Menu Close
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDI-P di Beach City International Stadium, Ancol, Jakarta, 24 Mei 2024. M Risyal Hidayat/Antara Foto

Cek Fakta: benarkah sistem presidensial Indonesia tidak mengenal partai koalisi dan oposisi?

“Karena saudara-saudara sekalian, anak-anakku tersayang, harus di-stressing bahwa banyak sekali mereka yang salah karena dalam sistem ketatanegaraan kita, boleh tanya pada Pak Mahfud. Sistem kita adalah presidential system, jadi bukan parlementer. Jadi sebetulnya kita ini tidak ada koalisi lalu oposisi.”

Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), saat membuka Rakernas PDI-P di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta, 24 Mei 2024.

Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia ke-5 sekaligus Ketua Umum PDI-P. M Risyal Hidayat/Antara Foto

Megawati dalam pidato politiknya menegaskan bahwa tidak ada istilah koalisi dan oposisi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Sebab, Indonesia menganut sistem presidensial, bukan parlementer. Sehingga, menurut dia, PDI-P berhak menjalin kerja sama politik dengan partai lainnya.

The Conversation Indonesia bekerja sama dengan Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), untuk memverifikasi secara ilmiah apakah pernyataan Megawati tersebut tepat.

Lain teori, lain implementasi

Indonesia saat ini menganut sistem pemerintahan presidensial. Benar apa yang dikatakan Megawati, bahwa dalam sistem presidensial tidak ada istilah koalisi maupun oposisi.

Namun, faktanya, dalam konteks Indonesia, pelaksanaan sistem presidensial cenderung setengah hati. Akibatnya, terdapat nuansa sistem parlementer yang mengakibatkan munculnya istilah koalisi maupun oposisi.

Definisi sistem presidensial adalah bentuk pemerintahan demokratis ketika kepala pemerintahan dipilih secara langsung memimpin otoritas kekuasaan eksekutif yang berbeda dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Sistem ini ditandai dengan pemisahan kekuasaan antar-otoritas.

Sistem presidensial murni memang tidak mengenal istilah koalisi dan oposisi. Dalam sistem presidensial yang berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan seperti di Amerika Serikat (AS), presiden sebagai otoritas eksekutif yang terpilih melalui pemilihan umum (pemilu) langsung, tidak bertanggung jawab secara politik kepada lembaga legislatif.

Sementara itu, dalam sistem parlementer yang berkembang secara bertahap di Eropa Barat, lembaga legislatif memandatkan kekuasaan eksekutif kepada perdana menteri. Walhasil, perdana menteri bertanggung jawab kepada mayoritas legislatif atas kelangsungan kekuasaan politiknya.

DPR yang seharusnya jadi oposisi

Jika merujuk pada definisi di atas, dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan legislatif tak bisa menjatuhkan pemegang kekuasaan eksekutif. Kemudian, presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat menteri sebagai pembantu dalam menjalankan roda pemerintahan tanpa adanya intervensi dari lembaga legislatif/parlemen.

Selain itu, dalam pemilu, rakyat memilih presiden untuk melaksanakan pemerintahan dan memilih anggota legislatif untuk mengontrol presiden. Dengan demikian, makna oposisi sebenarnya disematkan kepada anggota legislatif yang berfungsi menjadi pengawas dari presiden.

Artinya, partai politik apapun, baik pengusung presiden terpilih maupun bukan, sepanjang mereka duduk di kursi DPR, bertugas sebagai oposisi dari presiden. Tugas DPR tersebut sebenarnya termuat dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat (1) yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Lekat kompromi, sistem presidensial makin kabur

Sayangnya, lambat laun terdapat kompromi yang muncul akibat kombinasi sistem presidensial dan multipartai. Sebab, siapa saja yang menjabat sebagai presiden akan terbelenggu keharusan berkompromi dengan partai-partai di parlemen, tetapi kompromi tersebut bersifat rapuh dan cair karena ketiadaan common platform (kesamaan visi misi).

Alhasil, pertimbangan merangkul semua partai politik dalam kabinet dan menempatkan mereka dalam kotak “koalisi” membuat sistem presidensial kita menjadi kabur dan lebih cenderung kepada sistem parlementer.

Perlu dipahami, sebagian besar negara demokrasi yang stabil di dunia saat ini memang memiliki bentuk pemerintahan parlementer. Hanya beberapa negara di Amerika Latin yang menganut sistem presidensial namun tetap dapat menjaga kesinambungan demokrasinya.

Sebagai rekomendasi, kita perlu menata kembali sistem presidensial Indonesia dari yang setengah hati menjadi sepenuh hati. Ini memungkinkan terciptanya hubungan yang bersifat independen nan setara antara eksekutif dan legislatif. Dengan begitu, pemerintah benar-benar dapat menjadi rekan kerja DPR dalam proses legislasi dan pengawasan kekuasaan.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,100 academics and researchers from 4,986 institutions.

Register now