Menu Close
Akademisi UGM sampaikan Petisi Bulaksumur soal dinamika perpolitikan nasional . Firsto/Universitas Gadjah Mada.

Demi merawat demokrasi, universitas mesti bebas dari intervensi pemimpin negara yang otoriter

Setelah beberapa universitas di Indonesia menyampaikan deklarasi terkait Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang dianggap gagal menjaga netralitas Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, sejumlah rektor mengaku menerima intervensi dari beberapa pihak.

Berbagai bentuk intervensi kebebasan akademik universitas tidak jarang terjadi di Indonesia, mulai dari ancaman dan intimidasi, hinggga pembubaran diskusi dan seminar. . Terbaru, muncul pelarangan nonton bareng film dokumenter investigasi Dirty Vote, yang mengungkap kecurangan pemilu 2024.

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengungkap bahwa Indonesia menunjukkan tanda-tanda semakin otoriter. Ini contohnya terlihat dari makin masifnya pembatasan kebebasan sipil melalui UU ITE, pengabaian kekerasan terhadap aktivis, hingga pelanggaran komitmen demokrasi dengan adanya conflict of interest Jokowi yang ingin terlibat atau “cawe-cawe” dalam Pemilu.

Otoritarianisme ditandai dengan tingginya keinginan negara untuk mengontrol masyarakat, dengan membatasi kebebasan individu dan institusi, untuk menjaga kekuasaan dalam tangan mereka sendiri

Menurut Ernesto Gallo, Profesor Hubungan Internasional dari University of Birmingham, Inggris, yang biasanya terjadi di negara demokrasi adalah “neoliberalisme otoriter”. Artinya, pemerintah bisa menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal, tetapi sembari membatasi kebebasan politik dan sipil. Hal ini dapat dilihat dalam konteks UU Cipta Kerja (Omnibus) di Indonesia, yang mempermudah investasi asing, namun memangkas hak-hak buruh.

Studi Kirsten Roberts Lyer dan Aron Suba dari UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) menemukan bukti-bukti tindakan pemerintah yang restriktif dan represif terhadap universitas di lebih dari 60 negara. Termasuk di antaranya campur tangan struktur kepemimpinan dan tata kelola universitas, kriminalisasi dan pemecatan akademisi, sekuritisasi kampus, intimidasi keluarga, pembatasan pemberian jatah hibah dan beasiswa, hingga sensor buku dan publikasi topik tertentu.

Pembatasan kebebasan akademik di berbagai negara

Indonesia tidak sendirian. Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan otoritarianisme juga meningkat di berbagai belahan dunia.

Di Turki, 5.000 akademisi dan 33 ribu guru kehilangan pekerjaan, ratusan profesor dan lulusan bergelar magister dan doktoral dipenjara karena terlibat dalam aksi protes pemerintah hingga dituduh berafiliasi dengan pencobaan kudeta presiden.

Di Hungaria, pemerintah melarang pengajaran mata kuliah studi gender hingga mengambil alih kontrol penuh terhadap Hungarian Academy of Social Science.

Sementara di Israel, terdapat undang-undang antimasyarakat sipil dan universitas yang bertujuan untuk menghentikan dan meminimalkan protes terhadap pemerintah.

Dampak otoritarianisme terhadap universitas

Universitas yang beroperasi di bawah intervensi pemerintah yang otoriter sering menghadapi tantangan dalam menjaga kebebasan dan kemandirian akademik dalam riset, sumber daya, hingga kurikulum. Hal ini berdampak negatif pada kemampuan akademisi untuk mempertahankan kebebasan akademik dan menegakkan integritas kelembagaan.

Beberapa pemimpin negara bagian di AS melarang pengajaran teori kritis tentang rasisme dan seksisme, hingga membuat hotline atau situs web untuk melaporkan tenaga pengajar yang melanggar. Aturan pemerintah yang sangat keras ini dilakukan agar universitas negeri fokus untuk mempromosikan sejarah dan filosofi peradaban Barat daripada peradaban ras yang lain.

Penelitian telah menunjukkan bahwa kebijakan negara yang sering mengintervensi kebebasan akademik dapat menimbulkan rasa takut dan sikap diam yang defensif di antara kalangan dosen dan mahasiswa, sehingga menghambat daya kritis dan kreativitas di lingkungan universitas.

