Menu Close

Dampak penting kesepakatan Indonesia dan Cina untuk mempromosikan penggunaan Yuan dan Rupiah

Seorang laki-laki melihat nilai tukar mata uang asing di gerai penukaran uang, Jakarta. ANTARA/Rosa Panggabean/ed/mes/11.

Bulan lalu, Cina dan Indonesia menandatangani perjanjian kerja sama untuk mempromosikan penggunaan mata uang Yuan dan Rupiah dalam perdagangan dan transaksi investasi antara kedua negara.

Yuan sebenarnya sudah mulai masuk ke Indonesia sejak Cina memulai proyek infrastruktur berskala besar, Belt and Road Initiatives (BRI), pada 2012. Saat ini, hanya sekitar 10% dari perdagangan global Indonesia telah menggunakan Yuan. Pada 2018, nilai Yuan di pasar Indonesia mencapai sekitar 201 miliar Yuan atau Rp 439 triliun yang setara dengan 63% dari seluruh nilai pasar Indonesia.

Perjanjian tersebut menandai tonggak penting untuk memperkuat kerja sama keuangan bilateral antara Cina dan Indonesia.

Selain itu, kesepakatan tersebut juga akan memberikan pengaruh hubungan politik kedua negara.

Implikasi ekonomi

Kesepakatan ini akan mengurangi ketergantungan Cina dan Indonesia terhadap Dolar Amerika Serikat (AS), yang selama ini dianggap sebagai mata uang utama dunia.

Bagi Cina, upaya untuk mengalihkan penggunaan dolar AS berarti menghindari kemungkinan tunduk pada yurisdiksi AS.

Ini juga dapat membantu Cina dalam mengamankan salah satu tujuan utamanya, yaitu untuk mendominasi perdagangan internasional sebagai produsen terbesar di dunia.

Sementara itu, Bank Indonesia berharap kesepakatan tersebut akan membantu Indonesia mengurangi risiko terhadap fluktuasi dolar AS.

Pasalnya, hingga saat ini ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS sangat tinggi karena menyumbang sekitar 90% dari seluruh transaksi luar negeri Indonesia.

Penggunaan mata uang lokal dapat membantu Indonesia menjaga stabilitas keuangan di tengah ketidakpastian pasar keuangan global akibat pandemi dan perang dagang AS-Cina.

Sengketa finansial antara AS dan Cina telah melemahkan pertumbuhan ekonomi global karena aktivitas perdagangan yang berkurang meningkatkan ketidakpastian global, terutama untuk pasar yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Menanggapi perselisihannya dengan Cina, pemerintah AS menaikkan suku bunga guna membuat dolar AS menarik di pasar yang pada akhirnya mendorong investor menarik uang dari pasar Indonesia. Hal tersebut menyebabkan nilai rupiah terdepresiasi. Rupiah telah mengalami penurunan terbesar dalam 20 tahun menjadi Rp 14.777 per dolar AS.

Selama pandemi COVID-19, Rupiah kembali mengalami penurunan hingga menyentuh Rp 15.000 per dolar AS.

Rupiah dan Dolar Amerika Serikat. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/kye/18

Sementara itu, nilai tukar Rupiah terhadap Yuan tetap stabil di kisaran Rp 1.900 dan Rp 2.100. Nilai ini membuat alasan penandatanganan kerja sama menjadi menguntungkan bagi Indonesia, karena transaksi menggunakan Yuan akan jauh lebih murah daripada menggunakan dolar AS.

Kesepakatan tersebut juga sangat signifikan artinya bagi Indonesia karena perdagangan internasional Indonesia dengan Cina, serta arus investasi asing Cina ke Indonesia telah meningkat secara drastis beberapa tahun terakhir.

Sebelum pandemi, Cina merupakan mitra dagang terbesar produk non-migas Indonesia.

Pada 2019, Cina adalah negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, dengan nilai US$ 25,8 juta setara dengan Rp 380 miliar, atau sekitar 16,68% dari total ekspor. Pada tahun yang sama, Cina menjadi importir terbesar untuk Indonesia, senilai US$ 44,5 juta atau setara dengan 29,95% dari total impor Indonesia.

