Menu Close

Dilema ASEAN: bagaimana prinsip noninterferensi jadi justifikasi pengabaian terhadap Myanmar dan menghambat MEA

pexels gu bra.

Signifikansi ASEAN pada level global kian terlihat melalui pertumbuhan yang pesat di tengah stagnansi global.

Melansir statistik yang dimuat dalam ASEAN Key Figure 2020, nilai pendapatan domestik bruto (PDB) gabungan sepuluh negara anggota ASEAN mencapai US$3,2 triliun (sekitar Rp 47.800 triliun) pada tahun 2019. Ini membuat ASEAN secara kolektif menempati peringkat kelima ekonomi terbesar di dunia.

Wajar jika ASEAN cukup ambisius untuk menciptakan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi di seluruh kawasan Asia Tenggara melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Sayangnya, cita-cita ASEAN untuk mewujudkan integrasi ekonomi regional tidak bisa mengaburkan instabilitas politik yang semakin berlarut di Myanmar. Tercatat 3.600 penduduk Myanmar harus meregang nyawa di tangan pemerintahan junta militer. Sebanyak 58.000 rumah terbakar. Sejumlah infrastruktur lain pun rusak, termasuk rumah sakit, klinik, dan sekolah.

Hingga kini, ASEAN belum mampu memberikan solusi konkret terhadap konflik di Myanmar, selain hanya sikap normatif yang tercermin dalam Lima Poin Konsensus.

Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran besar, yakni bagaimana MEA akan mampu diterapkan secara efektif jika fragmentasi sikap politik terhadap krisis Myanmar ini masih berlanjut. Sebab, jika memberikan tekanan politik pada pemerintah otoritarian Myanmar saja kesulitan, bagaimana ASEAN bisa mengintegrasikan peran masyarakat di kawasan untuk mewujudkan MEA?

Prinsip noninterferensi: bumerang bagi ASEAN?

Sejak ASEAN lahir pada 1967, prinsip noninterferensi menjadi satu prinsip regional bersama yang dibangun untuk mencapai kompromi di tengah perbedaan sistem dan arah politik negara anggota. Berdasarkan prinsip ini, anggota-anggota ASEAN tidak boleh melakukan campur tangan terhadap masalah internal yang dihadapi oleh anggota lainnya.

Prinsip ini hadir untuk menjembatani kesepakatan antarnegara ASEAN — yang mayoritas pernah mengalami periode kolonialisme — untuk membatasi campur tangan politik sesama anggota, terutama dalam konteks kebijakan dalam negeri.

Dengan kata lain, prinsip noninterferensi ini adalah fondasi terpenting dalam arsitektur kerja sama ASEAN.

Secara ekonomi, prinsip ini tak membatasi negara anggota ASEAN untuk melakukan kerja sama secara lebih informal, terutama lewat penekanan pada aspek masyarakat, yang dapat dilakukan tanpa perlu saling mencampuri kondisi politik internal masing-masing. Ini misalnya kerja sama di bidang usaha kecil dan menengah (UMKM) melalui penyusunan ASEAN Strategic Action Plan for SME Development 2016-2025,

Secara ideal, hal ini mampu menjadikan unsur masyarakat tidak hanya sebagai objek tetapi juga subjek dari pertumbuhan ekonomi. Ini sesuai dengan yang tercantum dalam cetak biru (blueprint) MEA 2025, yakni “memperluas konektivitas antar masyarakat, kelembagaan, dan infrastruktur ASEAN melalui ASEAN”.

Namun, bila ditarik secara historis, implementasi prinsip noninterferensi ini justru dapat menghambat jalan menuju MEA.

Seorang ekonom terkemuka asal Hungaria, Bela Balassa, menjelaskan bahwa integrasi ekonomi pada dasarnya perlu didukung oleh proses demokratisasi. ASEAN kemudian diuji ketika menerima keanggotaan negara-negara yang memiliki sistem pemerintahan otoritarian seperti Laos, Kamboja, dan Myanmar.

Selain kompleksitas dalam kawasan ASEAN sendiri, bergabungnya negara-negara otoritarian tersebut juga memantik banyak kritik. Kritik terutama datang dari negara Barat yang kerap mempermasalahkan indikasi komunisme. Namun, terlepas dari berbagai dinamika tersebut, Myanmar secara resmi menjadi anggota ASEAN pada Juli 1997.

