Menu Close
Antrian penonton sebelum memasuki area konser Taylor Swift di Singapura. RidhamSupriyanto/Shutterstock

Cek Fakta: benarkah Indonesia sulit selenggarakan ‘event’ besar akibat rumitnya perizinan?

“Saya pastikan lebih dari separuh (penontonnya) dari Indonesia, karena di sini tiketnya baru 20 menit saja sudah habis (terjual), tetapi mau nambah tidak bisa. Kenapa? Saya tanya ke penyelenggara, karena memang urusan perizinan kita ruwet.”

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menuturkan hal tersebut dalam Peresmian Peluncuran Digitalisasi Layanan Perizinan Penyelenggaraan Event di Jakarta pada 24 Juni 2024.

Presiden Joko Hafidz Mubarak A/Antara Foto

Bulan Maret lalu, Singapura menyelenggarakan konser Taylor Swift, penyanyi pop asal Amerika Serikat, selama enam hari. Singapura menjadi satu-satunya negara ASEAN yang berhasil mengundang penyanyi kelas dunia yang sedang sangat populer tersebut untuk tampil berhari-hari. Jokowi kemudian mengutip data bahwa separuh dari total 360 ribu penggemar Taylor Swift yang menonton konser di Singapura adalah warga Indonesia.

Terkait hal ini, Jokowi menyoroti ruwetnya proses perizinan penyelenggaraan event, yang menyebabkan Indonesia tidak mampu menyelenggarakan konser Taylor Swift layaknya Singapura. Menurutnya, Indonesia kalah cepat dari Singapura dalam urusan perizinan penyelenggaraan event dan kemudahan akses sehingga sulit mendatangkan artis-artis internasional.

Apa benar rumitnya perizinan di Indonesia telah menjadi masalah besar yang kemudian menghalangi kemajuan industri kreatif di Indonesia?

The Conversation Indonesia bekerja sama dengan Ratri Istania, Associate Professor bidang Ilmu Politik dari Politeknik STIA LAN Jakarta sekaligus peneliti senior di Populi Center, untuk memverifikasi klaim Jokowi tersebut.

Pernyataan Jokowi benar

Klaim Jokowi benar, perizinian di Indonesia sangat ruwet, apalagi kalau melihat bahwa lokasi usaha, misalnya pertambangan maupun penyelenggaraan acara besar, tidak semua berada di pusat pemerintahan, tetapi lebih banyak di daerah. Contohnya adalah event MotoGP Mandalika yang diselenggarakan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Rezim di daerah saja sudah berbeda-beda, termasuk soal menurunkan teknis koordinasi dalam perizinan usaha terutama terkait penyelenggaraan event besar.

MotoGP Mandalika yang memakan biaya sangat besar, misalnya, ternyata penyelenggaraannya tidak semudah pemerintah pusat menginstruksikan daerah. Pemerintah Provinsi NTB harus berkoordinasi soal perizinan dengan penguasa wilayah setempat, yaitu pemerintah Kabupaten Lombok Tengah, karena pemerintah kabupaten yang akan menjadi tuan rumah event besar tersebut.

Sejak diterapkannya UU Cipta Kerja (UUCK), kewenangan perizinan ditarik dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Alasannya, terjadi ketidakefisienan dalam masalah perizinan yang membuat investasi terhambat dan regional competitiveness sulit tercapai. Namun, pemerintah daerah justru menjadi bingung karena aturan pelaksanaan tentang perizinan juga berubah.

Meskipun pemerintah pusat sudah berusaha mempersingkat rantai pengurusan perizinan melalui UUCK, posisi daerah tetap sulit karena tidak siap dalam hal ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten, infrastruktur, maupun birokrasi untuk menerjemahkan keinginan UU baru tersebut.

Di daerah, gengsi antarlembaganya lebih rumit untuk hal perizinan. Sumber daya di daerah terkadang juga lintas batas daerah, sehingga pengelolaan perizinannya perlu bersama-sama antardaerah. Ini membuat alur perizinan semakin panjang. Ditambah lagi mentalitas kepala daerah yang korup, termasuk dengan banyaknya pungutan liar (pungli), yang menjadikan perizinan semakin rumit.

Namun demikian, gagalnya penyelenggaran konser Taylor Swift tidak dapat semata-mata disalahkan karena perizinan berbelit. Mekanisme perizinan satu pintu melalui sistem digital Online Single Submission (OSS) merupakan solusi mempermudah perizinan konser.

Namun dalam pelaksanaannya, sistem OSS juga tidaklah semudah yang membalik telapak tangan. Berbicara perizinan di level OSS mungkin satu hal, namun pada hal lainnya tentu banyak faktor yang perlu diperhitungkan oleh penyelenggara konser seperti keamanan, cyber-security, dan lintas koordinasi antarlembaga di pusat maupun daerah yang, misalnya, membutuhkan surat rekomendasi.

Dalam konteks perizinan konser, ada banyak institusi/lembaga yang terlibat untuk menggolkan satu konser selevel , misalnya, Taylor Swift. Namun, rumitnya perizinan itu tidak dibarengi dengan kualitas infrastruktur dan keamanan.

Wajar jika Taylor Swift, misalnya, lebih memilih melaksanakan konser di Singapura yang jelas dari berbagai segi lebih aman dan nyaman. Perizinan mereka tidak berbelit seperti di Indonesia.

Tidak hanya untuk ‘event’

Berbelitnya perizinan juga terjadi di hampir semua sektor, termasuk sektor usaha.

Penelitian tahun 2022 menunjukkan bahwa sistem digital OSS dalam perizinan berusaha di Indonesia ternyata masih belum optimal.

Beberapa permasalahan seperti di Kementerian Investasi/BKPM menyebabkan masih menumpuknya permintaan pelaku usaha untuk proses layanan konsultasi tatap muka ketimbang melalui OSS. Ini karena pelaku usaha tidak puas dengan komunikasi tanpa tatap muka.

Sistem OSS belum benar-benar dapat beroperasi secara optimal, akibat masih lemahnya infrastruktur jaringan online dan sumber daya manusia sebagai operator OSS yang belum merata kemampuannya. Terlebih lagi, seringkali aplikasi/sistem digitalnya kurang ramah pengguna sehingga pelaku usaha kebingungan menggunakannya.

Artinya, disahkannya mekanisme perizinan konser berbasis layanan digital OSS, belum tentu membuat masalah bisa dengan mudah ditangani. Terlebih bahwa aplikasi ini ternyata dibuat tanpa melibatkan entitas musisi yang akan menjadi pengguna sebenarnya.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,100 academics and researchers from 4,986 institutions.

Register now