Menu Close

Curious Kids: mengapa kecerdasan hewan tidak berevolusi menjadi seperti manusia?

Rido/Shutterstock

Manusia dan hewan hidup dalam lingkungan yang sama. Tapi mengapa hewan-hewan tidak berevolusi seperti kita? – Sami, 13 tahun, London, Inggris

Sami, pertanyaanmu sungguh brilian.

Manusia berevolusi secara berbeda dengan hewan lainnya. Kita memiliki otak yang jauh lebih besar dibandingkan ukuran badan ataupun tubuh dibandingkan mamalia lainnya. Kecerdasan manusia juga berevolusi, sedangkan hewan lainnya tidak.

Kecerdasan ini adalah anugerah. Berkat kecerdasan, kita bisa merencanakan sesuatu, maupun bekerja sama. Manusia pun dapat membuat terobosan sekaligus berbagi cerita keberhasilan seputar terobosan tersebut.

Makhluk hidup mengalami evolusi supaya mereka semakin mahir bertahan hidup. Misalnya, loreng pada harimau, warna cerah yang dimiliki kupu-kupu, ataupun otak besar pada manusia.

Fitur-fitur ini kemudian diwariskan secara turun-temurun.


Curious Kids adalah serial dari The Conversation yang memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka tentang dunia oleh para ahli. Jika kamu memiliki pertanyaan yang ingin dijawab oleh ilmuwan, kirimkan ke curiouskids@theconversation.com. Pastikan kamu menyertakan nama depan, usia, dan kota atau kota. Kami memang tidak akan dapat menjawab setiap pertanyaan, tetapi kami akan melakukan yang terbaik.


Ada beragam hipotesis (dugaan sementara) tentang asal mula kecerdasan manusia. Salah satunya terkait topik penelitian saya yang disebut reproduksi biokultur.

Otak yang besar memungkinkan manusia untuk mempertahankan lebih banyak bayi dibandingkan hewan lainnya. Dalam teori reproduksi biokultur, ada dugaan bahwa kecerdasan yang membantu kita menjaga kehidupan bayi-bayi berasal dari rasa kepedulian kita terhadap satu sama lain. Khususnya terkait bagaimana kita menjaga anak-anak.

Saling peduli dan membantu

Banyak hewan yang hidup secara berkelompok, kecil maupun besar. Beberapa spesies burung dan mamalia, seperti meerkat (sejenis musang), bergotong-royong untuk memberi makan maupun melindungi bayi-bayi mereka.

Kerja sama itu disebut dengan pengembangbiakan bersama (cooperative breeding). Ada hewan-hewan yang bertugas sebagai pengasuh. Mereka tidak bereproduksi untuk membantu anggota keluarga yang dominan, seperti ibu atau saudara betinanya.

Kawanan meerkat
Meerkat menerapkan cooperative breeding. RAJU SONI/Shutterstock

Sedangkan manusia berbeda. Siapapun yang mau dan mampu, bisa memiliki bayi. Memang tak semua orang tua bisa atau mau merawat bayinya sendiri, tapi banyak orang yang bisa membantu merawatnya.

Orang tua maupun para pengasuh menjaga anak-anak untuk waktu yang lama, terkadang sampai seumur hidup. Saya juga adalah orang tua yang terus menjaga perkembangan anak saya, maupun keturunannya – cucu saya. Inilah yang disebut para ahli sebagai reproduksi biokultur.

Sedangkan para pengasuh bisa saja memiliki hubungan keluarga dengan anak yang diasuhnya, tapi bisa juga tidak. Aturan main ini tidak ditentukan berdasarkan hubungan genetika, tapi dengan sebutan yang kita sematkan kepada orang lain. Sebutan ini bukan nama seperti Sami atau Barry, tetapi merupakan label ‘anak’, ‘bibi’, ‘kakek’, ‘sepupu’, ataupun ‘teman’.

Sekumpulan orang dewasa dan anak-anak di pantai
Kita mungkin menyebut teman orang tua kita sebagai tante atau om. View Apart/Shutterstock

Penyematan sebutan ini adalah wujud dari bahasa simbolis. Artinya, sebutan kita kepada orang lain mewakili ide bagaimana kita memperlakukan mereka. Evolusi dalam komunikasi simbolis tersebut hanya terjadi pada manusia dan beberapa nenek moyang kita.

Manusia memiliki panggilan ‘paman’ atau ‘bibi’ untuk menyebut orang yang lebih tua dan tidak memiliki kekerabatan secara langsung.

Karena alasan kedekatan, kita bahkan bisa memanggil sahabat kita dengan sebutan ‘saudara’ atau ‘sepupu’.

Beberapa pemimpin keagamaan pun disebut ‘bapa’, ‘ibu’, atau ‘suster’. Panggilan ini muncul sebagai simbol penghormatan sekaligus memberikan informasi terkait hubungan kita dengan orang-orang tersebut.

Kecerdasan tingkat tinggi untuk bertahan hidup

Cara penamaan yang dilakukan manusia itu cukup rumit. Butuh kecerdasan dengan otak yang besar untuk mengingat seluruh nama dan sejarah interaksi yang kita punya dengan keluarga ataupun teman.

Simpanse, sebagai sepupu biologis terdekat kita, hanya punya ukuran sepertiga dari otak manusia. Mereka tidak menggunakan bahasa simbolis atau memanggil simpanse lainnya dengan sebutan tertentu.

Induk simpanse memang peduli pada anak-anaknya. Tapi, kakeknya, ayahnya, ataupun simpanse lain tidak sepeduli itu. Akhirnya, hanya sepertiga bayi simpanse yang bertahan hidup hingga dewasa.

Sebaliknya, begitu banyak orang yang menaruh perhatian kepada bayi: memberi makan, menjaga saat sakit, mendidik, memberikan uang, mencurahkan kasih sayang. Akhirnya bayi manusia berpeluang lebih tinggi – tak sekadar bertahan hidup – tapi juga berkembang.

Kecerdasan tingkat tinggi yang membuat manusia lebih peduli kepada satu sama lain juga dapat menjawab sejumlah pertanyaan ihwal mengapa populasi manusia saat ini sedang menuju delapan miliar penduduk.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now