Menu Close
Kurif Afshen/Shutterstock

COP15: tiga visi pelestarian alam yang dibahas dalam konferensi biodiversitas PBB

Meski gema dari konferensi perubahan iklim di Mesir belum berakhir, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sudah memulai pertemuan lainnya di Montreal, Kanada. Konferensi biodiversitas yang bernama COP15 tersebut turut mengumpulkan para pemimpin dunia untuk membicarakan target baru demi melestarikan keanekaragaman hayati di muka bumi.

Biodiversitas terkait dengan segala macam bentuk kehidupan, mulai dari mahluk mikroskopis seperti virus, bakteri, dan jamur, hingga yang sebesar paus. Sejauh ini, angka kehilangan biodiversitas di dunia terus naik.

Pada 2010, pemimpin dunia menyepakati 20 Target Aichi untuk mengatasi persoalan tersebut. Dua di antaranya adalah meredam tren kehilangan keanekaragaman hayati hingga separuhnya dan memperluas perlindungan habitat di darat maupun laut pada 2020.

Sayangnya, tak ada satupun dari 20 target yang tercapai.

Sebuah asesmen global yang terbit pada 2019 menunjukkan bahwa penurunan luas habitat alami bagi seluruh biodiversitas menyentuh laju yang terparah dalam sejarah umat manusia. Berbagai tekanan yang ada seperti perubahan iklim, perusakan habitat, dan pencemaran terus mendorong spesies-spesies menuju kepunahan.

Hasil asesmen ini menunjukkan bahwa, untuk meredam kehancuran biodiversitas, dunia membutuhkan perubahan mendasar terkait cara kerja umat manusia, hubungan antarmanusia, maupun manusia dengan alam.


Read more: Gelombang kepunahan massal keenam: bagaimana pariwisata Indonesia berpotensi meredamnya


Banyak pihak merasa lega karena COP15 berhasil terselenggara. Sebab, acara ini sempat tertunda dua tahun karena pandemi dan kesukaran negosiasi lokasi acara dengan Cina sebagai tuan rumah konferensi.

Namun, konferensi yang hanya berlangsung dua pekan ini akan membahas begitu banyak hal yang sempat tertunda. Tujuan besarnya adalah persetujuan kerangka kerja biodiversitas global, yakni rencana bagaimana negara-negara bisa menekan angka kehilangan biodiversitas sekaligus memastikan umat manusia bisa hidup selaras dengan alam pada 2050.

Tanah kosong yang dipenuhi dahan dan tunggul pohon dengan hutan tropis di kejauhan.
Deforestasi di Amazon Brasil memecahkan rekor pada paruh pertama tahun 2022. Paralaxis/Shutterstock

30% pada 2030

Salah satu perdebatan yang mendominasi diskusi selama ini adalah terkait dengan berapa banyak area darat dan laut yang akan dikhususkan bagi konservasi. Berdasarkan dokumen yang ada saat ini, jumlahnya sekitar 30% dari total luas masing-masing darat dan laut pada 2030 mendatang (dikenal dengan istilah 30x30).

Sejumlah ilmuwan menganggap target ini masih belum cukup, dan menganggap bahwa penyediaan separuh bumi untuk kawasan konservasi adalah jumlah yang ideal.

Sementara, pihak lannya justru khawatir karena gagasan itu telah gagal menghidupkan kembali kehidupan liar. Gagasan itu diterapkan dengan mengusir orang-orang, bahkan membangun dinding untuk mengamankan kawasan konservasi.

Para perunding akan berdebat apakah pemenuhan target 30% harus berlaku bagi setiap negara, atau secara global. Jika berlaku bagi setiap negara, maka pemerintah memiliki kewajiban menyediakan 30% wilayahnya untuk kawasan konservasi. Sementara, jika target itu berlaku secara global, maka perlindungannya akan berfokus pada kawasan yang penting (seperti hutan hujan tropis), tapi tetap mewajibkan negara-negara pemilik kawasan alami yang luas (mayoritas di negara berkembang) untuk menanggung aksi konservasi lebih besar.

Banyak negara-negara berpendapatan rendah merasa bahwa opsi kedua akan menghentikan pembangunan ekonomi mereka. Ada pula suara keberatan tentang bagaimana level perlindungan di suatu kawasan konservasi, serta bagaimana pengakuan hak-hak penduduk yang berada di dalamnya. Sebab, rencana ini akan mewajibkan penambahan luas kawasan konservasi di darat hingga dua kali lipat, dan mungkin sepuluh kali lipat di lautan.

Penambahan luas area ini bisa mendepak masyarakat adat ataupun komunitas setempat yang hidup dari aktivitas kehutanan, berladang, ataupun mencari ikan di suatu kawasan konservasi.

