Menu Close

Demokrasi langsung seperti referendum tidak selalu lebih baik

demokrasi langsung.

Pada bulan Agustus tahun 2022 ada sebuah referendum yang dilakukan di negara bagian Amerika serikat yaitu Kansas. Referendum ini mengundang banyak penolakan dari warga setempat khususnya mengenai rencana untuk memasukkan “istilah anti-aborsi” ke dalam konstitusi negara bagian Kansas. Hal ini menjadi salah satu bagian di tengah keputusan-keputusan yang serupa yang akan dibuat mengenai isu hak aborsi di beberapa bulan ke depan. Kumpulan kasus ini terjadi setelah Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan putusan penting Roe v Wade.

Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah referendum dan inisiatif rakyat adalah hal baik untuk demokrasi? Pertanyaan ini mungkin tampak seperti pertanyaan yang aneh untuk diajukan terutama di masa pada saat banyak orang merasa demokrasi sedang terancam baik di Amerika Serikat (AS) maupun di seluruh dunia.

Sebagai seseorang peneliti isu demokrasi, saya tahu jawabannya tidak sederhana itu. Jawabannya sangat tergantung pada jenis inisiatif dan alasan mengapa hal itu diadakan.

Sebagai penjelasan awal, referendum dan inisiatif rakyat adalah mekanisme dari demokrasi langsung di mana anggota masyarakat memberikan suara pada isu-isu yang diputuskan secara bersama di dalam sistem perwakilan baik itu legislatif maupun pemerintah. Sebuah referendum biasanya dilakukan oleh pemerintah yang mengajukan pertanyaan yang akan di jawab pada pemungutan suara, Sementara itu inisiatif rakyat – lebih umum terjadi di tingkat negara bagian di AS dan pemungutan suara berasal dari luar pemerintahan serta biasanya didorong dengan petisi.

Chicago Center on Democracy, sebuah organisasi di Universitas Chicago yang saya pimpin, baru-baru ini meluncurkan situs web yang melacak banyak dinamika dari implementasi demokrasi langsung selama setengah abad terakhir ini.

Demokrasi langsung: menolong masyarakat atau membalaskan dendam?

Fakta bahwa mayoritas negara demokrasi masih mempertahankan bentuk demokrasi langsung adalah bukti legitimasi suara rakyat yang didengar, walaupun kenyatannya, sebagian besar keputusan yang dibuat diputuskan oleh para pemimpin kita. Seringkali, pemerintah nasional menyerukan referendum untuk menanyakan pertanyaan dan isu yang penting kepada warganya.

Lalu mengapa pemerintah memutuskan untuk menyerahkan suatu keputusan di tangan rakyat?

Dalam beberapa kasus ternyata mereka tidak mempunyai pilihan. Beberapa negara seperti Australia mengharuskan amandemen konstitusi untuk disetujui terlebih dahulu dalam referendum.

Dalam kasus lain, suara semacam itu bersifat opsional. Contohnya ketika Perdana Menteri Inggris David Cameron tidak berkewajiban untuk melakukan referendum 2016 mengenai kelanjutan keanggotaan Uni Eropa (UE) Inggris. Contoh lain bisa kita lihat pada saat Presiden Kolombia Juan Manuel Santos mendapat banyak dukungan legislatif saat ingin meratifikasi kesepakatan damai dengan kelompok pemberontak melalui putusan kongres. Tapi pada akhirnya dia menyerahkan keputusan final itu kepada rakyatnya.

Referendum di UK adalah contoh demokrasi langsung
Referendum yang menjadi senjata makan tuan bagi Perdana Menteri David Cameron. Brian Lawless/PA Images via Getty Images

Salah satu alasan mengapa para pemimpin negara secara sukarela menempatkan keputusan mengenai isu-isu penting di tangan para pemilih adalah untuk menyelesaikan perselisihan di dalam partai politik mereka sendiri. Pemungutan suara Brexit adalah contoh kasusnya. Partai Konservatif Inggris pada saat itu sangat terbelah opininya atas keanggotaan Inggris di UE dan seperti yang kemudian diakui Cameron dalam memoarnya, posisinya sebagai kepala partai dan perdana menteri pada saat itu memang sedang terancam.

Dalam hal ini, pemerintah pada dasarnya menggunakan rakyatnya sebagai “wasit” untuk memutuskan perselisihan internal. Ini tentu saja langkah berisiko tinggi. Bagi Cameron, langkah ini ternyata membuatnya harus turun dari jabatan perdana menteri inggris. Dan ironisnya, enam tahun kemudian Inggris masih harus berurusan dengan efek domino yang buruk dari hasil pemilihan suara itu.

Terkadang, para pemimpin negara akan mencari dukungan publik pada isu-isu yang mereka prediksi akan dikritik banyak oleh oposisi mereka. Presiden Santos (Kolombia) telah memprediksi akan ada banyak pandangan oposisi dari rencana perdamaian itu, termasuk oposisi dari orang-orang kaya Kolombia. Dia menggunakan rakyat sebagai kekuatannya untuk melindungi kebijakan tersebut. Tetapi sayang sekali strategi itu menjadi bumerang. Colombia accord dikalahkan dan sejak keputusan itu diputuskan, banyak sekali upaya-upaya untuk mengimplementasikan perjanjian itu berhadangan dengan perlawanan kuat dari oposisi.

Tetapi apakah dua contoh ini menggambarkan kelemahan fatal dari referendum dan demokrasi langsung? Mungkin tidak.

Meskipun beredar banyak disinformasi sebelum kedua pemungutan suara itu dilakukan, hasil dari kedua itu sebenarnya mencerminkan preferensi rakyat dengan cukup akurat. Selain itu, hasil final dari kedua isu di atas juga memberikan pembelajaran bahwa memberikan pengambilan keputusan atas isu-isu penting kepada rakyat itu tidak selalu memberikan hasil yang menyenangkan.

