Menu Close
Roket sebagai ilustrasi alat pertahanan (alutsista). GAS-photo/Shutterstock

Cek Fakta: benarkah lebih baik utang untuk beli alat pertanian daripada untuk beli alat perang?

“Kita enggak perang kenapa kebanyakan utang beli alat perang? Lebih baik utang untuk beli alat pertanian.”

Muhaimin Iskandar, calon wakil presiden nomor urut 1, saat bertemu dengan para petani dalam acara “Nitip Gus” di kawasan Sijalak Harupat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu 3 Januari 2024.

Muhaimin Iskandar, cawapres nomor urut 1, menyampaikan pandangannya saat Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu 21 Januari 2024. M Risyal Hidayat/Antara Foto

The Conversation Indonesia menghubungi Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dan Tangguh Chairil, dosen Hubungan Internasional dari Binus University untuk menganalisis klaim Muhaimin tersebut.

Analisis 1: persenjataan harus disiapkan meski tidak sedang perang

Perbandingan dan kata “lebih baik” yang dilontarkan Muhaimin terlalu subjektif, karena alokasi pertahanan dan pertanian selalu jadi prerogatif penyusun anggaran negara, yakni Presiden dengan persetujuan DPR, dan setiap pemerintahan punya pertimbangan yang berbeda dalam mengalokasikan anggaran belanja. Pernyataan beliau terlalu politis.

Pernyataan “kita enggak perang” juga sudah banyak dikritik. Salah satunya karena diskursus studi keamanan mengenal adagium Si Vis Pacem Parabellum, yang artinya “jika menginginkan perdamaian harus siap dengan perang”. Sehingga pemutakhiran persenjataan itu niscaya dan harus dipersiapkan, meskipun kita tidak sedang di masa perang.

Memang, utang alat pertanian jika dikelola dengan baik bisa saja “lebih baik”, karena keuntungan dari pertanian bisa menambah devisa negara untuk melunasi utang. Sedangkan pada ranah keamanan, dalam pembelian alutsista mustahil ada sirkulasi keuangan yang menghasilkan laba.

Hasil analisis 1

Kebenaran pernyataan Muhaimin tidak bisa kita verifikasi, namun pendapatnya cenderung tidak tepat dan keliru. Kata “lebih baik” itu terlalu subyektif dan menafikkan pentingnya pertahanan di masa damai. Perlu diingat bahwa doktrin utama dalam pertahanan adalah kesiapan untuk berperang.

Analisis 2: pembangunan pertahanan semakin mendesak

Pernyataan Muhaimin tersebut menunjukkan adanya mindset yang disebut “guns vs butter”. Ini istilah terkait alokasi anggaran pemerintah. “Guns” artinya anggaran untuk militer atau pertahanan, “butter” merujuk pada anggaran untuk kesejahteraan sosial.

Orang-orang yang berpikir dengan cara ini menganggap anggaran untuk pertahanan itu zero-sum (harus ada yang menang dan kalah) dengan anggaran untuk kesejahteraan sosial. Sehingga, mereka menganggap agar anggaran kesejahteraan sosial bisa ditingkatkan, anggaran pertahanan harus diturunkan.

Pertanyaannya, apakah anggaran pertahanan dan kesejahteraan sosial itu selalu zero-sum atau trade-off (harus ada keuntungannya)? Belum tentu.

Hasil kajian ekonomi pertahanan terhadap berbagai studi kasus berbeda-beda. Ada kasus-kasus ketika anggaran pertahanan justru berdampak positif terhadap kesejahteraan sosial. Jadi, anggaran pertahanan belum tentu zero-sum atau trade-off dengan kesejahteraan sosial.

Ketika hubungannya positif, istilahnya menjadi “guns and butter”, yaitu menggunakan anggaran pertahanan untuk merangsang dampak perekonomian. Pola pikir “guns and butter” ini yang sudah mulai diusahakan pemerintah Indonesia melalui istilah “investasi pertahanan”.

Pernyataan Muhaimin yang menafikkan kebutuhan alat perang karena “kita enggak perang” justru perlu dikritik. Memang sekarang kita berada dalam masa damai (tidak perang), tetapi dalam perencanaan pertahanan justru kita harus membangun sistem pertahanan sejak masa damai. Jangan ketika perang baru membeli persenjataan, itu jadinya sangat terlambat.

Kita membangun sistem pertahanan berdasarkan analisis terhadap potensi ancaman dalam lingkungan strategis negara kita. Di kawasan kita saja sudah terdapat beberapa potensi ancaman yang membuat pembangunan pertahanan semakin mendesak, seperti sengketa Laut Cina Selatan (LCS), ketegangan Cina-Taiwan dan Cina-Amerika Serikat (AS).

Indonesia posisinya non-claimant di sengketa LCS, namun secara de facto, wilayah kita di Natuna masuk dalam klaim wilayah oleh Cina. Sehingga, kita perlu meningkatkan kekuatan persenjataan untuk mempertahankan Natuna, tidak bisa hanya melalui diplomasi saja.

Sementara itu, kalau hubungan Cina-Taiwan dan Cina-AS di kawasan semakin memanas hingga berpotensi tereskalasi jadi konflik. Skenario konflik yang akan terjadi sangat mungkin membawa pengaruh ke wilayah Indonesia.

Hasil analisis 2

Klaim Muhaimin tidak dapat diverifikasi kebenarannya, karena berbagai riset menujukkan hasil yang berbeda-beda. Ditambah lagi, anggaran pertahanan dan kesejahteraan sosial itu selalu zero-sum atau trade-off. Meski demikian, pengadaan persenjataan jangan sampai dilakukan ketika kita sedang perang, justru harus disiapkan ketika sedang masa damai.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now