Menu Close

Data Bicara: Perempuan takut ambil risiko di pasar saham hanyalah mitos belaka

Dalam dunia pasar modal, umum bagi khalayak untuk menerima bahwa jual beli saham adalah dunia laki-laki.

Sejumlah studi dari berbagai negara bahkan mengulas bahwa perempuan cenderung menghindari risiko, yang merupakan unsur penting dalam menghadapi likuiditas bursa saham. Selain itu, emosi dan kepercayaan diri seringkali dikaitkan dengan keinginan seseorang berinvestasi, dan temuan ini kerap mendiskreditkan keberanian perempuan untuk bermain saham. Belum lagi, perempuan dianggap inferior dalam literasi keuangan dan berada di bawah laki-laki dalam membuat keputusan keuangan rumah tangga, yang lagi-lagi membuat perempuan terkesan absen di bursa efek.

Temuan dari sebuah riset baru menyangkal hal ini.

Riset tersebut menelaah demografi pemegang saham LQ45 – atau 45 saham dengan kapitalisasi pasar tertinggi yang paling likuid diperdagangkan selama 12 bulan terakhir. Dengan pertimbangan kapitalisasi pasar dan likuiditas tersebut, saham-saham ini dianggap memiliki tingkat risiko yang cenderung stabil.

Jenis kelamin investor adalah salah satu yang menjadi pertimbangan demografi pemilik saham. Dengan asumsi bahwa perempuan takut mengambil risiko, hasil riset seharusnya menunjukkan bahwa perempuan cenderung memiliki proporsi saham LQ 45 lebih banyak daripada laki-laki, mengingat tingkat risikonya yang relatif terjaga.

Nyatanya, temuan dari studi tersebut – yang melibatkan 9.605 responden dari seluruh Indonesia – menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan diri dalam pengambilan risiko cenderung homogen antara laki-laki dan perempuan. Sebanyak 5.204 responden laki-laki dan 4.401 responden perempuan berpartisipasi dalam riset tersebut.

Temuan dari riset tersebut menunjukkan bahwa mayoritas investor laki-laki (55%) dan perempuan (53%) nyatanya hanya memiliki 0-20% saham LQ 45 dalam total kepemilikan (portofolio) saham mereka. Dengan perbedaan persentase yang sangat tipis, artinya, baik laki-laki maupun perempuan berani adu nyali dengan berinvestasi di saham-saham yang jauh lebih berisiko. Belum lagi, hanya 10% dari masing-masing jenis kelamin yang mendedikasikan asetnya untuk berinvestasi besar-besaran di saham-saham LQ 45 demi menjaga stabilitas portofolionya.

Antusiasme investor perempuan meningkat

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa nilai kepemilikan saham perempuan di pasar modal naik nyaris 30% selama tahun 2021, dari Rp 181 triliun di awal tahun menjadi Rp 234 triliun pada penghujung tahun. Hal ini membuktikan bahwa investor perempuan semakin terbuka terhadap investasi saham.

Sementara, kepemilikan aset perempuan mewakili 37% dari total saham di Bursa Efek Indonesia.

Menariknya, ibu rumah tangga menjadi salah satu profesi yang cukup diperhitungkan dalam kepemilikan pasar modal. Proporsi kepemilikan aset ibu rumah tangga meningkat dari 4,54% (Rp 5,65 triliun) pada April tahun lalu menjadi 6,01% (Rp 72,8 triliun) pada April tahun ini.

Meningkatnya investasi perempuan agaknya bukan fenomena yang eksklusif terjadi di Indonesia.

Dilansir dari situs resmi Nasdaq – perusahaan finansial yang mengendalikan tiga indeks saham di Amerika Serikat (AS) – hampir 67% perempuan di AS kini menginvestasikan asetnya di pasar saham. Hal ini merupakan kenaikan 50% dari tahun 2018, dan disinyalir merupakan efek dari pandemi COVID-19.

Stevanus Pangestu dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya berpendapat bahwa peningkatan partisipasi perempuan di pasar saham tidaklah mengejutkan, menimbang resesi ekonomi yang terjadi pada tahun pertama pandemi. Kondisi krisis dan jaga jarak sosial membuat perempuan mempertimbangkan kembali rencana keuangannya dan memutuskan untuk berinvestasi dalam menghadapi kondisi yang penuh ketidakpastian.

“Mereka yang sudah berkeluarga mungkin mulai berkecimpung atau meningkatkan intensitasnya untuk mendukung keuangan rumah tangga. Kemudian dikarenakan pembatasan sosial, ada juga pihak-pihak beruntung yang memiliki lebih banyak ‘uang nganggur’ karena tidak digunakan untuk leisure activities (aktivitas bersenang-senang) seperti traveling,” ujar Stevanus.

Kesenjangan literasi keuangan selama ini menjadi batu ganjalan bagi perempuan untuk berkecimpung di pasar modal. Namun, seiring meningkatnya tingkat edukasi dan pendapatan, serta dengan masuknya berbagai platform keuangan digital yang menyediakan akses inklusif bagi investor, perempuan pun semakin mendapat akses menjadi pialang saham.

Stevanus berpendapat bahwa ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjaga momentum antusiasme investor perempuan, di antaranya adalah penyelenggaraan program literasi keuangan dan perancangan produk investasi untuk kebutuhan perempuan, yang dipasarkan secara terfokus kepada mereka. Dari sisi bisnis, penguatan keuangan mikro dapat membantu pengembangan bisnis usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), yang dapat membantu menyukseskan usaha dan menambah arus kas untuk berinvestasi. Menutup kesenjangan penghasilan antara perempuan dan laki-laki juga penting dalam membuka akses perempuan ke instrumen investasi seperti saham.

Performa investor perempuan tidak kalah dari investor laki-laki

Stevanus mengungkapkan bahwa walaupun literatur tentang perilaku investor perempuan masih terus berkembang, studi yang ada sekarang menunjukkan investor perempuan berpikir lebih holistik, intuitif, dan melakukan riset lebih mendalam sebelum mengambil putusan.

Akan tetapi, ketika perempuan memutuskan terjun ke dunia saham, prospek keuntungannya bisa lebih baik dari investor laki-laki. Hasil studi Fidelity Investments, perusahaan jasa keuangan multinasional asal AS, menunjukkan bahwa investasi yang dilakukan investor perempuan selama periode Januari 2011-Desember 2020 menghasilkan imbal hasil positif sebesar 40 basis poin atau 0.4% di atas investor laki-laki. Strategi dan kesabaran menjadi kunci di balik kesuksesan ini, dan menunjukkan bahwa perempuan pun bisa sukses di dunia saham yang dikenal penuh dengan jargon-jargon maskulinitas.

Jadi, kata siapa perempuan tidak piawai bermain saham?

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,400 academics and researchers from 4,954 institutions.

Register now