Tahun 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29%, atau setara dengan 832.01 juta ton CO2) hingga tahun 2030, dibandingkan jika negara tidak melakukan tindakan apa-apa.
Lebih lanjut, Indonesia siap menargetkan penurunan hingga 41% apabila ada bantuan internasional. Berdasarkan laporan terbaru dari pemerintah, mereka membutuhkan 247 miliar dollar AS atau Rp3,5 triliun untuk mencapai target tersebut.
Untuk mencapai target penurununan emisi tersebut, selain soal uang, pemerintah RI juga membutuhkan dukungan dan partisipasi publik.
Salah satunya adalah pemberian insentif kepada pemerintahan desa dalam bentuk Dana Desa untuk mencapai keterlibatan aktif desa dalam program penurunan emisi.
Sejak tahun 2015, Dana Desa ini sudah disalurkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam perkembangannya, Dana Desa mengalami peningkatan, dari Rp122 juta (8,896 dollar AS) di tahun 2015 menjadi Rp1,5 miliar (107,492.3 dollar AS) di tahun 2019, untuk setiap desa.
Sayangnya, sebagian besar desa di Indonesia masih menggunakan dana tersebut untuk membangun infrastruktur, sarana kesehatan, serta fasilitas penunjang pendidikan.
Kami melakukan penelitian terhadap 38 desa di Provinsi Sulawesi Tenggara dan menemukan bahwa 30 desa di tahun 2017 lebih memilih proyek infrastruktur.
Semua desa memilih untuk menggunakan dana tersebut untuk proyek infrastruktur di tahun 2015.
Alasan utamanya adalah ketidakpahaman mereka tentang perubahan iklim. Para penduduk desa lebih meyakini bahwa membangun jembatan akan lebih memberikan keuntungan ekonomi daripada menyelamatkan lingkungan.
Tetapi, mereka juga harus tahu bahwa desa pun bisa mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek pro lingkungan.
Tantangan utama
Bagi masyarakat desa, isu lingkungan bukanlah prioritas jika dibandingkan dengan masalah pendidikan dan kesehatan. Komunitas lokal juga belum paham tentang cara menggunakan Dana Desa, sehingga infrastruktur menjadi pilihan utama.
Hal ini semakin diperparah dengan absennya bantuan teknis bagi desa-desa.
Dari 38 desa yang kami pelajari, hanya 42% yang mendapatkan bantuan teknis dalam menyiapkan dan menjalankan kegiatan yang disponsori oleh Dana Desa, sementara desa lain, 58%, tidak mendapatkan bantuan serupa.
Kami merekomendasikan agar pemerintah bisa mendukung penyediaan bantuan teknis, yaitu penyuluh, bagi setiap desa untuk peningkatan kesadaran akan dampak krisis iklim, serta cara melakukan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Para penyuluh tersebut merupakan orang-orang yang bisa memberikan informasi kepada penduduk desa, terutama pilihan kegiatan apa saja yang mereka bisa pilih dan bisa ditujukan sebagai bentuk adaptasi atau mitigasi dari dampak krisis iklim.
Mereka harus bisa menjelaskan apa saja dampak iklim yang berubah terhadap kehidupan mereka dan bagaimana mereka bisa bertahan.
Misalnya, mereka dapat menginformasikan kepada petani tentang risiko gagal panen dan menyiapkan petani tentang diversifikasi tanaman.
Peraturan baru
Sebagai upaya untuk lebih melibatkan masyarakat dalam perlindungan lingkungan hidup, maka pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan peraturan menteri yang membuka kesempatan agar dana desa bisa digunakan untuk program mitigasi iklim dan perlindungan lingkungan tahun 2018.
Dengan peraturan tersebut, pemerintah desa dapat mengalokasikan penggunaan Dana Desa dalam variasi kegiatan seperti: pemberantasan pembalakan liar, inovasi sumber energi terbarukan, pembangunan sarana irigasi dan sistem drainase, pengembangan bibit tanaman adaptif, akses informasi mengenai iklim, hingga konservasi sumber air.
Program-program tersebut, selain akan membantu target pemerintah RI untuk mengurangi emisi, juga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat desa.
Sayangnya, kurangnya penyebaran informasi dan promosi yang sesuai di desa-desa membuat visi dari peraturan tersebut masih belum maksimal.
Potensi di masa depan
Peraturan menteri yang bisa menyediakan porsi dana dari Dana Desa khusus untuk aksi iklim, yang ddiharapkan bisa membantu percepatan program untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Sebelumnya, dari tahun 2008 hingga 2012, pemerintah sudah mengeluarkan skema untuk mendanai program-program pro lingkungan melalui platform PNPM (Program Nasional Pendanaan Mandiri). PNPM ini dapat kita sebut pula sebagai cikal bakal program Dana Desa.
Dana dari PNPM disalurkan bersama-sama dengan bantuan teknis menyeluruh di delapan provinsi percontohan, termasuk Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kita bisa mengambil contoh dari Desa Bulunganyar, Pasuruan, Jawa Timur, yang berhasil mengurangi pengeluaran rumah tangga melalui program perlindungan lingkungan.
Pemerintah Desa Bulunganyar menggunakan Dana Desa untuk membangun sarana instalasi biogas yang akan menghasilkan gas yang digunakan untuk memasak. Satu instalasi biogas, yang berharga sekitar Rp22 juta, dapat menyalurkan gas ke lima rumah.
Masyarakat desa pun tidak lagi perlu membeli tabung gas untuk memasak dan hanya perlu membayar Rp7,500 sebagai biaya perawatan. Polusi sungai pun menurun karena kotoran hewan yang biasa dibuang ke sana sekarang menjadi sumber biogas.
Pemerintah sepantasnya menyiapkan anggaran untuk menyediakan bantuan teknis lapangan ke tiap desa. Tujuannya? Tentu agar cerita sukses Desa Bulunganyar bisa terulang di desa-desa lain di penjuru Indonesia.
Sebagai masyarakat biasa, kita pun bisa mulai berharap akan lahirnya berbagai inovasi lain yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat desa serta menjadi solusi bagi masalah perubahan iklim.
Stefanus Agustino Sitor menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.