Selain itu, pembatasan terhadap masyarakat sipil secara tidak langsung dapat memengaruhi universitas yaitu dapat membatasi peluang untuk kolaborasi, pendanaan, dan advokasi pada isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian.

Universitas harus terus merawat demokrasi

Sebagai pusat pengetahuan, inovasi, dan pemikiran kritis, universitas perlu mengambil berbagai langkah strategis untuk mendukung demokrasi dan melawan upaya pemerintah dalam membatasi kebebasan akademis dan sipil.

Bagaimana caranya?

1. Pendidikan dan penelitian

Universitas dapat menggunakan peran sebagai pusat penelitian dan pendidikan untuk menganalisis dan mengkritik kebijakan pemerintah yang otoriter. Melalui konferensi, publikasi, dan diskusi akademik, universitas juga dapat menyediakan platform untuk kritik intelektual dan pengembangan ide-ide alternatif.

Dari segi mahasiswa, universitas memainkan peran penting dalam mendidik mahasiswa tentang nilai-nilai demokrasi, kritis terhadap informasi, dan pentingnya partisipasi sipil dalam pemerintahan. Ini dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan jangka panjang terhadap otoritarianisme.

2. Aktivisme

Kevin Herbian/shutterstock.

Mahasiswa dan dosen di Indonesia memiliki sejarah panjang keterlibatan dalam gerakan sosial politik untuk menentang pemerintahan otoriter. Demonstrasi, mogok kuliah, dan bentuk protes lainnya sering digunakan untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap kebijakan otoriter.

Dengan kemajuan teknologi, aktivisme melalui universitas dan sivitas akademika bisa menggunakan platform digital untuk menyebarkan informasi, mengorganisir protes, dan membangun jaringan solidaritas untuk menghindari sensor pemerintah.

Salah satu universitas di Turki, misalnya, mencari dukungan internasional melalui petisi dan surat terbuka sebagai respons atas tindakan pemerintah Turki yang melakukan pemecatan besar-besaran terhadap akademisi yang dituduh terlibat upaya kudeta 2016.

3. Kerja sama internasional

Universitas dapat mencari dukungan dan solidaritas dari mitra internasional untuk melawan tekanan dari pemerintah otoriter. Ini bisa melalui pernyataan bersama, pertukaran akademisi, dan kolaborasi penelitian yang menunjukkan dukungan untuk kebebasan akademis.

Hal ini pernah dilakukan oleh universitas-universitas di Belarus untuk merespons tindakan keras pemerintah yang memecat akademisi yang berpartisipasi dalam protes massal. Mereka mencari dukungan internasional untuk memberikan beasiswa pada para akademisi, dan membuat platform agar mereka terus mengajar dan melakukan penelitian.

4. Penyelesaian perselisihan hukum

Setiap lembaga pendidikan tinggi memilih cara yang berbeda-beda dalam merespons fenomena pemerintahan otoriter. Beberapa universitas mungkin mengambil posisi yang lebih aktif dalam menentang kebijakan atau tindakan yang dianggap otoriter, sementara yang lain mungkin memilih untuk pasif atau bahkan terpaksa mendukung, tergantung pada tekanan politik dan kebutuhan lembaga.

Di beberapa kasus, universitas mungkin memilih untuk beradaptasi dengan kondisi politik untuk memastikan kelangsungan operasional mereka. Ini bisa berarti menghindari kritik langsung terhadap pemerintah atau mematuhi beberapa kebijakan yang dianggap kontroversial.

Namun, profesor dan mahasiswa sebenarnya bisa mengajukan gugatan hukum terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah yang dianggap melanggar konstitusi atau hak-hak akademis. Misalnya melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi jika tindakan pemerintah dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Akademisi dan Mahasiswa juga dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk kebijakan atau tindakan yang bersifat pelanggaran administratif.PTUN mengadili sengketa antara orang atau badan hukum dengan badan atau pejabat pemerintah dalam konteks tata usaha negara.

Dengan mengambil langkah-langkah ini, universitas tidak hanya melindungi dan memperkuat fondasi demokrasi di dalam kampus tetapi juga berkontribusi pada masyarakat yang lebih luas. Kita mesti belajar dari pengalaman, penanganan Pandemi COVID-19 yang terlambat karena pemerintah mengabaikan analisis akademisi, pakar dan peneliti. Universitas sudah seharusnya menjadi pusat kekuatan dalam merawat demokrasi yang bebas intervensi dan menyelamatkan bangsa ini dari bencana.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now