Menu Close
Pengungsi Rohingya yang menempati penampungan sementara lantai pasar gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh, Aceh. Irwansyah Putra/Antara Foto

Cek Fakta: benarkah pengungsi Rohingya membawa ketidakstabilan di Aceh sehingga harus dihentikan masuk dulu?

“Saya kira harus stop dulu. Semua pendatang dari Rohingya membawa ketidakstabilan di sana. Sementara ini harus kita stop supaya masyarakat Aceh tenang. Daripada terjadi konflik, kita prioritaskan warga kita.”

Muhaimin Iskandar, calon wakil presiden nomor urut 1, usai menghadiri kampanye di GOR Binjai, Sumatera Utara, Jumat 8 Desember 2023.

Calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar memberikan pidato politiknya pada acara Deklarasi dukungan Relawan Kaula Muda Nusantara (Rekan) di Jakarta, Minggu 28 Januari 2024. Muhammad Adimaja/Antara Foto

The Conversation Indonesia menghubungi Rizka Fiani Prabaningtyas, peneliti bidang hubungan internasional dan isu migrasi dari Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), untuk menganalisis klaim Muhaimin tersebut.

Analisis: analogi yang salah

Klaim Muhaimin bahwa semua imigran Rohingya membawa ketidakstabilan di Aceh tidak bisa diverifikasi kebenarannya, meskipun banyak laporan demikian di media sosial.

Ini karena belum ada riset dengan data yang valid dan komprehensif-setidaknya yang dapat diakses publik-terkait implikasi langsung dari keberadaaan pengungsi Rohingya terhadap stabilitas sosial, ekonomi, dan politik di Aceh terhitung sejak pertama kali Rohingya mendarat di Aceh tahun 2009 hingga saat ini.

Berita yang beredar di media dan media sosial sebagian besar hanya mengulas kejadian per penolakan, terutama akibat eskalasi gelombang kedatangan sejak November 2023. Padahal, di balik pemberitaan penolakan tersebut, masih ada upaya warga Aceh dan komunitas lokal untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya yang jarang diberitakan.

Sejauh ini, kajian yang ditemukan justru banyak menyoroti rekam jejak kolaborasi pemerintah pusat, daerah, organisasi kemanusiaan, dan masyarakat Aceh untuk membantu pengungsi Rohingya sejak 2015 pasca-Krisis Andaman.

Pernyataan Muhaimin tersebut justru berpotensi menggeneralisasi kelompok pengungsi Rohingya karena seolah-olah semua pengungsi Rohingya melakukan tindakan-tindakan pemicu ketidakstabilan sosial.

Ini yang membuat pengungsi rohingya bagaikan kambing hitam atas kondisi stabilitas di Aceh. Padahal, dengan atau tanpa adanya pengungsi Rohingya, provinsi tersebut telah memiliki sejarah konflik sosial yang panjang. Stabilitas situasi sosial politik di Aceh senantiasa menjadi isu yang menjadi perhatian khusus, apalagi dalam konteks menjelang penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu).

Merujuk Data Indeks Kerawanan Pemilu 2019 dan 2024, Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan tingkat kerawanan yang patut diwaspadai.

Artinya, arahan Muhaimin untuk menghentikan gelombang masuknya pengungsi Rohingya supaya masyarakat Aceh tenang adalah analogi yang salah. Meski demikian, perlu diakui bahwa jika niat Muhaimin adalah memprioritaskan warga kita daripada terjadi konflik, maka niat tersebut sudah tepat.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa kebijakan menghentikan penerimaan pengungsi hanya akan berdampak pada tidak bertambahnya jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia. Namun, ini akan berimplikasi terhadap menurunnya kapasitas penyelamatan pengungsi dan pencari suaka yang mencari perlindungan via jalur laut.

Hal tersebut berarti Indonesia akan turut bertanggungjawab atas terjadinya tragedi kemanusiaan yang lebih besar akibat hilangnya pengungsi dan pencari suaka di jalur migrasi laut yang berbahaya. Ini jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional terhadap prinsip non-refoulement, suatu prinsip fundamental dalam hukum HAM internasional yang melarang suatu negara menolak pengungsi atau mengembalikan/mengirimkan pengungsi ke tempat yg membahayakan hidupnya.

Selama ini pemerintah Indonesia telah cenderung memprioritaskan kepentingan warga lokal dalam hal penanganan pengungsi luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari kewajiban pembiayaan, fasilitasi, dan pencarian solusi jangka panjang untuk pengungsi yang masih dibebankan sepenuhnya kepada organisasi internasional Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), terlepas dari adanya mandat Peraturan Presiden 125/2016 yang membolehkan alokasi APBN untuk mendanai pengungsi.

Salah satu contoh riilnya adalah dalam pemenuhan hak pendidikan anak pengungsi, selalu ditekankan bahwa upaya penyediaan layanan pendidikan tidak boleh membebani APBN dan APBD serta harus mengutamakan peserta didik WNI.

Hasil analisis: menghentikan pengungsi bukan solusi

Klaim Muhaimin bahwa semua pendatang dari Rohingya membawa ketidakstabilan tidak bisa diverifikasi, sehingga pernyataannya bahwa Indonesia harus stop kedatangan mereka agar masyarakat Aceh tenang itu salah.

Menghentikan masuknya pengungsi dan pencari suaka bukan solusi yang akan serta merta berdampak pada meredanya konflik atau membuat warga lokal lebih tenang. Langkah tersebut juga tidak menunjukkan manajemen penanganan pengungsi yang lebih baik.

Akar dari isu konflik sosial antara pengungsi Rohingya dan warga lokal Aceh harus direspons dengan serius dan tepat, yakni keterkaitannya dengan dis/misinformasi dan ujaran kebencian tentang pengungsi yang simpang siur di media massa, serta problematika implementasi Perpres 125/2016 yang berakibat ketidakjelasan pembagian peran dan tanggung jawab antaraktor pelaksana di pusat dan daerah dalam manajemen penanganan pengungsi di Indonesia.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now