Selain itu, investasi Cina di Indonesia juga telah meroket dalam lima tahun terakhir.

Pada 2019, Cina menjadi investor terbesar kedua dengan total investasi senilai US$4,7 miliar atau setara dengan 17% dari total investasi yang masuk ke Indonesia. Meningkatnya investasi Cina ke Indonesia mulai menggeser dominasi Singapura sebagai investor utama Indonesia.

Meski memiliki Cina sebagai salah satu mitra dagang dan investor utama, Indonesia jarang menggunakan Yuan dalam transaksi perdangaan di antara kedua negara. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan hanya 10% dari perdagangan Indonesia-Cina yang menggunakan Yuan sebagai mata uang transaksi pada 2018.

Namun demikian, kecenderungan pemerintah Cina untuk mendevaluasi mata uangnya membuat Indonesia menghadapi beberapa risiko jika beralih ke Yuan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Cina kerap kali melakukan kebijakan devaluasi terhadap mata uangnya, sebagai strategi untuk membuat Yuan lebih responsif terhadap kekuatan pasar. Sebagai contoh, pada 2019 ketika perang dagang dengan AS kembali memanas, Beijing mendevaluasi Yuan untuk membuat produk Cina lebih kompetitif dan lebih murah di pasar global.

Namun demikian, apabila Indonesia menggunakan Yuan, dikhawatirkan impor Indonesia dari Cina akan mengalami lonjakan yang akan berakibat buruk pada pasar domestik.

Seperti halnya yang terjadi baru-baru ini, pengusaha produk tekstil Indonesia merasa geram dan memprotes pemerintah akibat adanya peningkatan impor tekstil dari Cina yang memasuki pasar domestik dan membuat produk lokal susah bersaing.

Implikasi Politik

Perjanjian penggunaan Yuan antara Indonesia dan Cina juga akan berdampak pada menguatnya pengaruh Cina yang dalam beberapa tahun terakhir yang memang terus meningkat.

Sebagai sumber investasi asing terbesar kedua Indonesia dan salah satu mitra dagang utama, Cina telah semakin meneguhkan posisinya di negeri ini.

Cina juga telah meningkatkan pengaruh budayanya melalui berbagai acara dan inisiatif, termasuk di antaranya dengan mendirikan Institut Konfusius di berbagai daerah di Indonesia.

Tak sampai di situ saja, Cina juga tengah berharap dan mencari kesempatan untuk bisa mendirikan pangkalan militer di Indonesia.

Perjanjian yang baru saja ditandatangani ini dapat membuat Cina tidak hanya memiliki pengaruh ekonomi, budaya, dan militer yang signifikan di Indonesia, tapi juga menandakan posisi strategis Cina di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini.

Apa yang harus diperhatikan selanjutnya?

Setelah menandatangani perjanjian ini, Indonesia harus segera menetapkan aturan main untuk memastikan bahwa peningkatan penggunaan Yuan akan menguntungkan kedua belah pihak, tidak hanya Cina.

Pada saat yang sama, Indonesia juga perlu menentukan langkah guna mengantisipasi kebijakan devaluasi Cina tidak akan memberikan dampak buruk pada masa depan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mendiversifikasi impor Indonesia dari negara selain Cina. Cara lainnya adalah mendorong investasi di sektor pertanian yang diharapkan akan mengurangi ketergantungan impor terhadap Negeri Tirai Bambu tersebut.

Mendiversifikasi mitra dagang dengan negara lain dan menjalin kerja sama untuk menggunakan mata uang negara lain dalam transaksi perdagangan juga akan menyeimbangkan ketergantungan Indonesia terhadap Yuan.

Hingga saat ini, Indonesia telah menandatangani perjanjian penggunaan mata uang lokal tidak hanya dengan Cina, tapi juga dengan Thailand, Malaysia, serta Korea Selatan. Untuk mengurangi ketergantungannya pada Cina, pemerintah Indonesia juga harus melakukan kesepakatan serupa dengan mitra dagang non-tradisional lainnya, seperti Uni Eropa dan negara-negara Teluk.

Artikel ini ditulis bersama Dendy Indramawan, analis di Perbanas.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now