Menu Close

COVID-19 makin terkendali, bagaimana peran teknologi genomik dalam pencarian nenek moyang SARS-CoV-2?

Ilustrasi yang menunjukkan rekombinasi dua virus. iStock

Di tengah kecenderungan umum kasus COVID-19 yang terus menurun dan terkendali di banyak negara, kecuali di Cina, para ilmuwan masih terus mencari asal-usul penyebab COVID-19, virus severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2).

Para peneliti telah, sedang, dan akan terus mengurutkan genom SARS-CoV-2 dari berbagai varian di seluruh dunia. Peta urutan genom lengkap SARS-CoV-2 sangat penting karena berkaitan dengan pembuatan terapi (obat dan antibodi), desain vaksin, dan pemeriksaan status kekerabatannya dengan virus lain pada golongan famili Coronaviridae. Bagaimana virus bermutasi dan berevolusinya juga bisa dideteksi dari peta genom tersebut.

Data pertama genom lengkap virus ini, yang menjadi virus referensi (Wuhan-Hu-1), bisa diakses di pangkalan data GenBank, National Center for Biotechnology Information (NCBI) sejak 2020 dengan kode nomor akses NC_045512.2.

Virus yang termasuk golongan genus Betacoronavirus ini didapatkan dari pusat awal virus yang diduga tersebar di pasar makanan laut Huanan, Wuhan, Cina.

Sampai 9 Januari 2022, pangkalan data urutan genom lengkap SARS-CoV-2 di GISAID (Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data) EpiCoV telah menyimpan lebih dari 14,5 juta urutan genom lengkap isolat virus (virus yang diperoleh dari lapangan) SARS-CoV-2 yang bersirkulasi di berbagai belahan dunia sejak awal pandemi COVID-19.

Selain itu, analisis berbasis biologi molekuler dan bioinformatika terkini mengungkapkan bahwa koronavirus yang berasal dari kelelawar dan SARS-CoV-2 memiliki nenek moyang yang sama. Namun terjadinya penggabungan genetik yang masif di dalamnya telah menyebabkan gambar petanya menjadi tidak jelas.

Kemajuan teknologi pengurutan genom lengkap

Tidak diragukan lagi bahwa teknologi genomik telah memainkan peran penting dalam perjuangan global melawan COVID-19.

Pengurutan genom lengkap secara cepat telah membantu melacak penyebaran SARS-CoV-2 dan mengidentifikasi mutasi baru virus atau varian virus.

Dari sisi teknologi genomik, next generation sequencing (NGS) yang saat ini berkembang pesat tidak tersedia pada satu dekade yang lalu.

Oleh karena itu, urutan genom lengkap dari SARS-CoV-2 lebih cepat terpetakan saat ini. Dibanding teknologi sebelumnya, teknologi NGS menyediakan cara yang efektif dan tidak bias untuk mengidentifikasi jenis koronavirus baru dan patogen lain tanpa pengetahuan cukup sebelumnya tentang organisme tersebut.

SARS-CoV-2 adalah virus ketujuh dari golongan koronavirus yang menyerang manusia setelah 229E, NL63, OC43, HKU1, MERS-CoV, dan SARS-CoV.

Virus SARS-CoV-2 memiliki RNA (asam ribonukleat) dengan untai positif dan besar genom yang hampir mencapai 30.000 pasang basa. Hal ini berarti bahwa terdapat kombinasi huruf A (adenin), T (timin), G (guanin), dan C (sitosin) yang berjajar hingga sekitar 30.000 buah huruf. A, T, G, dan C adalah empat basa nitrogen yang menyusun urutan genom lengkap dari virus SARS-CoV-2. Sedangkan virus referensi ini (Wuhan-Hu-1) memiliki ukuran sebesar 29.903 pasang basa.

Virus SARS-CoV-2 tersusun atas empat gen penyandi protein struktural, yaitu spike glycoprotein (S), envelope protein (E), matrix protein (M), dan nucleocapsid phosphoprotein (N). Selain itu ada juga gen penyandi protein non-struktural lain, misalnya pp1ab, pp1a, 3a, 3b, p6, 7a, 7b, 8b, 9b, dan orf14.

Di tengah kekhawatiran penyebaran cepat varian baru dari SARS-CoV-2, seperti Alpha (B.1.1.7), Beta (B.1.351), Gamma (P1, Brazil), Delta (B.1.617.2), dan Omicron (B.1.1.529), kita perlu lebih banyak data genom lengkap yang diurutkan untuk mendeteksi mutasi dengan cepat dan mencegah penyebaran varian baru.

