Menu Close
(Shutterstock)

Cek Fakta: Benarkah naiknya kriminalitas anak dipengaruhi oleh ‘game online’?

“Selain kasus di Soetta, ada kasus anak membunuh orang tuanya, semua berawal dari game online. Dan, masih banyak lagi kasus-kasus kriminal karena dampak dari game online.”

  • Kawiyan, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam keterangannya pada Senin, 8 April 2024.

Kawiyan meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) segera memblokir game online yang salah satunya bermuatan kekerasan. Dia menganggap kasus kriminalitas anak naik karena terpicu oleh permainan tersebut.

Benarkah begitu?

Untuk memeriksa pernyataan Kawiyan, kami bekerja sama dengan Dosen di Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Bhakti Eko Nugroho.

Pernyataan Kawiyan benar, tapi…

Bhakti mengemukakan pernyataan Kawiyan benar. Namun, Bhakti menganggap pernyataan tersebut cenderung mengabaikan faktor-faktor lain yang juga berhubungan dengan perilaku agresif seorang individu.

Menurut dia, memang ada sejumlah riset yang menguatkan pernyataan Kawiyan. Salah satunya riset yang terbit pada 2010. Studi tersebut menyatakan bahwa naiknya tingkat agresivitas anak-anak berhubungan dengan keterpaparan mereka-anak dengan konten-konten gim daring.

Permainan daring, menurut riset tersebut, juga dapat menurunkan komitmen individu terhadap perilaku pro-sosial, dan mengancam kesehatan mental mereka secara serius.

Namun, Bhakti menggarisbawahi bahwa riset-riset di atas memiliki keterbatasan karena mengabaikan variabel lain yang memengaruhi perilaku agresif tersebut. “Faktor sosial lain yang juga berpengaruh antara lain adalah nilai dan pengalaman kekerasan yang diperoleh dari lingkungan sosial fisik sehari-hari,” ujar dia.

Selain itu, Bhakti juga mengutip studi lainnya yang menelaah keterbatasan riset-riset yang tidak membedakan secara jelas tingkat “keseriusan” atau “keparahan” perilaku kekerasan yang dilakukan anak.

“Karena itu, pernyataan bahwa kasus kriminal adalah dampak dari game online cenderung mengabaikan ragam penyebab seorang individu, termasuk anak dan remaja, terlibat dalam perilaku agresif,” tutur Bhakti.

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,200 academics and researchers from 4,952 institutions.

Register now