon kosong.

Politikus yang korup, tidak kompeten, dan hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya dapat memicu kekecewaan publik, bahkan menyebabkan kemunduran demokrasi.

Demokrasi melelahkan akibat kompleksitas pengambilan keputusan

Menurut Wawan, yang dikatakan Prabowo bahwa demokrasi Indonesia kini terasa melelahkan adalah benar, tetapi kita perlu telaah dulu penyebabnya.

Konsep “kelelahan demokrasi” dapat dikaitkan dengan teori kelelahan keputusan (decision fatigue) dan ego depletion yang menjelaskan bagaimana proses pengambilan keputusan yang berkepanjangan dapat menurunkan kualitas keputusan dan kepuasan terhadap sistem.

Dalam demokrasi, proses deliberatif (melalui pertimbangan mendalam) dan kompleksitas pengambilan keputusan seringkali menimbulkan kelelahan bagi pemilih dan pemangku kepentingan.

Aksi kawal demokrasi mahasiswa Bekasi dan Karawang di Jalan Cut Mutia, Bekasi, Jawa Barat. Fakhri Hermansyah/Antara Foto

Dari perspektif teori demokrasi deliberatif, ketegangan dan konflik merupakan bagian integral dari proses demokrasi yang sehat. Namun, ketika institusi demokrasi lemah dan partisipasi publik rendah, proses deliberatif dapat terdegradasi menjadi polarisasi dan konflik yang tidak produktif.

Penelitian tentang demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam hal partisipasi politik dan kebebasan sipil sejak Reformasi 1998, tantangan seperti korupsi, polarisasi politik, dan ketidaksetaraan sosial-ekonomi masih membayangi kualitas demokrasi. Dalam konteks ini, pernyataan bahwa demokrasi di Indonesia “sangat melelahkan dan berantakan” dapat dipahami sebagai refleksi dari tantangan-tantangan tersebut.

Saat ini demokrasi di Indonesia memang sedang menghadapi tantangan yang membuatnya terasa “melelahkan dan berantakan,” tetapi pendekatan yang berbasis pada temuan dan teori ilmiah menunjukkan bahwa dengan upaya yang tepat, kualitas demokrasi dapat ditingkatkan.

Pernyataan Prabowo tersebut dapat dianggap sebagai refleksi dari kondisi saat ini, tetapi bukan sebagai penilaian akhir terhadap potensi demokrasi di Indonesia.

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now