Pandemi COVID-19 dapat berakhir, tapi kita harus tahu bahwa koronavirus tidak mungkin menjadi pandemi terakhir dalam kehidupan ini.

Galur virus baru yang lebih berbahaya dapat saja muncul pada era pasca COVID-19.

Situasi ini menjadi semakin mencemaskan, karena menurut riset Cecilia Sanchez dan koleganya dari EcoHealth Alliance New York yang terbit di Nature Communications, ada 66.280 orang yang terinfeksi dengan koronavirus dari kelelawar (menyebabkan gejala mirip SARS) setiap tahunnya di Asia Tenggara.

Sejauh ini, walau kemampuan sebuah virus dalam melewati batas untuk menginfeksi spesies lain berlangsung secara sangat ekstensif, jumlah koronavirus yang menyebabkan epidemi dan pandemik masih sangat terbatas.

Beruntung, teknologi NGS dapat memberikan bukti penting kepada pemegang kebijakan berkaitan dengan kesehatan masyarakat, pengembang vaksin dan obat, dan peneliti. Teknologi ini memungkinkan laboratorium untuk melacak rute penularan virus secara global, deteksi mutasi dengan cepat untuk mencegah penyebaran varian virus baru.

Nenek moyang SARS-CoV-2 sejauh ini

Saat ini, banyak virus memiliki kekerabatan yang erat dengan SARS-CoV-2 telah diambil, berasal dari tenggiling dan kelelawar. Seluruh urutan lengkap genom virus-virus ini dibandingkan untuk mencapai kesimpulan yang akurat.

Setidaknya terdapat beberapa isolat koronavirus yang memiliki kekerabatan paling dekat dengan SARS-CoV-2. Isolat virus BANAL-52 dari Laos dan diisolasi dari kelelawar memiliki nilai kekerabatan yang tinggi, yaitu 96,8%.

Selain itu, isolat virus RaTG13 memiliki nilai kekerabatan 96,1%. Virus ini ditemukan di Yunnan, Cina. Sedangkan isolat virus yang berasal dari tenggiling mempunyai nilai kekerabatan sekitar 91%. Adanya nilai kekerabatan yang tinggi ini dimungkinkan akibat dari evolusi yang telah terjadi dari nenek moyang yang sama. Di sisi lain, penelitian genomik terkait isolat virus asal tenggiling ini mendapat sorotan dari peneliti lain terkait kualitas hasil urutan genomnya.

Namun, hal tersebut tidak membuat terungkapnya dengan mudah dan pasti siapa nenek moyang dan bagaimana asal virus SARS-CoV-2. Rekombinasi (penggabungan genetik) telah mengaburkan darimana nenek moyang SARS-CoV-2. Muncul dugaan bahwa mungkin rekombinasi virus terjadi hanya dalam waktu beberapa tahun, tidak mencapai beberapa dekade.

Pencarian nenek moyang SARS-CoV-2 akan menjadi semakin kompleks karena, karena sebuah riset pre-print di Bioarxiv dari Jing Wang dan kawan-kawan dari Universitas Sun-Yat Sen, Cina menyatakan bahwa telah ditemukan koronavirus rekombinan baru SARS-like berkerabat sangat dekat dengan SARS-COV-2 dan SARS-CoV. Hanya ada perbedaan lima asam amino pada urutan basa nitrogen potongan gen receptor-binding domain dengan urutan basa nitrogen awal dari SARS-CoV-2 (Wuhan-Hu-1) sebagai virus referensi.

Proses rekombinasi yang sangat ekstensif ini akan meningkatkan kompleksitas perunutan urutan basa nitrogen dan asam amino dari nenek moyang virus penyebab COVID-19 ini.

Penelitian epidemiologi molekuler berperan penting dalam mengurai kerumitan ini. Seperti yang sudah kita ketahui, daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara merupakan hotspot untuk penyebaran virus-virus zoonosis yang dibawa oleh kelelawar.

Karena itu, kebijakan pemerintah di kawasan tersebut seharusnya mendukung riset berbasis epidemiologi molekuler yang lebih baik. Ini penting sebagai sistem peringatan dini terhadap kemungkinan munculnya patogen-patogen baru yang sebelumnya sudah atau belum pernah ditemukan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now