Menu Close
road to dubai covered in sand, big city,
Shutterstock

COP 28: seiring maraknya bencana dan pemanasan, apakah konferensi iklim bisa memenuhi kebutuhan mendesak Bumi saat ini?

Delapan tahun silam, dunia menyepakati target ambisius dalam Perjanjian Paris: menahan pemanasan global di angka 1,5°C untuk membatasi level perubahan iklim yang berbahaya.

Sejak saat itu, sayangnya, emisi gas rumah kaca terus naik. Bencana-bencana terkait iklim mengisi halaman depan surat kabar: mulai dari kebakaran besar hingga banjir di luar prediksi.

Pada 2023, suhu Bumi mencapai 1,2°C lebih panas dibandingkan dekade 1850-an. Peningkatan intensitas dan durasi gelombang panas menjalar ke seluruh dunia. Saat ini, kita memiliki waktu kurang dari 10 tahun sebelum mencapai pemanasan global 1,5°C.

Pekan ini, pertemuan iklim Conference of the Parties (COP) 28 akan dimulai dengan peringatan keras dari para ilmuwan iklim dan para pemimpin dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, António Guterres, mengingatkan bahwa aksi iklim saat ini “amat mungil jika dibandingkan dengan besarnya tantangan yang ada” dan kita telah “membuka gerbang neraka”.

Dalam surat terkait iklim terbaru, Paus Fransiskus mengutip seorang uskup dari Afrika yang menganggap krisis iklim adalah “Sebuah tragedi dan contoh nyata dosa struktural.”

Global monthly land and ocean anomalies from 1850, relative to the 1901-2000 average
Anomali bulanan global mengenai daratan dan lautan sejak tahun 1850, relatif terhadap rata-rata tahun 1901-2000. NOAA, CC BY-SA

Di Uni Emirat Arab, sebanyak 198 negara di Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) akan berkumpul untuk COP 28. Mampukah kita berharap untuk melihat kemajuan yang nyata, atau setidaknya separuhnya?

Kita bisa melihatnya dari tiga isu kunci yang akan dihadapi oleh para negosiator.

1. Mencatat kemajuan aksi iklim

Isu krusial dalam COP 28 tahun ini adalah global stocktake, tata cara kunci yang didesain untuk meningkatkan ambisi iklim berdasarkan Perjanjian Paris 2015. Ini pertama kalinya target pengurangan emisi dan manfaat adaptasi iklim atau rencana diversifikasi ekonomi setiap negara dinilai.

Global stocktake mengevaluasi sejauh mana kita sesuai target. Apakah kombinasi usaha pengurangan emisi dari seluruh negara dapat membantu kita membatasi pemanasan hingga 1,5°C saja? Jika tidak, apa saja gap emisinya, dan harus seberapa ambisius pengurangan emisi yang perlu dilakukan negara-negara?

Sejauh ini ada kemajuan, tapi masih jauh dari cukup. Sekalipun komitmen emisi negara-negara tercapai, pemanasan global akan memuncak ke sekitar 2,1 - 2,8°C.

Artinya, ada gap emisi sekitar 22,9 gigaton setara CO2 hingga 2030 mendatang.

Kabar baiknya, kita lolos dari skenario perubahan iklim terburuk akibat pemanasan tanpa henti dan kenaikan suhu Bumi melebihi 4°C pada 2100 nampaknya kurang mungkin tercapai. Namun, pemanasan global 2°C tetap saja membawa mara bahaya dan kerusakan tak terpulihkan.

Kita membutuhkan target yang jauh lebih ambisius. Untuk mencapai kondisi bebas emisi (net zero) CO2 global pada 2050, kita perlu memangkas emisi gas rumah kaca sebesar 43% pada 2030 dan 60% pada 2035 dibandingkan level emisi pada 2019.

Kesuksesan COP 28 akan berkutat pada: apakah negara-negara penghasil emisi terbesar menyepakati aksi pengurangan emisi yang lebih besar.

kincir angin di lautan China
Pembangunan infrastruktur energi terbarukan Cina meningkat pesat tahun ini. Shutterstock

2. Siapa yang membayar kerugian dan kerusakan iklim?

Sejak puluhan tahun silam, negara-negara bergulat dengan pertanyaan siapa yang harus membayar kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim di suatu negara.

Kini, kita hampir memfinalkan Dana Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage Fund). Inilah isu utama kedua bagi para negosiator di COP 28.

Sejauh ini, para pemerintah telah merumuskan cetak biru pendanaan baru. Perdebatan yang akan terjadi: siapa yang bakal mengelola dananya? Bank Dunia? Badan PBB? Apakah kekuatan ekonomi baru seperti Cina akan turut menyediakan dana?

