Menu Close
Ilustrasi vlogger yang menjadi salah satu pilihan profesi anak muda. Pexels/Blue Bird

Dari potensi ‘bubble’ hingga eksploitasi: Menilik bisnis platform dan ‘gig economy’ yang digemari kawula muda

Ekonomi digital di Indonesia tengah mengalami fase penurunan, dengan semakin banyaknya startup (perusahaan rintisan) yang bangkrut dan merumahkan pegawai secara massal.

Lummo, Pahamify, dan iPrice merupakan platform yang baru-baru ini terpaksa menggencarkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Walaupun dampaknya belum dirasakan di Indonesia, raksasa marketplace asal Singapura, Shopee, juga dikabarkan menutup bisnisnya di berbagai negara dan mengakibatkan ribuan karyawan kehilangan pekerjaan.

Kekhawatiran akan munculnya krisis (bubble) perlu mendapat atensi publik dan pemerintah, utamanya mengenai dampaknya bagi pekerja muda Indonesia yang cenderung lebih suka bekerja lepas.

Belajar dari internet bubble pada tahun 1998-2000 – yang terjadi karena investasi berlebihan pada bisnis yang belum tentu untung dan menyebabkan hancurnya pasar saham – skala efek domino krisis kali ini bisa lebih luas dan masif.

Hal ini disebabkan karakteristik model ekonomi platform yang sangat bergantung kepada pekerja lepas atau (gig worker) dan inventasi pemodal ventura (venture capitalist). Pemodal ventura adalah seseorang yang berinvestasi pada sebuah perusahaan modal ventura, badan usaha yang mengurusi pendanaan dalam bentuk penyertaan modal.

Kami mencoba mengurai lebih lanjut permasalahan ekonomi platform dan mengidentifikasi langkah antisipasi yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan.

Pekerja gig: antara bonus demografi dan eksploitasi Generasi Z

Generasi Z yang lahir dan tumbuh berkembang bersama teknologi digital memahami internet sebagai tulang punggung masyarakat kontemporer dan melihat teknologi sebagai sendi kehidupan sosial dan ekonomi.

Laporan The Deloitte Global Millennial Survey pada 2019 menunjukkan bahwa 81% Generasi Z di dunia mempertimbangkan untuk berkecimpung sebagai pekerja di sektor gig economy. Alasannya, pekerja lepas atau informal dapat meningkatkan pendapatan, memiliki waktu bekerja yang sesuai keinginan, hingga diyakini lebih berprospek. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 menunjukkan lebih dari 33 juta tenaga kerja Indonesia mengais rezeki dari sektor gig economy.

Fenomena ini menyebabkan lahirnya berbagai profesi yang identik dengan kreativitas dan independensi tinggi seperti kreator konten, fotografer makanan, jurnalis warga, pemrogram, komedian stand-up, hingga layanan daring yang menyediakan ojek dan taksi (ride-hailing) seperti Gojek dan Grab. Semua profesi ini bergantung pada keberadaan platform digital.

Namun begitu, platform ekonomi digital tidak sepenuhnya berdampak baik.

Fenoma PHK besar-besaran oleh startup, bahkan yang berada pada level unicorn, membuktikan kerentanan industri ini.

Ada beberapa penyebab kegagalan startup: tak ada kebutuhan pasar, kehabisan dana, tim yang kurang handal, kalah berkompetisi, biaya tanggungan, produk yang tak menarik, model bisnis yang buruk, dan berbagai hal lainnya.

Makin kelam, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah menyatakan bahwa persoalan PHK ini tidak termasuk dalam ranah kementerian yang ia bawahi. Sebab, model pekerjaan di startup yang berbentuk kemitraan membuatnya tidak memiliki hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja.

Absennya hubungan industrial, yang di satu sisi punya nilai plus tertentu bagi para pekerja di sektor gig economy, harus mereka bayar dengan tiadanya pemasukan rutin dan berkala, jaminan hari tua, perlindungan asuransi, dan perkembangan karir yang terencana – yang umum didapat dalam pekerjaan formal.

Contoh lainnya, pada 2016, pendapatan pengemudi ojek daring bisa mencapai Rp 11 juta per bulan. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan layanan ride-hailing kala itu berkontribusi menurunkan angka pengangguran sebanyak 530.000 orang – tapi situasinya kini bergeser.

Driver ojol (ojek online) menghadapi masalah kompleks karena makin sulit mendapatkan penumpang, nilai bonus yang semakin turun, perubahan sistem yang membuat pembagian pesanan tidak merata, hingga pandemi COVID-19 yang terus menghantam.

Driver ojol juga masih berhadapan dengan persoalan struktural seperti eksploitasi, ketiadaan jenjang karir, pendapatan yang tidak pasti, jaminan keamanan pekerjaan yang tidak memadai, tunjangan sosial dan perlindungan hukum yang terbatas, ilusi fleksibilitas kerja dengan istilah “mitra”, hingga tidak terpenuhinya prinsip-prinsip kerja yang layak dan adil.


