Menu Close
Pencairan JHT sebelum aturan baru diberlakukan. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/wsj

Di tengah fleksibilitas sistem kerja dan pandemi COVID-19, pekerja semakin perlu akses JHT sebelum pensiun

Aturan ketenagakerjaan baru, yang mengatur pembatasan penarikan dana Jaminan Hari Tua (JHT) hanya ketika pekerja sudah memasuki usia 56 tahun, tidak relevan dengan situasi ketenagakerjaan saat ini.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT (selanjutnya disingkat Permenaker 2/2022) sama sekali tidak menjawab persoalan yang dihadapi oleh mayoritas pekerja yang tengah bergumul dengan pandemi dan hanya mempersulit kehidupan mereka.

Dalam peraturan yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada 4 Februari silam, dana JHT — salah satu layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK) — hanya dapat diklaim seluruhnya oleh pekerja setelah pensiun.

Sementara, dalam peraturan lama yang disahkan tahun 2015, dana JHT bisa dicairkan tanpa batas usia, sepanjang peserta mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Perubahan ini didasarkan pada anggapan bahwa selama ini program tersebut tidak tepat sasaran. BPJS TK pernah melapor kepada DPR bahwa hingga Desember 2021, hanya 3% pekerja yang mengambil JHT di hari tua mereka. Bagi Ida, “klaim JHT seharusnya tidak dilakukan pada masa hari tua belum tiba.”

Masyarakat pekerja bereaksi keras. Saat artikel ini ditulis, petisi yang menolak Permenaker 2/2022 telah ditandatangani oleh lebih dari 400 ribu orang.

Bagaimana tidak, selama ini JHT — yang iurannya dibayar oleh pekerja setiap bulan selama bekerja — menjadi jaring pengaman untuk bertahan hidup ketika terkena PHK, dipecat, diberhentikan, atau (dipaksa) mengundurkan diri dari tempat kerja.

Dana JHT kian terasa manfaatnya di tengah pandemi COVID-19, yang membuat ratusan ribu orang mengalami PHK. Klaim JHT sampai akhir 2021 diperkirakan mencapai Rp 40,61 triliun, lebih banyak dari perkiraan yang sekitar Rp 34,59 triliun.

Rezim Tenaga Kerja Fleksibel

Situasi ketenagakerjaan saat ini dapat dilihat dari apa yang dijadikan dalih pembuatan Permenaker 2/2022: hanya 3% pekerja yang mengambil JHT di hari tua, sementara sisanya mengklaim karena mengundurkan diri (55%) dan mengalami PHK (36%).

Di tengah kian masifnya fleksibilitas dalam pasar tenaga kerja (labour market flexibility/LMF) yang kini menjadi rezim kerja utama di seluruh dunia, semakin banyak masyarakat yang bekerja dengan status kontrak singkat melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), outsourcing atau alih daya, dan berbagai status pekerja lepas lainnya.

Dalam banyak kasus, para pekerja ini tidak juga diangkat menjadi pekerja tetap dengan kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dengan kata lain, semakin sedikit pekerja berstatus pegawai tetap yang dapat bekerja di sebuah perusahaan hingga memasuki usia pensiun.

Maka, merupakan hal yang masuk akal jika hanya 3% pekerja mengambil dana JHT pada usia pensiun atau memasuki usia 56.

LMF merujuk pada sistem yang memungkinkan perusahaan untuk merespon situasi pasar dengan cepat dengan memodifikasi tenaga kerjanya. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dunia usaha, di antaranya dengan memangkas biaya-biaya lewat pengurangan masa kerja.

Setelah meneken perjanjian dengan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) pada 18 Maret 2003, Indonesia resmi mengadopsi LMF ke dalam regulasi, di antaranya melalui UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya mengatur sistem kerja kontrak dan outsourcing.

Semakin meningkatnya sistem kerja kontrak, outsourcing, serta sistem kerja lepas lain adalah konsekuensi pertama dari penerapan LMF. Dengan cara ini, perusahaan tidak perlu lagi sepenuhnya memikirkan pesangon dengan jumlah yang besar, sebab besaran uang pesangon didasarkan pada lamanya waktu kerja.

Konsekuensi kedua adalah pekerja menjadi semakin sulit untuk sekadar bergabung ke serikat di tempat kerja mereka, yang berfungsi untuk membela hak-hak normatif pekerja. Hal ini karena mereka direkrut untuk jangka waktu yang pendek serta dapat diberhentikan atau dipecat kapan saja.

Ketiga, berbagai jaminan atau perlindungan sosial yang seharusnya dimiliki pekerja pun semakin berkurang dan bahkan menghilang. Semua ini membuat mereka hidup dalam kondisi yang dipenuhi dengan kerentanan.

Patut diingat bahwa BPJS (baik kesehatan maupun ketenagakerjaan) — yang hadir setelah Indonesia menerapkan LMF — merupakan jaminan sosial yang muncul karena adanya desakan yang masif dari gerakan buruh, terutama lewat Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) yang dibentuk pada 2010 lalu. Perlu diingat pula, sebagian pembayaran BPJS ditanggung pekerja dan tidak sepenuhnya ditanggung pengusaha.

Di tengah situasi ketenagakerjaan yang demikian, para pekerja dengan kontrak kerja yang singkat menggunakan dana BPJS TK (termasuk dana JHT) sebagai jaring pengaman selama berusaha mendapatkan pekerjaan berikutnya.

Di bawah rezim kerja yang dipenuhi kerentanan ini, satu-satunya jaminan sosial paling mudah dijangkau adalah BPJS, termasuk BPJS TK yang, sekali lagi, berasal dari iuran pekerja setiap bulannya.

Kehadiran BPJS TK semakin mendesak di tengah pandemi COVID-19 ini karena PHK yang semakin meningkat dan membuat kebutuhan akan dana JHT semakin tinggi.

Maka, adalah keputusan keliru ketika satu-satunya jaring pengaman itu justru dihambat aksesnya. Lagipula, pemerintah sudah memiliki program Jaminan Pensiun (JP) yang akan dibayarkan tiap bulan ketika pekerja memasuki masa pensiun.

Pemerintah beralasan ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai jaring pengaman yang lebih tepat bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Namun, terdapat beberapa problem terkait JKP, yang merupakan produk turunan dari Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja ini.

Pertama, JKP hanya berlaku bagi pekerja yang mengalami PHK. Sementara, saat ini lebih banyak pekerja diminta untuk mengundurkan diri daripada di-PHK secara resmi.

Hal ini merupakan salah satu modus dunia usaha untuk menghindari biaya pesangon yang harus mereka bayarkan.

Kedua, pernyataan pemerintah bahwa dana JKP dapat langsung diklaim begitu pekerja mengalami PHK luput mempertimbangkan kasus-kasus PHK yang masih harus melewati banyak proses, termasuk proses hukum di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang memakan waktu lama.

Artinya di sini, baik Permenaker 2/2022 atau JKP tidak serta merta dapat menjawab persoalan yang dihadapi mayoritas pekerja.

Apa yang paling dibutuhkan oleh pekerja saat ini memang perubahan mendasar yang bersifat struktural dalam sistem ketenagakerjaan yang selama ini dipimpin oleh rezim LMF. Namun, tentu itu merupakan tujuan jangka panjang.

Dalam jangka pendek, alih-alih mengeluarkan regulasi yang mempersulit kehidupan pekerja, pemerintah sebaiknya menyiapkan peraturan untuk pensiun yang lebih memperhitungkan kondisi riil dan dan jaring pengaman bagi pekerja seperti JHT yang tidak berbasis pada iuran pekerja.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now