Menu Close
S. Sopian/shutterstock.

Cek Fakta: benarkah tidak ada perampasan tanah rakyat dalam pembangunan IKN?

“Perampasan apa? Apa itu perampasan? Nggak ada, nggak ada istilah itu. Saya nggak ngerti itu nggak ada istilah perampasan.”

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menanggapi tudingan perampasan tanah di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (Kaltim), saat ditemui di Kompleks Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, pada 6 Juni 2024.

Basuki menyebutkan, tak ada sedikitpun upaya perampasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah di IKN. Ia menjamin bahwa semua lahan digarap setelah statusnya sudah jelas.

The Conversation Indonesia berkolaborasi dengan Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institute yang juga mahasiswa doktoral di IPB University dan Nikodemus Niko, Dosen Sosiologi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, untuk memeriksa kebenaran pernyataan Basuki tersebut.

Perampasan masih terjadi, baik langsung maupun tidak

Menurut Eko, klaim Basuki tersebut tidak benar. Perampasan tanah dan lahan tidak bisa dilihat dari hari ini saja, tetapi bersifat historis.

“Coba kita cek, tanah-tanah itu dari mana, statusnya apa, mayoritas Hutan Tanaman Industri (HTI). Artinya bukan dari wilayah kosong. Ada konsesi (pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah kepada instansi pemerintah, perusahaan, individu, atau entitas legal lain) dan izin-izin yang tidak bersih-bersih amat (ada konflik dengan masyarakat),” jelasnya.

Nikodemus menegaskan hal ini dengan menyebutkan bahwa Undang-Undang (UU) No 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, dalam pasal 15A ayat (1) merinci tanah di IKN sebagai: barang milik negara, barang milik Otorita IKN, tanah milik masyarakat dan tanah negara.

Tidak ada klausul tanah adat di dalam UU tersebut membuat masyarakat adat rentan digusur karena seolah-olah tidak memiliki hak atas tanah meski sudah mengelola lahan tersebut sejak dua abad.

Selain itu, data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim tahun 2022 menunjukkan bahwa sejak ditetapkan sebagai IKN, muncul banyak perampasan tanah secara sepihak oleh negara maupun perusahaan pemegang izin yang diberikan oleh negara, bahkan di wilayah adat.

Hasil riset tahun 2023 yang dilakukan oleh Eko juga menunjukkan bahwa masih ada intimidasi dan kekerasan baik secara simbolik dan fisik, khususnya terhadap masyarakat dalam proses alih fungsi dan kepemilikan lahan di IKN.

Bahkan, data lain dari AMAN menunjukkan bahwa 687 orang masyarakat adat dikriminalisasi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Eko juga menambahkan bahwa banyak lahan di IKN yang sudah dikuasai oleh mafia atau pemegang konsesi lahan dan bersifat HTI sehingga bisa ditarik sewaktu-waktu oleh pemerintah tanpa kompensasi.

Perampasan tanah juga perlu dilihat dari sudut pandang yang akan datang. IKN punya dampak tidak langsung yaitu membuat tanah-tanah ‘diobral’, ditawarkan sebagai hak guna usaha (HGU) dengan pengurangan atau bahkan tanpa pajak, dan punya konsesi 180 tahun. Menurut Eko, ini merupakan perampasan tidak langsung, karena yang bisa membeli hanya yang bermodal besar.

“Masyarakat adat seperti suku Balik (kelompok etnis berjumlah tidak lebih dari 1.000 jiwa yang mendiami Sepaku, kawasan inti IKN). apa iya masih bisa bertahan dengan kondisi seperti itu?” ujar Eko miris.

Dampak turunan lainnya adalah munculnya mafia tanah (broker atau spekulan tanah) yang sekarang menguasai tanah-tanah strategis di IKN. Mereka bisa bekerja dengan cara-cara manipulatif dan bahkan tidak diketahui siapa orangnya (mafia hantu).

Lebih dari sekadar perampasan tanah

Eko menuturkan bahwa penjelasan tentang rampasan tanah juga harus dihubungkan dengan living space (ruang hidup). Seringnya, pemerintah hanya melihat hubungan manusia dengan tanah secara ekonomi semata, yang selesai dengan ganti rugi. Padahal, hubungan manusia dengan tempat tinggal itu kompleks. Mereka tidak hanya takut kehilangan tanah tapi kehilangan identitas sejarah mereka.

Hal ini diamini oleh Nikodemus yang menyebutkan bahwa perubahan-perubahan dalam ruang hidup seringkali mengakibatkan hilangnya cara hidup tradisional dan praktik budaya asli masyarakat adat. Perampasan tanah juga menyebabkan masalah kepadatan penduduk, akses yang terbatas terhadap sumber daya, serta kehilangan lahan untuk pertanian dan mata pencaharian yang berubah.

Belum soal pendapat minoritas yang menjadi narasi utama pemerintah.

“Hanya karena jumlah suku Balik tidak banyak, pendapat mereka tidak dianggap, bahkan tidak diajak ngomong. Padahal setiap individu punya hak dasar yang harus dilindungi. Apalagi mereka punya sejarah panjang,” terang Eko.

Tempat tinggal suku Bajo di Kabupaten Penajam, Paser Utara, Kalimantan Timur, yang terancam direlokasi karena pembangunan IKN. Author provided.

Selain suku Balik, ada juga komunitas suku Bajo yang sudah diminta untuk bersiap-siap direlokasi karena tanah yang sudah mereka tinggali selama 15-20 tahun akan digunakan untuk pangkalan Angkatan Laut (AL) IKN.

Kalau mengukur menggunakan prinsip keamanan manusia (human security) dari PBB, IKN belum memenuhi 7 kategorinya yaitu keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan personal, keamanan komunitas, keamanan politik.

IKN juga menciptkan ketimpangan sosial dan potensi konflik horisontal. Berdasarkan kesaksian Eko, beberapa warga mengeluh karena sudah puluhan tahun minta jalan, air dan listrik, juga akses pendidikan dan kesehatan tidak pernah digubris. Sementara ini mau ada pendatang dari Jawa yang akan datang untuk IKN, orangnya belum datang saja semuanya sudah disediakan.

“Jadi, sebenarnya IKN itu untuk siapa?,” tutup Eko retoris.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,100 academics and researchers from 4,986 institutions.

Register now