Read more: Pengemudi online ditekan, pemerintah membiarkan: persaingan turunkan tarif picu maraknya aksi protes


Menjamurnya bisnis platform: Peluang kewirausahaan atau eksploitasi pemodal ventura?

Posisi institusi bisnis dalam ekonomi platform adalah sebagai mediator (broker) yang menghubungkan beberapa pasar yang berbeda.

Peran mediator tentu tidak memerlukan modal masif seperti model bisnis manufaktur – yang membutuhkan pabrik, tanah, mesin, dan sebagainya. Perusahaan platform cukup membangun aplikasi marketplace yang menghubungkan beragam pihak.

Sebagai contoh, platform Gojek menjadi mediator untuk pengendara, penjual makanan, penjual jasa, supermarket, lembaga pembayaran, perusahaan telekomunikasi, dan bahkan layanan kesehatan. Gojek membuat ekosistem bisnis dengan peran utamanya sebagai penghubung dan kolektor data.

Model ekonomi platform dianggap dapat membuka peluang untuk pemberdayaan ekonomi melalui kewirausahaan, karena setiap orang bisa dengan mudah membangun bisnis dengan modal yang minim.

Sayangnya, yang jarang menjadi perhatian, hanya sedikit perusahaan startup yang berhasil. Kerap kali, wirausahawan membangun bisnis untuk sekadar ikut trend (bandwagon effect) tanpa memahami bisnis yang dilakukan apalagi visi untuk membaca pasar.

Menjamurnya startup juga didorong adanya pemodal ventura yang berlomba untuk menanamkan modal demi keuntungan jangka pendek. Mereka mengabaikan kelayakan finansial dan manfaat perusahaan untuk publik.

Logika spekulasi dalam menanamkan model menjadi risiko yang besar secara ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana tingkat kegagalan investasi startup menyentuh angka 75% hingga 90%.

Performa perusahaan teknologi. Wall Street Journal

Ekosistem bisnis platform yang bergantung pada pemodal ventura yang eksploitatif dan tidak dapat diprediksi membuat kegagalan investasi bisa menimbulkan krisis ekonomi yang meluas.

Perusahaan sebesar Tesla dan Twitter yang sudah menyerap investasi miliaran dolar Amerika Serikat (AS) hingga saat ini belum membuahkan untung. Jika kedua perusahaan tersebut gagal (default), imbasnya bisa menimpa pasar saham dan memengaruhi performa ekonomi global.

Kegagalan pasar otomotif Amerika Serikat yang mendorong krisis ekonomi 2008, bisa menjadi pembelajaran bahwa negara lah yang akan membayar kegagalan ekonomi melalui pajak masyarakat. Industri platform dunia yang kini valuasinya sebesar U$18,1 triliun (Rp 272.266 triliun), atau hampir 10 kali dari industri otomotif, bisa menjadi indikator parahnya krisis yang tercipta jika bubble benar-benar terjadi.

Krisis bisa meluas pada level lokal, regional, dan global.

Ironi ekonomi digital: ekstraksi keuntungan

Model ekonomi digital saat ini memiliki valuasi pasar yang besar. Bahkan, nilainya melampaui industri minyak dan manufaktur yang dominan pada era masyarkat industrial.

Nilai pasar dan jumlah pekerja dari 100 Perusahaan Terbesar tahun 2017. Statista

Data dari 100 perusahaan terbesar di dunia menunjukkan dominasi perusahaan teknologi dan platform (lihat gambar atas).

Sayangnya, kontribusi perusahaan-perusahaan ini untuk masyarakat sangatlah minim. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, pekerja lepas tidak memiliki jaring pengaman. Hingga kini belum ada regulasi untuk melindungi para pekerja lepas dari eksplotasi perusahaan platform.

Valuasi perusahaan yang mencapai status unicorn pun hanya dinikmati oleh elit perusahaan dan pemodal.

Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pembuat kebijakan. Pemerintah harus mengatur ketat pemerasan keuntungan dari gig worker dan menciptakan mekanisme bagi hasil yang adil dari perusahaan platform untuk berkontribusi bagi masyarakat.

Belum lagi, kegagalan akibat risiko bisnis besar bisa mengguncang ekonomi negara. Jangan sampai fenomena bail-out (penyelamatan) industri perbankan pada 1998 terulang, ketika kesalahan korporasi terpaksa menjadi tanggungan negara karena merasa industri tersebut “too big to fail” (terlalu besar untuk dibiarkan jatuh).

Mekanisme pajak tambahan terhadap perusahaan platform yang banyak menyerap dana dari pemodal ventura bisa menjadi salah satu mekanisme pelindung ekonomi ketika terjadi krisis. Sistem asuransi risiko perusahaan bisa menjadi langkah awal yang perlu diatur oleh pembuat kebijakan. Selain itu, regulasi untuk melindungi gig worker juga perlu diatur melalui undang-undang atau peraturan pemerintah terkait sektor pekerja industri platform.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now