Pandemi COVID-19 yang berkelanjutan dan belum tertangani dengan baik membuat Indonesia terancam memasuki yang namanya depresi ekonomi, atau kemunduran ekonomi (resesi) yang terjadi selama satu tahun atau lebih.
Negara dengan penduduk terbesar ke-empat di dunia dengan 273,9 juta orang telah jatuh ke jurang resesi pada dua triwulan sebelumnya secara berturut-turut yaitu -5,32%,dan -3,49%, pada triwulan ke-dua dan ke-tiga. Pada triwulan ke-empat pun masih terkontraksi -2,19%.
Jika pada triwulan pertama tahun ini pertumbuhan ekonomi masih terkontraksi, maka Indonesia akan semakin dekat dengan era depresi ekonomi karena artinya sudah setahun terjebak di resesi.
Untuk itu kami bertanya kepada dua peneliti untuk mencari tahu dampak yang akan terjadi jika depresi benar-benar terjadi.
Pemulihan ekonomi yang lebih lama
Menurut Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dampak yang terjadi jika depresi benar-benar terjadi dan berlangsung lama akan cukup menakutkan.
“Kalau depresi terjadi dampaknya bisa mengulang seperti tahun 1930, terjadi kelaparan massal karena daya beli anjlok, pengangguran naik signifikan dan runtuhnya berbagai sektor khususnya yang padat karya,” ujar Bhima.
Dengan kondisi saat ini, Indonesia juga bisa mengalami pemulihan ekonomi yang lebih lama dengan kurva berbentuk huruf K atau K shaped recovery.
Ini terjadi karena sektor usaha yang pulih tidak merata. Ada yang bisa pulih dengan cepat karena usahanya bisa memanfaatkan situasi pandemi dan ada yang terpuruk dan belum bisa bangkit.
“Misalnya sektor yang pulih cepat salah satunya perkebunan, pertambangan, atau yang berkaitan komoditas ekspor dan ekonomi digital. Sementara pariwisata hotel, restoran, transportasi cenderung mengalami penurunan konsisten. Belum ada tanda pariwisata pulih dalam waktu dekat meski ada vaksinasi,” jelas Bhima.
Menurut Bhima, Indonesia masih bisa selamat dari jatuh ke lubang depresi jika fokus penanganan krisis kesehatan bisa berjalan dengan optimal dan wabah COVID-19 bisa terkendali lebih cepat.
“Masalah utama ekonomi Indonesia saat ini adalah rendahnya konsumsi masyarakat di dalam negeri karena ketidakpercayaan akan penanganan pandemi oleh pemerintah,” ungkap Bhima.
Risiko meningkatnya angka kemiskinan
Ridho Al Izzati, peneliti dari SMERU Research Institute, menjelaskan dampak depresi pada kenaikan angka kemiskinan karena tingkat kemiskinan tergantung dari pertumbuhan ekonomi secara total.
“Jika terjadi kontraksi maka akan berdampak terhadap peningkatan tingkat atau jumlah orang miskin, terlepas dari sebagian sektor mampu pulih dengan baik dan yang lain tidak,” kata Ridho.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan September 2020 itu mencapai 10,19% naik dari kondisi di awal pandemi yaitu 9,78% di Maret 2020.
“Angka ini lebih rendah dari yang kami estimasi yakni 12,4% jika pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi -2%,” ungkap Ridho.
Ini kemungkinannya adalah salah satu indikasi jika usaha pemerintah dalam meredam peningkatan tingkat kemiskinan (atau jumlah orang miskin) melalui program pemulihan ekonomi seperti bantuan sosial, berhasil memberikan pengaruh ke masyarakat, terutama kepada masyarakat miskin.
Kondisi kemiskinan tahun 2021 tergantung kepada pemulihan ekonomi secara keseluruhan (baik sektor utama seperti kesehatan, maupun sektor penting yang lain).
Data kemiskinan terbaru akan tercermin pada data bulan Maret 2021 dan itu tergantung kepada pertumbuhan ekonomi di triwulan pertama 2021 dan respons pemerintah dalam menyasar penduduk rentan melalui bantuan sosial (bansos).
“Jika ekonomi masih terkontraksi (minus atau nol persen), kemungkinan tingkat kemiskinan tidak akan berubah atau malah mungkin mengalami kenaikan,” ujar Ridho.
Jika ekonomi lebih lama pulih (atau pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari kondisi sebelum pandemi), maka akan memperparah kemiskinan atau setidaknya mengalami stagnasi. Hal ini membuat usaha penurunan tingkat kemiskinan di masa depan menjadi lebih sulit.
Pemerintah harus fokuskan anggaran dan bantuan
Menurut Ridho, pemerintah harus bergerak cepat melakukan pemulihan secara keseluruhan.
“Tidak ada alasan untuk tidak menangani pandemi secara cepat dan tepat, selain 3M, kita berharap banyak pada pelaksanaan vaksinasi,” kata Ridho.
Pada saat yang sama menurut Ridho, pemerintah juga harus mempertahankan program bantuan sosial (baik ke rumah tangga ataupun ke usaha mikro, kecil, dan menengah), jika perlu cakupan dan nilai bantuannya ditambah.
Senada dengan Ridho, Bhima juga menyarankan pemerintah untuk memfokuskan anggaran jika depresi benar-benar terjadi.
“Mau atau tidak mau pemerintah harus menggeser semua anggaran ke pemulihan ekonomi dan kesehatan. Porsi stimulus terhadap ekonomi indonesia masih kecil sekali hanya 5%,” ujar Bhima.
Menurut Bhima, untuk menambah anggaran untuk stimulus ekonomi, sebaiknya pemerintah segera melakukan perubahan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 dengan mengalihkan anggaran lebih besar untuk bantuan subsidi kepada yang membutuhkan, misalhnya para pelaku usaha mikro.
“Dengan asumsi Rp 5 juta per pelaku usaha dan 15 juta penerima, biayanya hanya butuh Rp 75 triliun. Kapasitas fiskal kita masih sanggup untuk menambah porsi stimulus terhadap PDB [produk domestik bruto] atau ekonomi,” tutup Bhima.