Menu Close
Petani muda

Cek Fakta: Ganjar klaim Indonesia kekurangan petani muda karena tak ada insentif. Benarkah?

Tidak pernah ada insentif yang diberikan kepada anak muda untuk menjadi petani, modernisasi jadi pilihan dengan digitalisasi pertanian. Lahan sempit dilakukan pola konsolidasi, lahan kan pernah punya uji coba waktu itu di Sukoharjo.

Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 3, dalam Dialog Capres Bersama Kadin Indonesia: Menuju Indonesia Emas 2045 di Jakarta, Kamis, 11 Januari 2024.

Ganjar Pranowo
Capres-cawapres nomor urut 3 Ganjar Pranowo (atas) dan Mahfud MD melambaikan tangan saat menghadiri Penguatan Anti Korupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (Paku Integritas) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (17/1/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wpa

The Conversation Indonesia menghubungi M. Rizki Pratama, dosen Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, dan Riska Ayu Purnamasari, peneliti Innovation Center for Tropical Sciences (ICTS) untuk mengecek klaim Ganjar tersebut.

Analisis 1: Jumlah petani terus menurun

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase pemuda usia 16-30 tahun yang bekerja di sektor pertanian terus menurun, dari 20,79% pada 2017 menjadi 18% pada 2022. Di sisi lain, persentase pemuda yang bekerja di sektor jasa terus naik, yakni dari 52,86% pada 2017 menjadi 56,82% pada 2022.

Data BPS juga menunjukkan, pada 2023, jumlah petani dari generasi milennial (kelahiran 1980-1996) hanya 21,93% dari jumlah seluruh petani. Penyebarannya pun tak merata. Sekitar 15,71% di antaranya berpusat di Jawa Timur.

Riset lembaga analisis sosial Akatiga pada 2020 menunjukkan bahwa orang muda terkendala menjadi petani karena menghadapi beberapa tantangan. Beberapa di antaranya yaitu lamanya waktu menunggu untuk dapat mengakses tanah milik orang tua, tingginya harga sewa/beli lahan untuk bertani, harga produk pertanian di tingkat petani yang fluktuatif bahkan cenderung rendah sehingga keuntungan bertani tidak sebesar sektor lain, dan kurangnya informasi seputar praktik pertanian inovatif.

Bahkan mahasiswa pertanian juga enggan bertani. Riset tahun 2022 pada 577 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa lulusan pertanian memiliki minat yang rendah untuk bergelut di sektor ini. Alasannya antara lain karena kekurangan pengetahuan, rendahnya kepercayaan diri, stigma, hingga ketiadaan dukungan dari orang tua dan pendidik.

Sementara, program insentif untuk petani muda memang belum ada di skala nasional. Sejauh ini, program petani milenial ada di skala lokal, misal dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Program tersebut memberikan pelatihan, pemagangan, pemberian akses pasar, akses teknologi, akses kelembagaan, akses sarana dan prasarana produksi/pascaproduksi, asuransi, akses lahan serta sertifikasi/legalitas usaha dan produk.

Hasil analisis 1:

Benar bahwa sektor pertanian tidak menarik bagi sebagian besar generasi muda. Ini terlihat dari jumlah petani muda yang terus menurun. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa banyak pemuda enggan bergelut di sektor pertanian karena faktor yang kompleks seperti stigma petani, minimnya akses modal dan lahan hingga keuntungan yang tipis.

Persoalan makin rumit karena belum adanya kebijakan nasional yang mampu mendorong para pemuda untuk dapat berkontribusi dalam sektor pertanian. Pemerintah harus mampu mereduksi berbagai faktor yang membuat enggan para pemuda untuk aktif di sektor pertanian baik dari sisi penguatan sumber daya manusia, aset maupun modal.

Program insentif untuk petani muda dapat dilakukan melalui berbagai hal seperti program pemotongan pajak, program pelatihan, program pinjaman dengan bunga rendah, program bantuan pendanaan hingga program pensiun dini untuk beralih ke sektor pertanian.

Analisis 2: Petani didominasi penduduk berusia tua

Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I BPS, selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani Indonesia menurun sebanyak 7,42%, dari 31,70 juta orang pada 2013 menjadi 29,34 juta orang pada 2023.

Data lain menyebutkan bahwa profil petani didominasi oleh petani yang berusia tua. Sebanyak 42% (7,9 juta) petani Indonesia merupakan generasi X yang berusia 45–54 tahun. Jumlah petani berusia 55–64 tahun mengalami peningkatan 3,29% (6,8 juta) dan petani berusia di atas 65 tahun meningkat 3,4% (4,7 juta) dalam sepuluh tahun terakhir.

Bertolak belakang dengan data di atas, jumlah petani milenial (usia 25–44 tahun) justru cenderung menurun. Dalam sepuluh tahun terakhir, proporsi petani berusia 25–34 tahun turun sebanyak 1,73% menjadi 10,24%, atau berjumlah 3 juta. Proporsi petani berusia 35–44 tahun turun sebanyak 4,34% menjadi 22,0% atau berjumlah 6,4 juta.

Hasil analisis 2:

Pernyataan capres tersebut benar. Kurangnya insentif untuk anak muda untuk menjadi petani berakibat pada berkurangnya jumlah angka petani milenial.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now