Sampai sekarang belum ada target Dana Kerugian dan Kerusakan yang perlu dikumpulkan dan disalurkan. Cetak biru dana ini perlu diadopsi secara formal dalam COP 28 sebelum pelaksanaannya dimulai. Kenapa kita memerlukan Dana Kerugian dan Kerusakan? Komitmen pendanaan iklim lainnya sudah ditujukan untuk memangkas emisi ataupun membantu masyarakat beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Dana ini dikhususkan untuk kerugian dan kerusakan tak terhindarkan akibat perubahan iklim, misalnya kenaikan muka air laut, gelombang panas berkepanjangan, penggurunan tanah (desertifikasi), pengasaman laut, serta cuaca ekstrem dan gagal panen.

Di Pakistan dan Libia misalnya, kerusakan akibat banjir di sana begitu parah. Keduanya terjadi akibat perubahan iklim.

Banjir Libia, foto udara kota yang hancur akibat banjir
Banjir menghancurkan di Libia pada September lalu menimbulkan ribuan korban jiwa. Shutterstock

3. Pendanaan iklim sampai di mana?

Isu utama lainnya dalam negosiasi iklim adalah, bagaimana negara-negara dapat membenahi perekonomian supaya lebih “tanggap iklim”, dengan emisi yang lebih rendah dan meningkatnya ketangguhan.

Untuk negara-negara berkembang, pembenahan membutuhkan investasi masif dan teknologi baru agar mereka bisa melampaui ketergantungan terhadap bahan bakar fossil.

Inilah yang mungkin menjadi titik kritis. Hingga saat ini, pendanaan perubahan iklim mengalir terlalu lambat. Dalam Perjanjian Paris, negara-negara kaya menjanjikan dana Rp1.534 triliun setiap tahun. Kenyataannya, jumlah aliran dana ini belum tercapai, baru mendekati Rp1.330 triliun pada 2021.

Kecuali kita melihat kemajuan yang signifikan dalam pendanaan iklim-–termasuk mewujudkan Dana Kerugian dan Kerusakan dan memenuhi komitmen yang ada-–kita akan sukar melihat kemajuan isu-isu penting lainnya seperti percepatan pengurangan emisi melalui Global Stocktake, penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap, dan pelestarian biodiversitas.

Bagaimana kita membangun kesepakatan dari 198 pemerintah?

Salah satu alasan lambatnya kemajuan negosiasi iklim adalah semuanya memerlukan kesepakatan.

Seluruh 198 pemerintah harus menyetujui setiap keputusan. Artinya, suatu negara atau kelompok negara bisa saja memblokir suatu proposal atau memaksa perubahan kata-kata agar dapat disetujui.

Oleh karena itu, suara dari negara-negara kurang kaya, termasuk negara-negara kepulauan kecil dan negara-negara kurang berkembang, mempunyai bobot yang sama besarnya dengan negara-negara G20—penyumbang sekitar 85% produk domestik bruto (PDB) global.

Pada masa lalu, suara-suara ini berhasil menaikkan level aksi iklim, termasuk fokus pada suhu 1,5°C sebagai batasan pemanasan global.

Presiden COP28 Sultan Ahmed al-Jaber, menuai kontroversi karena ia mengepalai Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi. Kita mungkin melihat perdebatan yang sengit mengenai apakah pemerintah akan menyetujui “penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap” atau hanya “penghentian penggunaan bahan bakar fosil yang tak tertangani secara bertahap”?

Perdebatan tersebut mungkin tampak seperti silat lidah, tapi sebenarnya tidak. Opsi kedua, misalnya, menyiratkan penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon besar-besaran serta penyeimbangan karbon yang belum terbukti.

Sultan al-Jaber, patut dipuji, telah mempromosikan beberapa agenda progresif termasuk fokus pada konservasi, restorasi, dan pengelolaan alam berkelanjutan untuk membantu mencapai tujuan Perjanjian Paris.

Agenda tersebut memiliki beberapa kemiripan dengan Kerangka Keanekaragaman Hayati Global yang disepakati tahun lalu. Tujuannya untuk membendung kepunahan spesies dan kerusakan ekosistem. Ekosistem yang sehat dapat menyimpan karbon dan membantu manusia beradaptasi terhadap iklim yang berubah.

Negara-negara mulai bersiap melakukan negosiasi intensif selama dua pekan. Pertaruhan kini menjadi lebih besar dari sebelumnya. Pertanyaannya adalah: mampukah masyarakat dunia memanfaatkan momen ini?

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now