Dua penjaga melihat ke danau di dataran berpasir.
Kawasan lindung dapat menimbulkan konsekuensi berbahaya. EPA-EFE/Paolo Pena/Peru Mineria

Kurangi emisi, kurangi daging, kurangi sampah

Ketimbang berkonsentrasi terhadap luas area yang diperuntukkan bagi alam, studi terbaru menekankan pentingnya mengatasi sebab-sebab kepunahan dan kehilangan habitat. Misalnya adalah emisi gas rumah kaca, konsumsi daging, dan polusi plastik.

Upaya ini akan mengalihkan perhatian kita dari alam, ke tempat di mana perusakan-perusakan alam dilanggengkan: ruang rapat, bursa saham, kantor perencanaan wilayah, dan supermarket.

Kerangka kerja yang sedang dibahas saat ini juga memuat sejumlah target yang akan membatasi penghancuran. Misalnya, penghapusan kebijakan subsidi yang mengubah hutan menjadi ladang peternakan sapi, hingga memangkas sampah makanan.

Kendati begitu, target ini gagal mencapai momentum karena tertutupi tujuan 30x30 yang begitu menarik perhatian.

Selain itu, upaya mengubah masyarakat dan perekonomian juga berpotensi memancing lebih banyak perdebatan serta menuntut lebih banyak dari negara-negara kaya – yang memegang kendali lebih besar atas faktor-faktor penyebab hilangnya biodiversitas.

Melindungi jasa ekosistem

Pendekatan lainnya juga bisa berkontribusi melindungi jasa-jasa yang dihasilkan ekosistem, misalnya perlindungan dari banjir, bahan bakar kayu, pengendalian iklim, dan persediaan makanan.

Pendekatan lain ini akan mengidentifikasi aset-aset alamiah (lahan basah seperti kawasan gambut, hutan, terumbu karang, dan mangrove) yang harus dilestarikan supaya bisa bermanfaat bagi manusia.

Ini berarti melindungi alam sedekat mungkin dengan tempat-tempat yang paling mengandalkannya. Bayangkan, tempat tinggal sekitar 6,1 miliar penduduk hanya berjarak satu jam dari tempat-tempat tersebut.

COP yang berhasil atau gagal?

Meski semua partisipan konferensi di Montreal sepakat akan perlunya terobosan, ada sejumlah ide tentang bagaimana mewujudkan perlindungan biodiversitas.

Bagi banyak pakar konservasi berpengalaman, COP dikatakan berhasil apabila terdapat target yang lebih ketat untuk melindungi dan memulihkan alam, penambahan luas kawasan konservasi, serta pendanaan maupun sumber daya lainnya untuk memastikan target terlaksana.

Sektor bisnis, investor, pemerintah kota maupun daerah termasuk masyarakat di dalamnya menginginkan sebuah kesepakatan yang menggerakkan seluruh lapisan masyarakat. Sejumlah perusahaan sudah meminta agar seluruh sektor bisnis diwajibkan untuk melaporkan dampak aktivitasnya selama ini terhadap kelestarian alam. Pemerintah-pemerintah kota maupun daerah memiliki komitmen tersendiri dan meminta COP15 untuk masukkan peran mereka dalam pemenuhan target konservasi biodiversitas nasional.

Terumbu karang dengan pulau terlihat di atas permukaan laut.
Terumbu karang menawarkan makanan dan perlindungan dari badai di daerah tropis. Ethan Daniels/Alamy Stock Photo

Upaya kolektif tersebut dapat membantu pengarusutamaan aspek pelestarian dan restorasi alam dalam perkembangan ekonomi maupun masyarakat. Langkah ini juga mengingatkan umat manusia bahwa aspek penting pelestarian alam tidak bisa ditemukan begitu saja di dalam pagar kawasan konservasi. Terbukti, semakin banyak pihak antusias seputar solusi berbasis alam untuk mengatasi perubahan iklim.

Konferensi iklim COP27 yang diadakan di Mesir juga memperkuat pentingnya solusi tersebut, misalnya dengan pemulihan kawasan gambut ataupun padang lamun. Aksi-aksi ini berupaya mengatasi krisis iklim sekaligus biodiversitas dengan menambah ruang bagi kehidupan liar dan menyerap karbon dari atmosfer.

Pemerintah-pemerintah kota, pelaku bisnis, dan investor menganggap langkah ini sebagai kesempatan untuk mencapai sejumlah target pembangunan berkelanjutan dalam satu sapuan.

Beberapa ahli konservasi mengkhawatirkan solusi ini hanyalah greenwashing (kampanye pencitraan hijau) dan memungkinkan eksploitasi masyarakat dan kaum adat. Namun, pakar lainnya berpendapat bahwa dengan perlindungan yang tepat, ketakutan ini dapat diatasi.

Dengan banyaknya hal yang dipertaruhkan dalam mengakomodasi berbagai kepentingan, COP15 berisiko tak menghasilkan apa-apa.


This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now