Prinsip noninterferensi: justifikasi pengabaian Myanmar

Prinsip noninterferensi sebenarnya memiliki kekuatan politis, terutama dalam menjembatani keragaman sistem politik antarnegara anggota ASEAN. Namun, prinsip ini jugalah yang tampaknya memberikan legitimasi kepada ASEAN untuk mengabaikan krisis di Myanmar.

Meskipun kebijakan reformasi domestik sejak 2010 telah berhasil menciptakan dampak positif di berbagai sektor ekonomi, kudeta Myanmar pada 2021 mengikis liberalisasi pasar yang tengah berlangsung.

Kudeta tersebut semakin memperparah kinerja ekonomi Myanmar. Pasalnya, peristowa itu terjadi tepat setelah vaksinasi besar-besaran yang menguras banyak anggaran dan ketika bisnis diharapkan untuk bangkit kembali.

Instabilitas politik menghambat jalannya perekonomian, seperti peningkatan perdagangan dan modal asing, perluasan sektor keuangan, dan kemakmuran sektor swasta yang harusnya pesat.

Bagi Myanmar, MEA menjadi batu loncatan dalam kemajuan liberalisasi perdagangan dan investasi domestik. Investasi asing, yang sangat ditopang MEA, menjadi bahan bakar berbagai sektor perekonomian.

Instabilitas yang menghambat alur investasi luar negeri berujung pada pertumbuhan ekonomi Myanmar yang negatif 5,9% pada 2021. Tidak adanya konsensus politik atas Krisis Myanmar tentu saja mencederai tujuan akhir dari integrasi ekonomi, yakni mendorong kesejahteraan nasional.

Selain di sektor ekonomi, gejolak politik juga mendorong keretakan dalam negeri, seperti misalnya krisis kemanusiaan (krisis pengungsi Rohingya) dan perpecahan etnis.

Namun, krisis politik yang juga berujung pada terguncangnya perekonomian pada nyatanya tidak mampu direspons oleh ASEAN secara konkret, selain bantuan teknis berupa bantuan kemanusiaan.

Prinsip noninterferensi yang dibangun atas dasar penghormatan terhadap keragaman politik internal pada nyatanya telah mengarah pada pengabaian terhadap Myanmar, terutama dalam merekognisi buruknya dampak politik pada kemajuan ekonomi Myanmar yang sebenarnya mulai menemui momentumnya.

Prinsip noninterferensi juga menjadi justifikasi atas stagnansi penyelesaian krisis Myanmar. Hal ini tentu menjadi bumerang tersendiri bagi pelaksanaan MEA yang perlu didukung oleh liberalisasi pasar. Dalam konteks Myanmar, liberasi ini terhambat oleh adanya instabilitas politik.

Instabilitas Politik di Myanmar. tsawwunna24/Unsplash

Alternatif komitmen politik untuk Myanmar

Setidaknya hingga menjelang KTT ASEAN 2023, ada dua hal yang dapat dikritisi dari implementasi MEA.

Pertama, kerangka kerja yang ada hanya menguntungkan negara-negara yang telah berhasil menerapkan demokrasi setidaknya secara parsial, terutama negara-negara yang berhasil mengimplementasikan liberalisasi ekonomi.

Kedua, MEA tidak dapat melangkah lebih jauh dari sektor ekonomi makro, apalagi menjangkau sektor ekonomi di level masyarakat.

Kegagalan ASEAN dalam merumuskan konsensus politik yang konkret bagi isu Myanmar bisa berbuntut pada pengabaian atas masyarakat, terutama bila melihat permasalahan-permasalahan HAM yang muncul setelahnya.

Suatu mekanisme integrasi ekonomi berbasis people atau masyarakat akan sangat sulit terwujud bila ASEAN terus membiarkan hambatan utamanya, yakni otoritarianisme yang terus berlangsung.

Oleh karena itu, konsensus politik perlu diupayakan sebagai bentuk komitmen ASEAN dalam menyikapi ancaman liberalisasi pasar dan tentunya sebagai simbol solidaritas ASEAN sebagai satu komunitas regional.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now