Sayangnya, ketika sebuah referendum gagal, hal ini dapat dimanfaatkan pihak lain untuk memberikan efek yang buruk terhadap isu tersebut. Misalnya, Ketika Brasil mengadakan referendum mengenai pembatasan kepemilikan senjata pada tahun 2005 dan hasilnya gagal. Presiden Jair Bolsonaro yang anti akan pembatasan kepemilkan senjata menggunakan kegagalan ini untuk melonggarkan pembatasan senjata api, mengklaim bahwa kegagalan referendum memperbolehkan ia untuk melakukannya.

Demokrasi langsung bisa menjadi alat demagogi

Namun, terkadang perdana menteri atau presiden memang bisa menjadi pihak pemenang dalam suatu referendum. Contohnya ketika semacam referendum dilakukan di Australia pada tahun 2017 untuk menekan badan legislatif agar melegalkan pernikahan sesama jenis. Politikus konservatif dengan menggunakan logika “wasit” yang sama seperti kasus Brexit bersedia mengadakan pemungutan suara. Walaupun mereka menentang pernikahan sesama jenis mereka tetap ingin mengikuti kehendak publik daripada terus memperpanjang masalah yang sangat memecah belah secara internal partai ini.

Pada akhirnya perdana menteri yang merupakan pendukung pernikahan sejenis, memilih untuk survei pos daripada referendum formal. Langkah yang diambil pemimpin Australia ternyata berhasil, mayoritas suara yang sangat besar menyatakan dukungan terhadap pernikahan sesama jenis.

Belajar dari setiap permasalahan ala Kolombia yang ada, di mana seorang pemimpin mengadakan referendum opsional tetapi gagal, kita dapat menyarankan pada pemerintah untuk menyelesaikan masalah lewat pemungutan suara populer agar menghasilkan hasil yang punya kekuatan dan menang. Persetujuan publik dapat membuat suatu kebijakan kebal terhadap atau setidaknya melemahkan oposisi di kemudian hari. Cara ini termanisfestasi dalam kasus pernikahan sesama jenis di Irlandia yang disahkan melalui referendum pada 2015. Tahun berikutnya, Irlandia menyelesaikan masalah mengenai akses aborsi, membatalkan larangan dengan mayoritas suara dua pertiga.

Referendum tidak hanya digunakan oleh para pemimpin demokratis tetapi juga oleh para otokrat dan demagog. Presiden Rusia Vladimir Putin menempatkan serangkaian reformasi konstitusional di hadapan para pemilih pada tahun 2020, salah satu isu yang berhasil dihasilkan adalah penghapusan aturan batas masa jabatan Putin sebagai presiden.

Tuduhan adanya penipuan dan intimidasi menjamur setelah dilakukannya pemungutan suara itu, sebuah situasi yang sangat kecil kemungkinannya terjadi di sebuah negara yang melanggengkan demokrasi langsung dan menjunjung tinggi aspirasi masyarakat.

Demokrasi langsung mendorong kebijakan agar sesuai dengan keinginan orang-orang

Tidak ada yang namanya referendum nasional di Amerika Serikat (AS). Tetapi pemilih di Amerika memiliki banyak pengalaman dengan inisiatif dan juga dengan referendum di tingkat negara bagian. Suara-suara ini berpotensi memaksa pemerintah untuk mengikuti keinginan pemilih di dalam kasus-kasus di mana para legislator menolak kebijakan populer.

Namun, beberapa masalah dapat muncul dari praktik ini di dalam negara yang menerapkan demokrasi langsung. Meskipun mungkin aspirasi-aspirasi itu adalah inisiatif rakyat, pengaruh partai politik; pihak berkepentingan; pelobi; dan uang besar dapat mengubahnya menjadi sesuatu yang sangat berbeda, seperti yang terjadi di California pada 1990-an dimana kepuasan publik menurun dalam dinamika pembuatan inisiatif rakyat tersebut.

Tetapi akhir-ahkir ini sepertinya kita telah melihat rangkaian inisiatif rakyat yang tampaknya lebih menjanjikan di mana, mayoritas warga menuntut agar badan legislatif negara bagian mereka masing masing untuk membawa kebijakan yang lebih sejalan dengan opini publik. Contohnya seperti pemilih di Florida yang menyetujui hak suara bagi para mantan narapidana, Pemilih di Arizona yang menyetujui anggaran lebih besar untuk sekolah umum, pemilih di Missouri yang memaksa anggota legislatif yang enggan untuk memperluas pusat kesehatan di negara bagian mereka. Semua inisiatif ini didukung oleh dukungan publik yang populer.

Baru-baru ini, warga Kansas mengatakan “tidak” dalam referendum yang berupaya untuk memasukkan istilah pro-life ke dalam konstitusi negara mereka.

‘Biarkan rakyat yang memutuskan!’

Potensi berhasilnya mekanisme demokrasi langsung dalam meningkatkan representasi warga negara akan bergantung pada konteks di mana mereka diadakan, termasuk cara mereka menempatkan isu yang ada dan motif yang membuat mereka menempatkan isu itu di kotak pemilihan suara.

Di satu sisi ada autokrat ektrim seperti Putin yang sering mengadakan pemilihan suara untuk menambah kekuasaan dan lama masa jabatannya. Di sisi lain ada warga negara yang frustrasi terhadap legislator yang kebijakannya jauh dari yang diingini publik. Di antara dua sisi itu ada pemerintah yang ingin menghasilkan kebijakan dengan bantuan dukungan rakyat dan partai-partai yang mengangkat tangan mereka di tengah-tengah perpecahan internal dan berkata, “Biarkan rakyat yang memutuskan.”

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now